• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Dari Puncak Bukit Talang   (1964)
Kategori: Karya Sastra

 

Dari Puncak Bukit Talang merupakan novel karya Soewardi Idris yang diterbitkan pertama kali tahun 1964 oleh Wilendra. Novel itu terdiri atas 10 bagian. Ilustrasi kulit luar melukiskan seorang serdadu yang sedang berdiri dan memegang senjata membelakangi seorang gadis dan sebagai ilustrator bernama Djanain.

Dari Puncak Bukit Talang menceritakan tentang kisah hidup Munandar, seorang aktivis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang menentang pemerintah Republik Indonesia. Ia terkejut ketika melihat Karnain berada di daerah yang dikuasai PRRI. Padahal, Munandar tahu sahabatnya itu setia kepada pemerintah Indonesia. Karnain mengisahkan bahwa malam sebelum APRI memasuki kota, ia didatangi oleh Junus, tokoh PRRI agar segera menyingkir ke luar kota. Jika tidak menyingkir, Karnain diancam akan dibunuh. Karnain pun menyingkir, sedangkan Alida, istrinya, tetap di kota Solok karena sedang mengandung. Akhirnya, Karnain ikut dengan Munandar dan menjadi jaminan Munandar.

Untuk menghibur diri, Alida yang sangat bersedih karena kepergian suaminya sesekali menemui Martini, istri Munandar. Martini menyarankan agar Alida tetap bersabar karena sebenarnya Martini juga kecewa dan sedih. Letnan Sudarno anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) menemui Martini dan Alida untuk membantu kedua perempuan itu. Kota Solok telah diduduki oleh APRI. Pasukan PRRI menyingkir ke Desa Koto Hilalang dan desa lainnya di dekat bukit Talang. Munandar dan Karnain tidur di pondok Nenek Boge yang memiliki seorang cucu yang cantik bernama Kartina. Bukit Talang ditinggalkan penghuninya. Mereka menyingkir ke Kacukah, begitu pula Munandar, Karnain, Nenek Boge, dan Kartina.

Kota Solok sudah mulai ramai kembali. Orang-orang dari daerah pengungsian mulai berdatangan. Dari orang yang kembali ke kota itu beredar berita bahwa Munandar telah kawin di tempat pertempuran. Ketika mendengar berita itu, Martini sangat sakit hatinya. Ia dinasihati Letnan Sudarno agar lebih berhati-hati sebab berita itu belum tentu kebenarannya. Letnan Sudarno menceritakan tentang kisahnya yang menjadi korban fitnah sehingga harus bercerai dengan istri yang dicintainya. Nasihat Letnan Sudarno tidak digubris oleh Martini. Ia memutuskan untuk mengajukan cerai ke pengadilan agama.

Junus yang mencurigai dan memfitnah Karnain sebagai mata-mata, membujuk komandan pasukan agar membunuh Karnain. Munandar sangat sedih atas kematian sahabatnya itu.Akhirnya, Munandar sadar dan kemudian menyerahkan diri kepada APRI dan mendapat ampunan. Ia pun mengajak Nenek Boge dan Kartina kembali ke Solok. Munandar diampuni oleh pemerintah Indonesia dan pulang ke rumah ibunya. Ibu Munandar menjelaskan bahwa Martini sudah pergi ke Jawa bersama suaminya, Letnan Sudono. Munandar berpikir bahwa dalam keadaan perang apa pun bisa terjadi sehingga ia bisa menerima kepergian Martini.

Alida berterus terang kepada Munandar bahwa ia dan anaknya sangat membutuhkan Munandar. Munandar bingung sebab Nenek Boge dan Kartina pun datang hendak menjemputnya. Munandar memutuskan untuk memilih Kartina dan menolak Alida karena tidak ingin menodai persahabatannya dengan Karnain.

Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, kedudukan novel itu sangat penting karena merupakan satu-satunya novel yang mengungkap permasalahan masyarakat yang terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada masa itu. Di dalam novel itu ditemukan kematangan cara berpikir pada tokoh-tokoh dalam novel itu. Soewardi Idris amat baik melukiskan hubungan antara dua hati yang sedang kecewa, yaitu Martini dan Sudarno. Pelukisan tentang dua orang itu mencapai keseimbanagn yang menarik. Mereka berbuat dengan dasar pertimbangan yang masak meskipun bersifat subjektif. H.B. Jassin (1967) berpendapat bahwa Soewardi Idris memperlihatkan kemampuannya sebagai pengarang.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Khotbah di Atas Bukit
    Khotbah Di Atas Bukit adalah novel karya Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dimuat dalam harian Kompas sebagai cerita bersambung pada tahun 1971. Namun, pada akhir cerita tertulis, Yogyakarta, ...
  • MITOS DALAM CERITA “BUKIT TAMBUN TULANG”
    Peneliti : Sarman , S.Pd Tanggal Penelitian : Dipublikasikan : TERBIT Tahun Terbit : 2013 Abstrak :Mitos, menurut pandangan Levi-Strauss, adalah dongeng yang dihasilkan oleh daya nalar manusia, ...
  • Eksistensialisme Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit
    Peneliti : Toha Machsum Tanggal Penelitian : 01-01-2006 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh filsafat eksistensialisme dalam novel Khotbah di Atas Bukit (KdAB). Masalah yang dibahas ...
  • Memanjat Bukit Cahaya karya Kusnaidi Syafe`i: Analisis Simbol
    Peneliti : Dede Hidayatullah Tanggal Penelitian : 03-12-2012 Dipublikasikan : TERBIT Abstraksi :Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman batin para penciptanya. Kenyataan ini ...
  • Mendung di atas Bukit
    Judul : Mendung di atas Bukit Bahasa : Indonesia Data Publikasi: Publikasi majalah Tahun Ke-IV No. 1 Tgl.Publikasi 1 September 1958 Provinsi: Provinsi DKI Jakarta Kabupaten/Kota: Kota.Jakarta Pusat
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Dari Puncak Bukit Talang   (1964)
    Kategori: Karya Sastra

     

    Dari Puncak Bukit Talang merupakan novel karya Soewardi Idris yang diterbitkan pertama kali tahun 1964 oleh Wilendra. Novel itu terdiri atas 10 bagian. Ilustrasi kulit luar melukiskan seorang serdadu yang sedang berdiri dan memegang senjata membelakangi seorang gadis dan sebagai ilustrator bernama Djanain.

    Dari Puncak Bukit Talang menceritakan tentang kisah hidup Munandar, seorang aktivis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang menentang pemerintah Republik Indonesia. Ia terkejut ketika melihat Karnain berada di daerah yang dikuasai PRRI. Padahal, Munandar tahu sahabatnya itu setia kepada pemerintah Indonesia. Karnain mengisahkan bahwa malam sebelum APRI memasuki kota, ia didatangi oleh Junus, tokoh PRRI agar segera menyingkir ke luar kota. Jika tidak menyingkir, Karnain diancam akan dibunuh. Karnain pun menyingkir, sedangkan Alida, istrinya, tetap di kota Solok karena sedang mengandung. Akhirnya, Karnain ikut dengan Munandar dan menjadi jaminan Munandar.

    Untuk menghibur diri, Alida yang sangat bersedih karena kepergian suaminya sesekali menemui Martini, istri Munandar. Martini menyarankan agar Alida tetap bersabar karena sebenarnya Martini juga kecewa dan sedih. Letnan Sudarno anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) menemui Martini dan Alida untuk membantu kedua perempuan itu. Kota Solok telah diduduki oleh APRI. Pasukan PRRI menyingkir ke Desa Koto Hilalang dan desa lainnya di dekat bukit Talang. Munandar dan Karnain tidur di pondok Nenek Boge yang memiliki seorang cucu yang cantik bernama Kartina. Bukit Talang ditinggalkan penghuninya. Mereka menyingkir ke Kacukah, begitu pula Munandar, Karnain, Nenek Boge, dan Kartina.

    Kota Solok sudah mulai ramai kembali. Orang-orang dari daerah pengungsian mulai berdatangan. Dari orang yang kembali ke kota itu beredar berita bahwa Munandar telah kawin di tempat pertempuran. Ketika mendengar berita itu, Martini sangat sakit hatinya. Ia dinasihati Letnan Sudarno agar lebih berhati-hati sebab berita itu belum tentu kebenarannya. Letnan Sudarno menceritakan tentang kisahnya yang menjadi korban fitnah sehingga harus bercerai dengan istri yang dicintainya. Nasihat Letnan Sudarno tidak digubris oleh Martini. Ia memutuskan untuk mengajukan cerai ke pengadilan agama.

    Junus yang mencurigai dan memfitnah Karnain sebagai mata-mata, membujuk komandan pasukan agar membunuh Karnain. Munandar sangat sedih atas kematian sahabatnya itu.Akhirnya, Munandar sadar dan kemudian menyerahkan diri kepada APRI dan mendapat ampunan. Ia pun mengajak Nenek Boge dan Kartina kembali ke Solok. Munandar diampuni oleh pemerintah Indonesia dan pulang ke rumah ibunya. Ibu Munandar menjelaskan bahwa Martini sudah pergi ke Jawa bersama suaminya, Letnan Sudono. Munandar berpikir bahwa dalam keadaan perang apa pun bisa terjadi sehingga ia bisa menerima kepergian Martini.

    Alida berterus terang kepada Munandar bahwa ia dan anaknya sangat membutuhkan Munandar. Munandar bingung sebab Nenek Boge dan Kartina pun datang hendak menjemputnya. Munandar memutuskan untuk memilih Kartina dan menolak Alida karena tidak ingin menodai persahabatannya dengan Karnain.

    Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, kedudukan novel itu sangat penting karena merupakan satu-satunya novel yang mengungkap permasalahan masyarakat yang terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada masa itu. Di dalam novel itu ditemukan kematangan cara berpikir pada tokoh-tokoh dalam novel itu. Soewardi Idris amat baik melukiskan hubungan antara dua hati yang sedang kecewa, yaitu Martini dan Sudarno. Pelukisan tentang dua orang itu mencapai keseimbanagn yang menarik. Mereka berbuat dengan dasar pertimbangan yang masak meskipun bersifat subjektif. H.B. Jassin (1967) berpendapat bahwa Soewardi Idris memperlihatkan kemampuannya sebagai pengarang.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Khotbah di Atas Bukit
    Khotbah Di Atas Bukit adalah novel karya Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dimuat dalam harian Kompas sebagai cerita bersambung pada tahun 1971. Namun, pada akhir cerita tertulis, Yogyakarta, ...
  • MITOS DALAM CERITA “BUKIT TAMBUN TULANG”
    Peneliti : Sarman , S.Pd Tanggal Penelitian : Dipublikasikan : TERBIT Tahun Terbit : 2013 Abstrak :Mitos, menurut pandangan Levi-Strauss, adalah dongeng yang dihasilkan oleh daya nalar manusia, ...
  • Eksistensialisme Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit
    Peneliti : Toha Machsum Tanggal Penelitian : 01-01-2006 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh filsafat eksistensialisme dalam novel Khotbah di Atas Bukit (KdAB). Masalah yang dibahas ...
  • Memanjat Bukit Cahaya karya Kusnaidi Syafe`i: Analisis Simbol
    Peneliti : Dede Hidayatullah Tanggal Penelitian : 03-12-2012 Dipublikasikan : TERBIT Abstraksi :Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman batin para penciptanya. Kenyataan ini ...
  • Mendung di atas Bukit
    Judul : Mendung di atas Bukit Bahasa : Indonesia Data Publikasi: Publikasi majalah Tahun Ke-IV No. 1 Tgl.Publikasi 1 September 1958 Provinsi: Provinsi DKI Jakarta Kabupaten/Kota: Kota.Jakarta Pusat
  • Khotbah di Atas Bukit
    Khotbah Di Atas Bukit adalah novel karya Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dimuat dalam harian Kompas sebagai cerita bersambung pada tahun 1971. Namun, pada akhir cerita tertulis, Yogyakarta, ...
  • MITOS DALAM CERITA “BUKIT TAMBUN TULANG”
    Peneliti : Sarman , S.Pd Tanggal Penelitian : Dipublikasikan : TERBIT Tahun Terbit : 2013 Abstrak :Mitos, menurut pandangan Levi-Strauss, adalah dongeng yang dihasilkan oleh daya nalar manusia, ...
  • Eksistensialisme Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit
    Peneliti : Toha Machsum Tanggal Penelitian : 01-01-2006 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh filsafat eksistensialisme dalam novel Khotbah di Atas Bukit (KdAB). Masalah yang dibahas ...
  • Memanjat Bukit Cahaya karya Kusnaidi Syafe`i: Analisis Simbol
    Peneliti : Dede Hidayatullah Tanggal Penelitian : 03-12-2012 Dipublikasikan : TERBIT Abstraksi :Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman batin para penciptanya. Kenyataan ini ...
  • Mendung di atas Bukit
    Judul : Mendung di atas Bukit Bahasa : Indonesia Data Publikasi: Publikasi majalah Tahun Ke-IV No. 1 Tgl.Publikasi 1 September 1958 Provinsi: Provinsi DKI Jakarta Kabupaten/Kota: Kota.Jakarta Pusat
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa