Dokter Kambudja merupakan drama pertama karya Trisno Sumardjo yang ditulis dan pertama kali dipentaskan pada tahun 1946 di kota Madiun, Jawa Timur. Meski merupakan karya awal, drama Dokter Kambudja menunjukkan kemampuan dan prestasi Trisno Sumardjo dalam menulis karya sastra. Setelah Trisno Sumardjo pindah ke Jakarta (1950), naskah drama tersebut direvisi dan diterbitkan dalam majalah Indonesia Nomor 12 Tahun II, Desember 1951. Satu tahun kemudian, drama tersebut dibukukan bersama-sama karya Trisno Sumardjo yang lain dalam buku antologi Kata Hati dan Perbuatan (diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1952).
Secara keseluruhan, drama Dokter Kambudja terdiri atas empat babak dan terbagi dalam 29 adegan. Latar waktu terjadinya peristiwa dalam drama itu adalah masa awal kemerdekaan. Drama Dokter Kambudja berlatar ruang perawatan "Rumah Sakit Darurat" di medan perang. Pelaku drama itu antara lain, (1) Dokter Sardjono, seorang ahli bedah dan pemimpin Rumah Sakit Darurat, (2) Sumitro, pasien, teman dekat Dokter Sardjono, (3) Dokter Kambudja, asisten dokter Sardjono, (4) Santoso, prajurit muda, (5) Gunawan, juru rawat, (6) Setiawati, anggota palang merah dan wanita pejuang, (7) seorang opsir, dan (8) beberapa juru rawat.
Sesuai dengan judulnya, Dokter Kambudja, secara khusus menampilkan perilaku dan keberadaan seorang dokter intelektual pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Peran intelektual—apalagi berkedudukan sebagai dokter rumah sakit—pada masa awal kemerdekaan sangat diperlukan bagi bangsa baru yang akan membangun negerinya.
Sebagai seorang kepala rumah sakit, dokter Sardjono sangat bertanggung jawab terhadap keselamatan pasiennya. Ia sebenarnya melarang Sumitro (pasiennya) mendonorkan darahnya kepada Santoso, prajurit muda yang luka parah. Namun, atas desakan dan dorongan semangat juang dan rasa kebangsaan pasiennya itu—sehingga mampu menggetarkan hati nurani dokter Sardjono—ia mengabulkan niat Sumitro demi menyelamatkan prajurit Santoso. Setelah mendonorkan darahnya kepada Santoso, Sumitro meninggal dunia. Dokter Sardjono melindungi prajurit Santoso dari kejaran opsir Belanda dengan mengganti nama Santoso menjadi Sumitro.
Peran intelektual yang diperlihatkan oleh dokter Sardjono—seperti rasa tanggung jawab, semangat juang, dan melindungi yang lemah—itu bertolak belakang dengan yang yang diperlihatkan dokter Kambudja. Ia sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dirinya seorang intelektual yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan pasiennya. Sebenarnya, golongan darah dokter Kambudja sama dengan golongan darah Santoso. Namun, dokter itu tidak mau mendonorkan darahnya kepada Santoso sebab Kambudja menganggap bahwa Santoso merupakan saingan beratnya dalam merebut hati Setiawati.
Keselamatan Santoso dari ancaman maut karena telah mendapatkan donor darah dari Sumitro, ternyata tidak membuat senang hati Kambudja. Kebencian Kambudja terhadap Santoso telah membutakan hati dan kedudukannya sebagai dokter yang intelektual. Ternyata, semangat juang dan rasa kebangsaan itu tidak hanya diuji sebagai Srikandi Indonesia—tetapi juga diuji dengan pengorbanan demi tegaknya negara dan bangsa seperti yang diperlihatkan oleh Sumitro. Dokter Kambudja tega membunuh pasiennya sendiri dengan menyuntikkan racun ke tubuh Santoso hingga Santoso meninggal dunia. Tindakan dokter Kambudja itu memperlihatkan citra yang tidak terpuji dan terkutuk dalam dirinya. Ia sama sekali tidak memiliki rasa tanggung jawab, tidak bermoral, dan tidak menghargai pengorbanan Sumitro yang telah merelakan nyawanya demi keselamatan prajurit juang.
Perbuatan busuk dokter Kambudja itu tercium juga oleh Gunawan dan Setiawati. Sejak semula mereka berdua sudah mencurigai perilaku dan tindakan dokter Kambudja terhadap pasiennya. Kemudian, mereka berdua mencari akal untuk menjebak dokter yang tidak bermoral tersebut. Setiawati berpura-pura mengatakan kepada dokter Kambudja, bahwa Santoso masih hidup dan perlu perawatan intensif. Ketika mendengar aduan Setiawati seperti itu, dokter Kambudja segera menyatakan kesediaannya menolong Santoso dengan mencarikan serum pengobatan yang terbaik. Ia segera menyiapkan racunnya kembali untuk disuntikkan ke tubuh Santoso. Gunawan dan Setiawati sudah menduga apa yang akan dilakukan dokter Kambudja terhadap Santoso. Gunawan, yang menyamar sebagai Santoso, segera menangkap dokter Kambudja ketika akan menyuntikkan racun ke tubuhnya. Dokter yang berkhianat terhadap bangsanya itu akhirnya harus mati di tangan Setiawati, gadis yang selama hidupnya dikejar-kejarnya, tetapi membencinya.
Sapardi Djoko Damono, dkk. (2005) menyatakan, bahwa drama itu mengungkapkan ihwal kejahatan berlapis yang dilakukan oleh tokoh antiwira, dokter Kambudja, untuk memperebutkan perempuan dan nama baik dalam perjuangan revolusi.
A. Teeuw (1980) berpendapat, bahwa Dokter Kambudja membicarakan tentang masalah revolusi, watak utamanya merupakan seorang reaksioner egois yang mengkhianati revolusi dan dibunuh oleh para revolusioner yang sebenarnya. Drama ini lemah dalam hal plot serta perkembangannya. Bagian yang paling menarik dalam kumpulan ini ialah sanjak-sanjaknya, yang menimbulkan kesan karena nadanya yang bersahaja dan perhatian yang diberikan terhadap kemurnian dan kejujuran serta suara hati.