Dian Jang Tak Kundjung Padam merupakan novel karya Sutan Takdir Alisjahbana yang terbit pertama kali pada tahun 1932 oleh penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Novel itu bercerita tentang percintaan yang gagal antara seorang pemuda dusun yang miskin, bernama Yasin, dan seorang gadis keturunan bangsawan yang kaya raya, bernama Molek. Oleh orang tuanya Molek dipaksa kawin dengan Sayid Mustafa, seorang Arab yang kaya raya dan hanya mencintai harta orang tua Molek. Dalam penutup cerita, Yasin tetap membujang dan hidup sebagai petani di lereng Gunung Seminung. Pada masa tuanya, ia berhasil menolong seorang pemuda yang ingin bersembunyi dan melarikan kekasihnya, suatu perbuatan yang tidak berhasil dilakukan Yasin ketika masih muda.
Dian jang Tak Kundjung Padam sebagai sebuah novel ternyata cukup populer dan digemari masyarakat. Hal itu terindikasi dari beberapa cetak ulang dan hingga tahun 1993 novel itu telah mengalami cetak ulang yang ketiga belas kali. Cetakan pertama tahun 1932 diterbitkan oleh Balai Pustaka-Batavia Centrum. Cetakan kedua dan ketiga tahun 1948 dan 1960 diterbitkan oleh Balai Pustaka-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Cetakan keempat (1975), kelima (1977), keenam (1980), ketujuh (1982), kedelapan (1984), kesembilan (1986), kesepuluh (1988), kesebelas (tanpa angka tahun), kedua belas (1992), dan ketiga belas (1993) dilaksanakan oleh Dian Rakyat, Jakarta. Namun, dalam setiap cetak ulang tidak dicantumkan jumlah oplahnya.
Novel yang memilih latar Sungai Musi dan kota Palembang ini sudah diteliti sebagai bahan skripsi, antara lain oleh Ambarini Asriningsari pada Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro bersama-sama dengan novel Tak Putus Dirundung Malang (1929) karya Takdir yang pertama. Amina Halil dari Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Indonesia juga menggunakan karya Takdir ini untuk penulisan skripsi sarjana mudanya.
Menurut Jassin dalam bukunya yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985) gaya Sutan Takdir Alisjahbana dalam penggunaan ungkapan "tiada berhingga" dan superlatif (semulia-mulianya, seyakin-yakinnya) sangat berlebihan. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Pokok dan Tokoh (1955) memuji Takdir sebagai pengarang yang mempunyai kecakapan untuk menghasilkan karya yang dapat dibaca dengan rasa senang.
Idrus dalam artikel berjudul "Manusia-Alam dalam novel Dian jang Tak Kundjung Padam" yang dimuat majalah Merdeka, edisi 24 Desember 1949 Tahun II No. 52 memberikan kritikan terhadap tokoh utama, Yasin. Sebagai pemuda yang dibesarkan di alam, yang terlihat dalam penggambaran tubuhnya sebagai orang dusun Uluan, penggambaran kisah percintaan Yasin sangat aneh karena tingkah lakunya seperti pemuda kota yang biasa menonton film-film Barat. Sebagai lelaki yang kuat perkasa, ternyata sikap Yasin sangat lemah dalam menghadapi persoalan cinta. Ia tidak mampu menolong Molek agar tidak dikawinkan dengan lelaki Arab dan gagal melmbawa lari Molek. Selanjutnya, Idrus mengatakan bahwa Takdir selalu memulai karangan dengan benar, cara Takdir memperkenalkan pelaku-pelakunya dilakukan secara sensasional, tetapi kepastian, kebenaran, dan kecerdasan pengarang tidak terlihat dalam kisah itu, pengarang hanya mengemukakan bahwa cinta sejati itu tidak mungkin padam.
Sementara itu, Zuber Usman dalam Kesusastraan Baru Indonesia (1957) mengomentari roman Takdir itu sebagai berikut. Bahasa yang digunakan Takdir dalam bukunya itu cukup segar dan kaya akan perbendaharaan kata serta ungkapan-ungkapan yang menarik. Lukisan tentang keindahan alam tampak hidup dan bergairah. Perbandingan dan kiasan yang digunakan mampu menumbuhkan suasana mesra antara manusia dan alam semesta. Bahasanya laksana punya tali sutra yang memikat pembaca. Ia mempunyai keistimewaan dalam upaya untuk mengubah tradisi penulisan ke arah sastra baru yang penuh vitalitas. Secara jujur Zuber Usman juga mengatakan bahwa ia lebih tertarik kepada karya Takdir yang satu ini daripada karyanya yang lain. Persoalan yang dikemukakannya pun lain dari yang lain, bukan mengunyah apa yang telah dikunyah orang-orang.
Maman S. Mahayana dkk. dalam buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992) menyebutkan umumnya tema roman-roman Balai Pustaka pada masa permulaan, masih berkisar pada persoalan cinta dalam hubungannya dengan adat istiadat yang masih kukuh dipertahankan oleh pihak orang tua. Jadi, tema roman ini masih berkisar pada pertentangan golongan muda dan golongan tua. Percintaan antara Yasin dan Molek jika dilihat secara fisik atau jasmani memang gagal, tetapi secara rohani keduanya mendapat kemenangan. Pada bagian akhir roman ini dimunculkan tokoh pemuda (Rahman) yang secara simbolik bermaksud mengatakan bahwa generasi muda di masa mendatang akan mampu mengalahkan golongan tua.