Peneliti : Yulitin Sungkowati
Tanggal Penelitian : 01-01-2005
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengungkap kritik dan perlawanan Wiji Thukul terhadap rezim Orde Baru dalam sajak-sajaknya. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan metode kualitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh sajak Wiji Thukul yang berjumlah 134 yang terkumpul dalam antologi puisi Aku Ingin Jadi Peluru yang diterbitkan oleh Indonesia Tera tahun 2000. Sampel penelitian meliputi 64 sajak. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik studi pustaka dan wawancara.
Penelitian ini menghasilkan hal-hal berikut. Pertama, kritik Wiji Thukul ditujukan pada masalah sosial, militerisme, dan politik. Kritik terhadap masalah sosial, yaitu (1) pembangunan menyebabkan terjadinya penggusuran diberbagai bidang, seperti tampak dalam sajak “ Nyanyian Akar Rumput”, “Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air”, “Sajak Kepada Burung Dadi”, “Kepada Ibuku”, “Jalan”, “Apa Yang Berharga Dari Puisiku”, “Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur”, “Sajak Bapak Tua”, “Ceritakanlah Ini Kepada Siapapun”, “Tanah”, “Sajak Anak-Anak”, “Kampung”, dan “Jalan Slamet Riyadi Solo”, (2) pembangunan menciptakan kesengsaraan kaum buruh yang terdapat dalam sajak, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Catatan Malam”, “Kepada Burung Dadi”, “Suti”, dan “Ayolah Warsini”, (3) pembangunan menciptakan kemiskinan tampak dalam sajak, ”Batas Panggung”, “Kepada Pelaku”, “Sajak Malam”, “Balada Pak Bejo”, “Suara Dari Rumah Miring”, “Sajak Bapak Tua”, “Gumam Sehari-hari”, “Nyanyian Abang Becak”, “Catatan Suram”, “Suram, Pasar Malam Sriwerdari”, “Gentong Kosong”, “Catatan 10 Januari 1989”, “Siang”, “Jam 2 Malam, Dingin Sampai Ketulang”, “Kampung”, “Dalam Kamar 6x7 Meter”, “Kepada Nasri dan Adikku Yang Lain”, dan “Apa yang Berharga dalam Puisiku”, dan (4) Pembangunan telah menciptakan gap sosial, seperti dalam sajak “Nonton Harga”, “Catatan”, “Kota ini Milik Kalian”, dan “Sajak Semua”. Kedua, kritik pada masalah militerisme difokuskan pada dua aspek, yaitu kekerasan dan penyeragaman. Kritik terhadap perilaku militerisme yang tercermin dalam bentuk penggunaan kekerasan terdapat pada sajak “Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun”, “Tetangga Sebelahku”, “Sajak Suara”, “Tikus”, “Ibunda”, “Merontokan Pidato”, “Derita Sudah Naik Seleher”, “Rumput Ilalang”, “Harimau”, dan “Kampun”. Kritik terhadap militerisme yang berwujud upaya-upaya penyeragaman dilakukan Thukul dalam sajak “Buron” dan “Aku Berkelana di Udara”. Kritik terhadap masalah politik secara khusus di fokuskan pada sistem demokraasi semu seperti tercermin dalam pelaksanaan Pemilu. Ketiga, perlawanan Wiji Thukul terbagi menjadi dua periode waktu, yaitu sebelum kasus 27 Juli dan setelah kasus 27 Juli 1996.