A. A. Pandji Tisna mempunyai nama lengkap Anak Agung Nyoman Pandji Tisna. Ia lahir tanggal 11 Februari 1908 dan meninggal dunia tanggal 2 Juni 1978 di Buleleng, Singaraja, Bali. A.A. Pandji Tisna dikenal sebagai seorang novelis. Karyanya yang terkenal dan mengangkat namanya sebagai seorang pengarang adalah Sukreni Gadis Bali.
A.A. Pandji Tisna adalah putra ketiga dari lima bersaudara, kakaknya dua orang (perempuan), dan adiknya dua orang (laki-laki). Ayahnya bernama Anak Agung Putu Djelantik, Raja Buleleng X dan ibunya bernama Mekele Jero Rengga sedangkan kakeknya bernama I Gusti Putu Gria (Raja Buleleng IX), penulis buku Darmo Lelangon, sebuah kisah bergambar tanpa kata.
Sebagai putra laki-laki pertama dari istri pertama seorang raja, A.A. Pandji Tisna berhak menerima warisan takhta kerajaan Buleleng. Sebagai putra priyayi, A.A. Pandji Tisna sempat mengenyam pendidikan yang cukup baik. Dia bersekolah di Hollandsche Inlanders School (HIS). Pada usia lima belas tahun ia dikirim ke Batavia untuk bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di sekolah itu ia belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis.
Pada tahun kedua di MULO (1925), ia dipanggil pulang ke Singaraja untuk menikah dengan kemenakannya, Anak Agung Byang Manik. Dari perkawinan itu ia mempunyai dua orang anak laki-laki. Tahun 1929 Pandji Tisna menikah yang kedua kalinya dengan Mekele Seroja. Dari perkawinan kedua itu ia dikaruniai tiga orang anak. Tahun 1936 Pandji Tisna menikah yang ketiga kalinya dengan Mekele Sadpada, dan mempunyai dua orang anak laki-laki. A.A. Pandji Tisna menikah keempat kalinya dengan Mekele Resmi pada tahun 1950 dan dari perkawinan keempatnya itu ia mempunyai enam orang anak.
A.A. Pandji Tisna tidak menyelesaikan pendidikannya di MULO. Konsentrasinya terganggu sejak pernikahannya pada tahun 1925 karena istrinya tidak ikut bersama ke Jakarta. Dia cenderung memperdalam penguasaan bahasa asing yang sangat berguna baginya untuk ke luar negeri, di samping melakukan studi mengenai sejarah Bali yang banyak menggunakan literatur dalam bahasa asing (Yon Ks., 1992). Dengan modal bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis yang dikuasainya secara aktif, ia mendalami bahasa Sanskerta. Hal itu terdorong oleh kegemarannya pada kakawin dan minatnya untuk memperdalam isi lontar di perpustakaannya.
Tahun 1936 ia gagal pergi ke Wina karena mendapat serangan radang mata di Singapura sehingga terpaksa kembali ke tanah air. Namun, sepuluh tahun kemudian ia akhirnya berangkat ke Eropa. Dia pergi ke Utrecht untuk mengobati matanya, tetapi tidak berhasil. Tahun 1949 ia pergi lagi ke Eropa atas undangan STICUSA, suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama seni dan kebudayaan antara Belanda dan Indonesia (Yon Ks.,1992:97).
Sebagai keturunan raja, A.A. Pandji Tisna seyogianya memangku jabatan sebagai warisan dari orang tuanya. Akan tetapi, berkali-kali ia menolak pengangkatan itu. Tahun 1939 ayahnya dapat memahami apa yang menjadi keyakinan putranya untuk menjadi orang biasa saja dan tidak ingin menggantikannya sebagai raja.
Sekembali dari Jawa (Batavia) akibat studinya gagal, tahun 1927 A.A. Pandji Tisna membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi yang dilakukannya dengan setengah hati. Oleh karena itu, pada tahun 1929 ia diberhentikan oleh ayahnya. Dia kemudian ditugaskan ke Lombok untuk bekerja dalam bidang angkutan. Tahun 1935 ia kembali ke Singaraja dan menyampaikan maksudnya untuk terjun ke dunia ekspor kopra dan sapi, tetapi ditolak oleh ayahnya.
Ayah Pandji Tisna mangkat tahun 1945. Ketika itu Jepang sedang berkuasa di Bali. Dia dipaksa menjadi raja menggantikan ayahnya (25 April 1945) meskipun pada awalnya menolak dengan berbagai alasan. Ternyata, ia hanya dijadikan alat bagi Jepang untuk mencarikan perempuan yang akan dipersembahkan kepada serdadu Jepang. Hal itu dirasakannya sebagai penghinaan. Untunglah, Jepang segera kalah.
Sebagai ketua Paruman Raja-Raja di Bali tahun 1946, ia mempunyai tugas yang lebih berat. Jabatan tersebut dan juga keanggotaannya dalam Parlemen Negara Indonesia Timur diterimanya tahun 1947. Akan tetapi, pada tahun 1948 jabatan-jabatan tersebut dilepaskannya. Pada tahun itu juga ia pergi ke India. Sekembali dari India, ia berupaya memajukan rakyat melalui pendidikan. Untuk itu, tanggal 2 Agustus 1948 ia mendirikan Perguruan Bhaktiyasa (SLTP dan SLTA di Singaraja) dan Perpustakaan Udiyana Adnyna Bhuwana.
A.A. Pandji Tisna juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Jatayu yang diterbitkan oleh Perkumpulan Bali Dharma Laksana. Sesudah itu, ia diangkat menjadi Kepala Swapraja Buleleng pada tahun 1950 dan menjadi anggota DPR RIS Jakarta tahun 1951. Kedua jabatan itu segera dilepaskannya karena ia berangkat lagi ke India. A.A. Pandji Tisna berpindah agama dari Hindu ke Kristen pada hari ulang tahunnya yang ke-38, 11 Februari 1946. Dia dikristenkan di bawah pohon beringin di Desa Seraya oleh pendeta A.F. Ambessa, Kantoha, dan Trimurti. Perpindahan agama itu berakibat fatal. Dia harus meninggalkan jabatannya sebagai raja dan haknya sebagai ahli waris.
Setelah mengundurkan diri dari semua jabatan dan meninggalkan kebangsawanannya, ia hidup berkebun jeruk di Pantai Lovina sambil mengelola sebuah hotel kecil bernama Tasik Madu.
Dalam bidang kesusastraan A.A. Pandji Tisna menulis prosa, puisi, dan drama. Karya-karyanya, antara lain, adalah (1) Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, cetakan pertama tahun 1935 diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, (2) Sukreni Gadis Bali, cetakan pertama tahun 1936 diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, (3) I Swasta Setahun di Bedahulu, cetakan pertama tahun 1938 diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, (4) Dewi Karuna: Salah Sebuah Jalan Pengembaraan Dunia, cetakan pertama tahun 1941 diterbitkan di Medan oleh Fa. Cerdas, (5) I Made Wiiadi: (Kembali kepada Tuhan), cetakan pertama tahun 1955 diterbitkan di Jakarta oleh Badan Penerbit Kristen. Puisinya, antara lain, "O, Putri!", "Antara", "Air Mata", dan "Arti Berlapis" dimuat dalam majalah Pujangga Baru tahun 1937, dan (6) "Jiwa Seragam" berbentuk naskah drama tahun 1954.
Dalam roman-romannya A.A. Pandji Tisna sangat memperhatikan masalah hukum karma dan masalah sosial masyarakat Bali. Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1978:10), di tengah-tengah banjirnya roman-roman adat yang ditulis para pengarang asal Sumatra, yang juga mengambil Sumatra sebagai latar ceritanya, roman-romannya sangatlah menarik. Bukan hanya karena mengisahkan orang Bali dengan kehidupan dan kepercayaannya, melainkan juga karena gaya bahasa yang digunakannya agak berbeda dari gaya bahasa para pengarang kelahiran Sumatra. Yang menarik ialah bahwa tokoh-tokoh roman Pandji Tisna terasa lebih keras dan lebih kejam.