Dari Puncak Bukit Talang merupakan novel karya Soewardi Idris yang diterbitkan pertama kali tahun 1964 oleh Wilendra. Novel itu terdiri atas 10 bagian. Ilustrasi kulit luar melukiskan seorang serdadu yang sedang berdiri dan memegang senjata membelakangi seorang gadis dan sebagai ilustrator bernama Djanain.
Dari Puncak Bukit Talang menceritakan tentang kisah hidup Munandar, seorang aktivis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang menentang pemerintah Republik Indonesia. Ia terkejut ketika melihat Karnain berada di daerah yang dikuasai PRRI. Padahal, Munandar tahu sahabatnya itu setia kepada pemerintah Indonesia. Karnain mengisahkan bahwa malam sebelum APRI memasuki kota, ia didatangi oleh Junus, tokoh PRRI agar segera menyingkir ke luar kota. Jika tidak menyingkir, Karnain diancam akan dibunuh. Karnain pun menyingkir, sedangkan Alida, istrinya, tetap di kota Solok karena sedang mengandung. Akhirnya, Karnain ikut dengan Munandar dan menjadi jaminan Munandar.
Untuk menghibur diri, Alida yang sangat bersedih karena kepergian suaminya sesekali menemui Martini, istri Munandar. Martini menyarankan agar Alida tetap bersabar karena sebenarnya Martini juga kecewa dan sedih. Letnan Sudarno anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) menemui Martini dan Alida untuk membantu kedua perempuan itu. Kota Solok telah diduduki oleh APRI. Pasukan PRRI menyingkir ke Desa Koto Hilalang dan desa lainnya di dekat bukit Talang. Munandar dan Karnain tidur di pondok Nenek Boge yang memiliki seorang cucu yang cantik bernama Kartina. Bukit Talang ditinggalkan penghuninya. Mereka menyingkir ke Kacukah, begitu pula Munandar, Karnain, Nenek Boge, dan Kartina.
Kota Solok sudah mulai ramai kembali. Orang-orang dari daerah pengungsian mulai berdatangan. Dari orang yang kembali ke kota itu beredar berita bahwa Munandar telah kawin di tempat pertempuran. Ketika mendengar berita itu, Martini sangat sakit hatinya. Ia dinasihati Letnan Sudarno agar lebih berhati-hati sebab berita itu belum tentu kebenarannya. Letnan Sudarno menceritakan tentang kisahnya yang menjadi korban fitnah sehingga harus bercerai dengan istri yang dicintainya. Nasihat Letnan Sudarno tidak digubris oleh Martini. Ia memutuskan untuk mengajukan cerai ke pengadilan agama.
Junus yang mencurigai dan memfitnah Karnain sebagai mata-mata, membujuk komandan pasukan agar membunuh Karnain. Munandar sangat sedih atas kematian sahabatnya itu.Akhirnya, Munandar sadar dan kemudian menyerahkan diri kepada APRI dan mendapat ampunan. Ia pun mengajak Nenek Boge dan Kartina kembali ke Solok. Munandar diampuni oleh pemerintah Indonesia dan pulang ke rumah ibunya. Ibu Munandar menjelaskan bahwa Martini sudah pergi ke Jawa bersama suaminya, Letnan Sudono. Munandar berpikir bahwa dalam keadaan perang apa pun bisa terjadi sehingga ia bisa menerima kepergian Martini.
Alida berterus terang kepada Munandar bahwa ia dan anaknya sangat membutuhkan Munandar. Munandar bingung sebab Nenek Boge dan Kartina pun datang hendak menjemputnya. Munandar memutuskan untuk memilih Kartina dan menolak Alida karena tidak ingin menodai persahabatannya dengan Karnain.
Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, kedudukan novel itu sangat penting karena merupakan satu-satunya novel yang mengungkap permasalahan masyarakat yang terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada masa itu. Di dalam novel itu ditemukan kematangan cara berpikir pada tokoh-tokoh dalam novel itu. Soewardi Idris amat baik melukiskan hubungan antara dua hati yang sedang kecewa, yaitu Martini dan Sudarno. Pelukisan tentang dua orang itu mencapai keseimbanagn yang menarik. Mereka berbuat dengan dasar pertimbangan yang masak meskipun bersifat subjektif. H.B. Jassin (1967) berpendapat bahwa Soewardi Idris memperlihatkan kemampuannya sebagai pengarang.