Dokter Rimbu merupakan novel karya El Hakim (Abu Hanifah). Cetakan pertamanya diterbitkan oleh Balai Buku Indonesia pada tahun 1952 dan cetakan kedua oleh Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, tahun 1979 dengan tebal 221 halaman. Isinya menceritakan perjuangan dr. Hakam sebagai dokter muda di daerah hutan dan rimba (rimbu). Ia seorang sarjana ilmu kedokteran yang ditempatkan di daerah terpencil di Sumatra Tengah, dulu termasuk daerah kekuasaan Raja-Raja Pagaruyung.
Dalam bagian awal novel itu dikisahkan dengan panjang lebar ihwal latar belakang dr. Hakam sebagai dokter muda yang berjuang di daerah hutan dan rimba atau rimbu sehingga disebut sebagai dr. Rimbu. Waktu dr. Hakam baru datang, daerah itu mencakup Sungai Kuantan atau Sungai Indragiri. Di sebelah barat berbatasan dengan Keresidenan Sumatra Barat, sebelah selatan berbatasan dengan Keresidenan Jambi dan sebelah utara berbatasan Keresidenan Sumatra Timur, yang sekarang telah masuk daerah Riau Daratan. Dari barat ke timur mengalir Sungai Kuantan atau yang dinamakan pemerintah Hinia Belanda Sungai Indragiri dengan berpuluh-puluh sungai kecil mengalir ke dalamnya.
Di kiri kanan Sungai Kuantan itu terdapat daerah-daerah yang hanya terdiri dari rawang atau rawa, umumnya di tepi-tepi sungai, dan antaranya tanah-tanah bukit, yang terutama terdiri dari tanah yang diangkut oleh air sungai beratus tahun lamanya dan menumpuk di tepi-tepi sungai itu.
Tiap tahun lumpur yang dibawa banjir-banjir bertambah dan di situlah yang terbanyak terdapat kampung-kampung penduduk. Banjir itu biasanya datang dalam musim hujan, kira-kira antara bulan Desember sampai bulan Februari. Bilamana banjir surut timbullah di sana sini genangan air sehingga daerah-daerah itu disebut daerah pasang surut. Sebaliknya sebelah utara, selatan, dan barat dari Sungai Kuantan didapati hutan-hutan lebat yang jarang didiami. Sungguhpun begitu cukup banyak kampung-kampung yang tersebar yang dapat didatangi melalui jalan-jalan hutan, rawa, dan ladang-ladang kering.
Dokter Rimbu merupakan hasil renungan sewaktu pengarangnya berada dalam tahanan Belanda pada saat Yogya diduduki Belanda, antara Desember 1948 hingga Juni 1949. Saat itu ada kabar (saudara-saudara Windoamiseno, Latuharhary, Sewaka, Yusuf Wibisono dan Tahyudin Nur dan dr. Hakam) akan dibuang ke Irian Jaya, mungkin sekali Serui, tempat Dr. Ratulangi pernah dihukum buang. Untung sekali Dewan Keamanan PBB memutuskan supaya pemimpin-pemimpin Indonesia harus dilepaskan. Pembebasan para tawanan politik itu tidak terjadi, tetapi hukum buang terhadap mereka ke Irian Jaya (Serui) tidak jadi dilaksanakan.
Pada waktu dalam tahanan itu, Abu Hanifah tidak memiliki catatan-catatan yang diperlukan sehingga isi novel itu tidaklah begitu lengkap. Juga nama mereka yang disebut-sebut dengan sengaja ditukar dengan nama-nama samaran, terutama karena banyak nama yang tidak diingatnya dengan benar.
Cerita-cerita dalam novel itu sebenarnya banyak berupa autobiografi dan kejadian-kejadian yang diceritakan tidak berlebih-lebihan, malahan banyak kisah-kisah yang tidak dikemukakan supaya tidak menjemukan.
Menurut H.B. Jassin (1985), "Di masa Jepang, Abu Hanifah buka praktik sendiri dan beliau giat pula dalam gerakan politik dan sosial, terutama gerakan pemuda. Sebelum perang, beliau pernah bekerja sebagai dokter di Sumatra Tengah dan kemudian sebagai dokter kapal berpangkat opsir. Pengalaman-pengalamannya sebagai dokter di hutan-hutan Sumatra Tengah, bisa kita baca dalam romannya Dokter Rimbu, yaitu "kisah seorang dokter muda bangsa Indonesia yang bercita-cita tinggi dan terjun ke dalam pekerjaan kedokteran di rimba dan masyarakatnya. Diceritakan betapa sukarnya perjuangannya di tengah-tengah masyarakat yang bertentangan, oleh karena masyarakat rimba ini adalah masyarakat perkebunan besar, masyarakat kapital, masyarakat penduduk yang terbelakang dalam segala hal dan juga masyarakat adat yang sangat kolot.