Cau-Bau-Kan (Hanya buah Dosa) merupakan novel kedua karya Remy Sylado yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Novel itu dicetak pertama kali bulan Maret 1999 kemudian berturut-turut cetakan kedua (Agustus 1999), cetakan ketiga (Januari 2001), cetakan keempat (Juli 2001), cetakan kelima (Januari 2002), dan cetakan keenam (Februari 2002). Novel dengan ketebalan 408 halaman ini berukuran 14 cm x 21 cm, dan bernomor ISBN 979-9023-25-4. Pada cetakan kelima terdapat beberapa perubahan. Selain warna kulit muka lebih cerah, kesalahan cetak dan ejaan yang cukup banyak sudah diperbaiki. Di halaman sekapur sirih disebutkan bahwa novel itu merupakan awal proyek penerbitan Seri Sastra Tionghoa Peranakan yang sedang dikerjakan oleh salah satu Kepustakaan Populer Gramedia untuk memperlihatkan proses kebangsaan Indonesia secara apa adanya.
Novel itu terdiri atas 35 bab yang diapit oleh satu prolog dan satu epilog. Judul yang terdapat dalam novel tersebut, adalah sebagai berikut. (i) Prolog (I–12), (ii) Kali Jodo (13—19), (iii) Sewan (21—26), (iv) Silat Shan-Tung (27—33), (v) Cio Ko (35—43), (vi) Huang Mei Tiau (45—52), (vii) Lukisan Ulam (54—57), (viii) Sun Tzu (59—67), (ix) Pen Cun (69—78), (x) Gang Chaulan (79—88), (xi) Cai Lun (89—98), (xii) Dhao (99—112), (xiii) Giok Lan dan Giok Lan (113—118), (xiv) Malam di Kudus (119—125), (xv) Malam Sin-Cia (127—143), (xvi) Eeb Enveloppe (145—154), (xvii) Zeg Verdomme ( I 55—163 ), (xviii) Jenderal Kopral (165—177), (xix)Meja Hijau (179—188), (xx) Kembalinya Wan Sen (189—200), (xxi) Terpidana (201—213), (xxii) Adopsi Anak (215—226), (xxiii) Kembali (227—237), (xxiv) Surat Simon Chen (239—248), (xxv) Peti Mati (249—255), (xxvi) Arigato Gozaimasu (257—265), (xxvii) Jeng Tut (267—279), (xxviii) Lanfu (281—291), (xxix) Selamat (293—305), (xxx) Halo Jakarta (307—319), (xxxi) Afnei (321—332), (xxxii) Ngelungsungi (333—347), (xxxiii) Halo-Halo Bandung (349—364), (xxxiv) Bunga di Mata (365—379), (xxxv) Mawar di Kebun Kami (381—395), (xxxvi) dan Epilog (397—406)
Novel Cau-Bau-Kan bercerita mengenai kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia dalam kurun waktu 1918—1951. Salah satu yang ditonjolkan ialah peranan beberapa anggota masyarakat keturunan Tionghoa dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, novel itu membantah pandangan stereotip yang menyatakan bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Yang tampil dalam prolog sebagai narator ialah nyonya Belanda (Ny. Dijkhoff) yang datang ke Jakarta untuk melacak desa ibunya, Tinung, dan mencari identitas bapaknya. Bab pertama mulai dengan kata-kata, "Cerita saya ini...." Berarti narator ialah Ny. Dijkhoff, tetapi di halaman 116 Ny. Dijkhoff disebut sebagai orang ketiga, dan baru pembaca sadar bahwa narator itu anonim. Narator itu serba tahu seperti pengarangnya. Ny. Dijkhoff baru akan muncul kembali dalam epilog saat mendarat di Jakarta. Ia berhasil mengetahui siapa ayahnya dan malah membongkar mistri pembunuhan ayahnya.
Menurut Henri Chambert-Loir, novel itu sangat mengasyikkan, bahasanya lincah, tokohnva banyak, peristiwanya seru, dan jalan ceritanya mengikuti perkembangan politik bangsa Indonesia dari tahun 1930-an sampai tahun 1960. Fiksi dan realita terpadu kuat. Namun, baginya walaupun novel itu sangat menarik, masih menimbulkan beberapa pertanyaan yang membingungkan: siapa tokoh utamanya, dosa apa yang dimaksudkan dalam judulnya, jenis sastra mana yang kita hadapi, dan apa tujuan pengarang yang sebenarnya.