Cerita silat sangat populer sebagai bacaan hiburan bagi para penggemarnya di Indonesia pada masa sekitar sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Cerita silat sebagai hiburan biasanya hadir dalam bentuk cerita bergambar atau komik. Hampir bersamaan dengan popularitas komik, cerita silat muncul dalam bentuk film layar lebar atau bioskop. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kemajuan teknologi, cerita silat pun bisa dinikmati dalam bentuk CD/VCD/DVD yang menggunakan teknologi laser. Jika ditinjau dari aspek kesastraannya, cerita silat adalah kisah para jago silat atau pesilat (pendekar/master) yang terlibat dalam suatu permasalahan pelik.
Beberapa masalah yang biasa menghiasi cerita silat ialah balas dendam karena diri atau keluarga dianiaya/dibunuh manusia zalim (Si Buta dari Gua Hantu); perebutan peta harta karun, perlawanan terhadap satu tirani (Jampang Mencari Naga Hitam, Panji Tengkorak), kekacauan akibat adudomba dua bersaudara/kembar (Pendekar Binal), dan cerita silat yang tidak pernah sampai tamat atau berakhir di tengah jalan (Wiro Sableng). Wiro Sableng ditulis oleh Bastian Tito, yang kisah serialnya, antara lain berjudul, (1) Empat Berewok; (2) Mau Bernyanyi di Pajajaran; (3) Dendam Orang-orang Sakti; (4) Keris Tumbal Wilayuda; (5) Neraka Lembah Tengkorak; (6) Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga; dan (7) Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin. Cerita silat memiliki ciri khas sebagai kisah kepahlawanan (heroisme) dan mengusung tema klasik tentang kejahatan yang akhirnya dikalahkan oleh kebenaran. Konflik dalam cerita silat selalu diselesaikan dengan keterampilan silat yang paling tinggi (sakti). Itulah sebabnya, timbul peribahasa, "di atas langit masih ada langit". Selain itu, terdapat beberapa cerita yakni (1) Misteri Kapal Layar Pancawarna; (2) Pendekar Kayu Harum; (3) Petualang Asmara; (4) Dewi Maut; Pendekar Lembah Naga; (5) Pendekar Sakti; (6) Pendekar Bodoh; (7) Suling Emas; (8) Mutiara Hitam; dan (9) Istana Pulau Emas.
Di Indonesia ada dua jenis cerita silat, (1) silat Indonesia dan (2) cerita silat Tiongkok/Cina. Kedua jenis cerita silat tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia dan ada pula yang berbahasa Tionghoa. Kedua cerita itu, baik dari Indonesia maupun dari Tionghoa berlatar belakang sejarah negeri masing-masing. Sebelum Orde Baru, cerita silat berbahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa sangat populer. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Soeharto cerita silat bahasa Tionghoa dilarang. Beberapa tokoh penulis cerita silat Tionghoa di Indonesia sebagian besar penerjemah cerita silat Tionghoa. Sebelum Perang Dunia II, alih bahasa cerita silat yang terkenal adalah Ong Kim Tiat (1893—1964) dan Tan Tek Ho (1894—1944). Penulis cerita silat Indonesia, antara lain adalah S.H. Mintahardja, Herman Pratikno, Ganes Th., dan Bastian Tito, sedangkan penulis cerita silat Tiongkok, antara lain, adalah Kho Ping Hoo, Gan K.L., O.K.T. (Oey Kim Tiang).
Menurut sejarah perkembangannya, cerita silat muncul di Indonesia pada awal abad ke-20 sebagai bagian dari sastra China Peranakan. Cerita silat dapat terus bertahan hingga sekarang, sementara sastra kaum peranakan tersebut sudah dianggap lenyap sejak Kemerdekaan yang diawali Perang Dunia II.
Semula cerita silat masuk ke Indonesia sebagai karya terjemahan atau saduran dari cerita silat Tiongkok. Sejalan dengan munculnya genre sastra dalam surat kabar, antara tahun 1924--1930-an, cerita silat selalu muncul di media massa pada waktu itu dalam bentuk cerita bersambung (feuilaton), seperti Sin Po dan Keng Po. Kemudian, antara tahun 1930--1960-an cerita silat terbit sebagai buku khusus cerita silat dari penerbitan Goedang Tjerita (berubah jadi Tjerita Silat). Pada masa selanjutnya cerita silat lebih didominasi oleh karya terjemahan, yaitu dari karya Chin Yung, Ku Lung, dan Liang Yusheng dengan seorang penerjemah terkenal, yaitu Oey Kim Tiang (O.K.T.). Kisah Sia Tiauw Eng Hiong 'memanah Burung Rajawali' merupakan salah satu hasil terjemahan O.K.T. yang terkenal. Karya saduran terkenal yang lain ialah Pendekar Binal karya Ku Lung yang dikerjakan oleh Gan K.L.