A. Bastari Asnin, sastrawan dengan nama lengkap Ahmad Bastari Asnin, lahir di Blambangan, Muaradua, Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan, 29 Agustus 1939 dan meninggal dunia di Jakarta, 21 November 1984. Bastari Asnin sempat kuliah di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (hingga mencapai Sarjana Muda).
Bastari mulai merintis karier sebagai pengarang saat tinggal di Yogyakarta. Sebelum memasuki Universitas Gadjah Mada, Bastari sejak tahun 1952 —setelah lulus SD di Palembang (1951)— ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah selama 4 tahun di Yogyakarta yang kemudian dilanjutkan di SMA dan lulus tahun 1959. Setelah keluar dari Universitas Gadjah Mada, ia bekerja sebagai wartawan di Harian Kami (1967—1969) dan sejak 1970 sampai wafatnya ia bekerja di majalah berita Tempo. Terakhir ia menjabat sebagai redaktur pelaksana majalah tersebut. Kehidupan kanak-kanaknya di Blambangan dan Palembang hampir merupakan bias yang kabur dan hanya bisa dirasakan dalam cerita-cerita pendeknya yang unik tentang hutan. Demikian periode akhir hidupnya di Jakarta, tidak begitu banyak menyentuh kehidupan sastra karena sejak ia bekerja secara tetap, ia hampir tidak lagi muncul di arena sastra. Cerita-cerita pendeknya memang pernah muncul di dalam majalah Horison, tetapi bukan cerita pendek baru. Tampaknya, karya tersebut merupakan sisa karya yang ditulis selama periodenya bermukim di Yogyakarta. Kegiatan kesastraannya surut karena ia sepenuhnya menekuni bidang kewartawanan. Tampaknya masa-masa ia tinggal di Yogyakarta merupakan bagian paling subur di dalam dunia kepengarangan Bastari.
Motinggo Busye dalam tulisan "Banyak Kenangan Manis Bersama Bastari, Tapi Hanya Sebagian" (Horison, No.1 Th.XIX, Januari 1985), mencatat berbagai hal lucu mengenai kehidupan pribadi Bastari (bersama Motinggo sendiri) sebagai pengarang yang pernah menempuh periode bohemian. Kehidupan yang sukar Bastari (dan juga Motinggo) untuk kuliah dengan tenang. Bukan hanya tempat mondok yang menjadi masalah, akan tetapi, terutama persoalan makan. Sebagai mahasiswa yang lebih banyak mengandalkan honorarium sebagai sumber nafkah dan belanja, Bastari pernah diusir dari rumah pondokan karena tidak mampu membayar selama beberapa bulan.
Pengalaman-pengalaman pahit dan tidak menyenangkan ini mungkin sebagai pemicu lahirnya cerita-cerita pendek yang menggambarkan kehidupan nyata yang di dalamnya bergaung suara sepi dan kebanyakan cerita pendek Bastari bersifat soliter (terpencil) dan mengambil latar alam perawan yang secara fisik melahirkan warna daerah yang khas. Warna lokal itu ia anyam di dalam perilaku dan keadaan hidup serta sikap budaya masyarakatnya, cerita-cerita pendeknya yang bertebaran di majalah sastra dan budaya zaman itu memperlihatkan warna khas, khususnya dari latarnya. Salah satu cerita pendeknya yang menarik berjudul "Di Tengah Padang". Motinggo dalam tulisannya itu menyebut A. Bastari Asnin sebagai seorang yang "berdarah dingin, penuh misteri, dan sukar diterka".
Cerita pendek "Di Tengah Padang" meraih hadiah pertama majalah Sastra tahun 1961. Kemudian cerita pendeknya "Dua Buah Peluru Tunggal" dan "Laki-Laki Berkuda" meraih hadiah ketiga majalah Sastra tahun 1963. Hingga akhir hayatnya, A. Bastari Asnin baru menerbitkan dua buku kumpulan cerita pendek yaitu Di Tengah Padang (1962), dan Laki-Laki Berkuda (1963). Keduanya diterbitkan oleh Penerbit Nusantara. Sebenarnya masih banyak karya sastra sastrawan ini yang belum dibukukan dan yang secara tegas memperlihatkan kedudukannya sebagai cerpenis yang menulis cerita-cerita pendek berwarna lokal secara kuat dan mengesankan.
Karya A. Bastari Asnin yang dimuat dalam majalah Tjerita adalah "Ada Api di Pematang (No.2 Th.1, 1957, "Pengungsi" (No.1 Th.2, 1958), "Sebuah Masjid (No.2 Th.2, 1958), "Hidup yang Sendiri" (No.3 Th.2, 1958), "Sumpah Seorang Bapa" (No.5 Th.2, 1958), "Gerobak Terakhir" (No.7 Th.2, 1958), dan "Jendela" (No.11 Th.2, 1958).
Karyanya yang dimuat dalam majalah Brawidjaja berjudul "Kisah Senja (No.13 Th.7, 1957), "Yang Penghabisan" (No.2 Th.9, 1959), dalam majalah Minggu Pagi berjudul "Pulang" (No.2 Th.11, 1958), "Bayang-Bayang" (No.24 Th.11, 1958), "Dalam Wajah" (No.32 Th.11, 1958), "Bunuh diri" (No.43 Th.11, 1959), "Hati Perempuan" (No.52 Th.11, 1959), "Perempuan Kami" (No.17 Th.12, 1959), "Bunga-Bunga di Tangan (No.49 Th.12, 1960), dan "Bapa" (No.9 Th.13, 1960).
Karyanya yang dimuat dalam majalah Budayaberjudul "Tarohan Manusia" ((No.7 Th.2, 1962), "Pemasang Jerat" (No.1—2 Th.3, 1963), "Pelayaran" (No.3 Th.10, 1963), dalam majalah Sastra berjudul "Di Tengah Padang" (No.2 Th.1, 1961), "Bapa" (No.3 Th.1, 1961), "Nenenda" (No.6 Th.1, 1961), "Dalam Gelanggang" (No.12 Th.2, 1962), "Lorong" (No.3—4 Th.3, 1963), "Laki-Laki Berkuda" (No.7-8 Th.3, 1963), "Dua Buah Peluru Tunggal" (No.11—12 Th.3, 1963), dalam majalah Horison berjudul "Lembar-Lembar yang Hilang" (No.5 Th.2, 1967), "Tengah Hari" (No.3 Th.3, 1968), dalam majalah Selecta berjudul "Angin Selat Sunda" (No.298 Th.9, 1967), 2 Hari Kemudian" (No.338 Th.10, 1968).