Abdoel Moeis adalah seorang pengarang bergelar Soetan Penghoeloe. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 3 Juli 1886 dan meninggal dunia di Bandung, 17 Juni 1959. Ayahnya berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat, dikenal sebagai tokoh berpengaruh di masyarakat. Ibunya berasal dari Jawa yang memiliki keahlian pencak silat. Abdoel Moeis beragama Islam dan giat dalam organisasi politik beraliran Islam. Ia terkenal dengan novelnya Salah Asuhan (1920-an)
Abdoel Moeis menjalani pendidikan di Europees Lagere School (ELS), lulus dari Kleinambtenaarsexamen (Amtenar Kecil), dan tiga tahun di Stovia (sekolah dokter) Jakarta. Dia keluar dari Stovia sebelum tamat karena sakit. Dia magang di Departemen van Onderwijs en Eredienst, suatu departemen yang dipimpin oleh Abendanon. Karena sangat pandai berbahasa Belanda, ia diangkat menjadi klerk di departemen itu pada tahun 1903, tetapi karena ia tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda di departemen itu, pada tahun 1905 ia keluar. Ketidaksukaan pegawai Belanda terhadapnya disebabkan oleh sifat patriotik yang diperlihatkannya di depan para pegawai Belanda itu. Selanjutnya, Abdoel Moeis diterima untuk bekerja sebagai korektor di kantor harian De Preanger Bode di Bandung. Abdoel Moeis diangkat sebagai hoofdcorrector karena menguasai bahasa Belanda.
Abdoel Moeis tercatat sebagai anggota Serikat Islam pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Dia dipercaya untuk menjadi pemimpin redaksi surat kabar Kaum Muda, terbitan Serikat Islam di Bandung. Di dalam surat kabar itu ia banyak menulis dengan nama sandi "A.M." Melalui Serikat Islam itu, ia giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih luas bagi Hindia Belanda. Sebagai anggota delegasi "Comite Indie Weerbaar" (Panitia Pertahanan Hinia), di tahun 1917 ia berkunjung ke Negeri Belanda. Sepulangnya dari Negeri Belanda, ia tidak menemukan lagi Kaum Muda karena surat kabar itu telah dibredel. Atas usaha Datuk Tumenggung di Jakarta, Serikat Islam dapat menerbitkan harian Neratja dan Abdoel Moeis diangkat menjadi pimpinan harian itu.
Dia dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) yang dibuka secara resmi tanggal 18 Mei 1918. Karena terjadi pertentangan dalam tubuh Serikat Islam, ia meninggalkan Jakarta dan kembali ke Sumatra Barat pada tahun 1923. Di Sumatra Barat ia meneruskan gerakan politiknya. Abdoel Moeis memimpin harian Utusan Melaju dan harian Perobahan yang dengan gigih melawan segala kebobrokan Belanda. Akan tetapi, setelah peristiwa tahun 1926/1927, yaitu perlawanannya terhadap politik pajak tanah dan perpanjangan waktu erfpacht dan ditambah lagi dengan aksinya dalam gerakan adat yang sangat menggemparkan, Abdoel Moeis tidak bebas lagi dalam berpolitik. Dia "dibuang" ke Pulau Jawa. Dia tidak menonjolkan diri lagi dalam Serikat Islam. Sejak itu ia menulis novel dan menyadur sastra asing sampai dengan akhir hayatnya.
Dalam kedudukannya sebagai wartawan, Abdoel Moeis juga banyak menulis berita dalam berbagai media massa dan juga berbagai artikel mengenai politik. Novel Abdoel Moeis Salah Asuhan mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk para kritikus terkemuka pada waktu itu. Hal itu disebabkan Abdoel Moeis dalam novelnya itu tidak lagi memasalahkan adat kolot yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman, melainkan hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa.
Abdoel Moeis juga menulis novel sejarah, yaitu Surapati dan Robert Anak Surapati. Cerita pendeknya yang terkenal berjudul "Suara Kakaknya". Selain itu, cerpennya yang berjudul "Di Tepi Laut" dimuat dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-2 (1948:14--15). Puisinya, antara lain, adalah (1) "Ummat Hanjut di Dunia Gulita" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-2 (1948:5), (2) "Insjaflah" dalam Boedaja No. 4, Tahun ke-3 (1948:4), (3) "Kenangan" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-3 (1948:3), (4) "Koedjoendjoeng" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-2 (1948:5), (5) "Melati" dalam Boedaja No. 12, Tahun ke-2 (1948:15), dan (6) "Rindoe Dendam" dalam Boedaja No. 1, Tahun ke-3 (1948:3).
Abdoel Moeis menerjemahkan Tom Sawyer karya Mark Twain ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tom Sawyer Anak Amerika dan Don Kisot karya Cervantes ke dalam bahasa Indonesia. Cerita anak-anak yang berjudul Sebatang Kara merupakan saduran dari karya Hector Malot.
A. Teeuw mengatakan bahwa Abdoel Moeis adalah orang yang termasuk golongan pertama sastrawan Indonesia yang nasionalis. Sementara itu, Pamusuk Eneste memasukkan Abdoel Moeis ke dalam Angkatan Balai Pustaka karena Abdoel Moeis termasuk orang yang menerbitkan novelnya di Penerbit Balai Pustaka. Karya-karya Abdoel Moeis muncul pada tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an. Abdoel Moeis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia No. 2183/59, tanggal 30 Agustus 1959.