Minggu Pagi didirikan oleh M. Wonohito (pimpinan harian Kedaulatan Rakyat) dan H. Samawi pada tanggal 7 April 1948 di Yogyakarta. Pada awalnya Minggu Pagi hanya menyediakan rubrik cerpen, di samping rubrik ilmu pengetahuan, artikel film, tradisi kedaerahan, objek wisata, olah raga, dan juga rubrik dari hati ke hati. Hal ini berbeda dengan majalah lain di Yogyakarta yang mempunyai rubrik puisi. Namun, kini, Minggu Pagi selain mempunyai rubrik cerpen, juga mempunyai rubrik puisi dan rubriksastra.
Minggu Pagi dikenal dengan moto "majalah enteng berisi" ini menjadi tempat berkreasi para sastrawan (dan calon sastrawan). Penyebaran yang sangat luas membuat jangkauan pembacanya juga lebih luas jika dibandingkan dengan majalah-majalah khusus sastra-budaya. Dengan demikian, imbalan (honorarium) yang diberikan untuk para pengarang juga pantas. Hal ini pula yang menjadi daya pikat tersendiri bagi sastrawan untuk mengirimkan naskah ke redaksi tersebut. Bagi sastrawan muda (sastrawan pemula), selain honor yang cukup menarik, Minggu Pagi juga membuka kesempatan seluas-luasnya untuk pemuatan karya mereka yang belum diakui oleh "penguasa" sastra di Jakarta. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa surat kabar ini merupakan partner/mitra kerja majalah-majalah sastra-budaya di Jakarta.
Ketika terjadi krisis ekonomi pada awal tahun 1960-an, untuk menutup kerugian, pihak pengelola Minggu Pagi memutuskan mengurangi jumlah halaman yang hanya menjadi delapan halaman dan hanya menjadi suplemen harian Kedaulatan Rakyat. Dengan cara seperti itu pelanggan harian tersebut diwajibkan membayar biaya tambahan. Setelah krisis tahun 1960-an lewat, Minggu Pagi kembali terbit sebagaimana biasa. Perannya dalam menampung karya berlanjut, seperti seperti yang tampak pada dasawarsa 1970-an—1980-an. Beberapa pengarang telah merasakan manfaat kehadiran koran itu.