Bali Post adalah nama surat kabar harian yang terbit di Bali. Surat kabar ini semula bernama Suara Indonesia yang terbitan perdananya tanggal 16 Agustus 1948 dengan pimpinan redaksinya Ketut Nadha bersama dua orang temannya bernama Made Sarya Udaya dan I Gusti Putu Arka. Pada waktu itu mereka bekerja sebagai wartawan surat kabar Bali Shinbun yang terbit di Denpasar pada waktu pendudukan Jepang tahun 1943—1945. Penerbit harian ini ialah PT Bali Post dengan alamat redaksi Jalan Kepundung, Denpasar. Perwakilan redaksi Bali Post terdapat di seluruh Provinsi Bali dan Nusa Tenggara. Harian ini terbit menggunakan kertas koran seharga Rp2500,00.
Saat berdirinya Bali Post tahun 1948 Bali masih diwarnai revolusi fisik dalam perjuangan kemerdekaan melawan kekuasaan Nica. Banyak pemuda Bali berjuang menentang kekuasaan Nica pada waktu itu. Peran pers, khususnya Bali Post ketika masa perjuangan itu, sangat sederhana dengan moto "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat".
Bali Post memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Atas partisipasinya dalam perjuangan itu, pada tanggal 2 Mei 1965 PT Bali Post yang menjadi Badan Penerbit Suara Indonesia diubah menjadi Yayasan Genta Suara Revolusi Indonesia disingkat Gesturi, yang berkedudukan di Denpasar dengan Akta Notaris No. 104 oleh notaris Ida Bagus Ketut Rurus.
Yayasan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesturi) memiliki tujuan, yaitu memberikan bantuan informasi dalam masalah materiil maupun spiritual kepada masyarakat. Di samping itu, Gesturi juga berusaha meningkatkan mutu penerbitan sehingga dapat dijadikan sebagai alat penegak Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
Tahun 1966 berdasarkan ketentuan Pemerintah, semua penerbitan harus berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada. Untuk itu, Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Indonesia. Selanjutnya, mulai Juni 1966—Mei 1971 Suluh Indonesia diganti namanya menjadi Suluh Marhaen edisi Bali.
Pada tahun 1972, setelah Demokrasi Terpimpin, ketentuan Pemerintah tersebut tidak diberlakukan lagi dan penerbitan pers dibebaskan dari keharusan berafiliasi sehingga nama Suara Indonesia digunakan kembali. Selanjutnya, nama Suara Indonesia itu kemudian diubah menjadi Bali Post sampai sekarang.
Tanggal 10 Januari 1973 keluar Akta nomor 9 dengan notaris A. Syarifudin tentang perubahan nama badan penerbit yang semula Yayasan Genta Revolusi Indonesia (Gesturi) kembali menjadi PT Bali Press. Selanjutnya, tanggal 1 Februari 1974 dengan Akta nomor 1 diadakan lagi perubahan nama badan penerbit itu menjadi PT Percetakan dan Penerbitan Bali Post, disingkat PT Bali Post. Dengan dibuatnya akta tersebut, akta yayasan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesturi) tidak diberlakukan lagi.
Adanya perubahan akta PT Bali Post yang berturut-turut dari Akta no. 104 ke Akta nomor 9, dan kemudian ke Akta nomor 1 itu disebabkan oleh perubahan penanaman modal di dalam negeri yang dilakukan oleh PT Bahana PUI sebagai pemegang saham di PT Bali Post. Selain itu, perubahan juga terjadi pada anggaran dasar. Perubahan pada anggaran dasar disesuaikan dengan fungsi penerbitan pers, yaitu untuk menyelenggarakan suatu penerbitan pers yang sehat, bebas, bertanggung jawab, pengutamaan sifat-sifat ideal, dan pengelolaannya berdasarkan asas kekeluargaan.
Surat kabar Bali Post merupakan salah satu pers yang sampai saat ini produktif dalam memuat karya sastra, terutama pemuatan pada edisi mingguannya. Karya sastra yang dimuat dalam edisi itu berupa puisi dan cerpen. Sekali-sekali dimuat cerita bersambung, baik yang merupakan hasil sayembara maupun bukan. Puisi dan cerpen biasanya dimuat dalam suatu rubrik yang diberi nama "Pos Remaja" dan "Pos Budaya". "Pos Remaja" adalah rubrik yang memuat karya-karya sastra dari pengarang pemula, sedangkan "Pos Budaya" adalah rubrik yang memuat karya-karya sastra dari pengarang senior karya-karya pengarang yang telah memiliki nama, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional.
Pada saat Bali Post bernama Suluh Marhaen juga disediakan ruang khusus untuk sastra dan budaya. Ruang itu diberi nama "Benteng Muda" dan diasuh oleh seorang penyair nasional yang sudah dikenal dalam ruang sastra dan budaya Bali Post, yaitu Umbu Landu Paranggi. Keberadaan Umbu berpengaruh besar pada persentase publikasi karya sastra Indonesia modern di Bali Post. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya penyair dan pengarang dari daerah lain, antara lain, dari Yogyakarta, Solo, Jakarta, Pontianak, Surabaya, Mataram, dan daerah lain di Indonesia, dengan mengirimkan karya-karyanya untuk diterbitkan di surat kabar tersebut. Bahkan, ruang sastra dan budaya Bali Post telah banyak melahirkan penulis, pengarang, maupun penyair yang kini sudah memiliki nama di tingkat nasional, I Ketut Artawa, Warih Wisatsana, Putu Setia, dan I Nyoman Tusthi Edi. Karya-karya mereka kini sudah menembus media massa nasional, majalah sastra, dan budaya seperti Kompas, Suara Karya, Horison, dan Kalam. Harian Bali Post sebagai salah satu media cetak yang ada di Bali memegang peranan penting dalam menunjang pembinaan dan pengembangan sastra, baik sastra daerah maupun sastra nasional.
Karya sastra yang dimuat dalam koran ini selama penerbitannya, sangat banyak, terutama esai, cerpen, cerbung, dan puisi. Tahun 1948—1989 Bali Post memuat karya sastra lebih kurang 82,2 %. Puisi yang dimuat tahun 1950—1989, antara lain "Air Mata Kecewa" karya I Ketut Samudra (1971), "Aku Ingin Menyanyi" karya Nyoman Wirata (1988), "Balada Seorang Janda Pahlawan" karya Wasil Abu Ali (1978), "Bisik Penyair Buat Ayah Bundanya" karya Putu Suathama (1976), "Fragmen Hidup" karya G.M. Setiawan (1983), "Gerhana" karya Putu Arya Tirthawirya (1987) dll.
Hingga kini Bali Post yang berkedudukan di Jalan Kepundung Denpasar masih gencar memublikasikan karya-karya sastra Indonesia modern, baik karya penulis pemula maupun karya penulis yang sudah memiliki nama di tingkat daerah atau nasional. Kini staf personalia penerbitan harian Bali Post tahun 2007 terdiri atas:
Perintis
|
: |
Ketut Nadha
|
Penanggung jawab
|
: |
ABG Satria Naradha
|
Redaktur Pelaksana
|
: |
Wirata
|