| |
Di Bawah Kaki Pak Dirman merupakan kumpulan cerpen karya Nasjah Djamin yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1967 oleh Dian, Yogjakarta. Kumpulan cerpen itu kemudian diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 1986. Di dalam kumpulan cerpen itu terdapat delapan buah cerpen yang berjudul "Pertemuan", "Turunan-Turunan Bangsawan", "Debu Berembun Dilabuh", "Di Bawah Kaki Pak Dirman", "Malam Abstrak", "Repo dan Lusi", "Orang—Orang Gila", dan "Penyelundup Risau". Cerpen-cerpen tersebut merupakan karya-karya Nasjah Djamin yang ditulisnya antara tahun 1960 dan 1961 yang diterbitkan dalam majalah-majalah populer, seperti Minggu Pagi dan Terang Bulan. Sebagian besar kisah di dalam kumpulan cerpen itu berasal dari kisah kehidupan yang berlangsung di sepanjang jalan Malioboro, Jogyakarta sekitar tahun 1950-an. Saat itu revolusi fisik di Indonesia baru saja berakhir. Sisa-sisa kebanggaan dan kesakitan revolusi masih terlihat jelas. Oleh sebab itu, kisah-kisah di dalam kumpulan cerpen itu seperti karya sastra lainnya yang berbentuk sajak, novel, dan drama secara jelas menggambarkan segala suka dan duka revolusi.
Karya Nasjah Djamin mengalir begitu saja mengikuti arus pikiran pembacanya. Kisah-kisahnya pun menjadi enak dibaca, tidak memunculkan kerut di dahi. Itulah ciri khas karyanya. Oleh sebab itu, sebagian orang menggolongkan karya-karya Nasjah Djamin sebagai karya populer. Gaya Nasjah yang demikian muncul di dalam kumpulan cerpen Di Bawah Kaki Pak Dirman.
Pembaca mendapatkan renungan berharga setelah menghabiskan hidangan kisah dari Nasjah tanpa harus bersusah payah berpikir dan merenung. Hal tersebut misalnya terlihat pada cerpen yang berjudul "Pertemuan". Cerpen itu mengisahkan pertemuan antara bekas seorang murid dengan bekas gurunya di masa Belanda. Pertemuan itu diawali dengan ketertarikan sang aku yang bekas murid pada seorang perempuan muda yang kemudian ternyata adalah istri muda bekas gurunya yang dibencinya karena sang guru adalah seorang Inlander yang Belanda. Kisah terus mengalir memunculkan kekecewaan-kekecewaan sang aku kepada gurunya yang disebabkan oleh pengkhianatan sang guru kepada negara Indonesia, tetapi kekecewaan itu tidak diungkapkan oleh Nasjah Djamin dengan slogan-slogan revolusi yang sudah umum pada masa itu, ia menyampaikannya dengan penuh rasa kemanusiaan yang lembut. Saat si aku sebagai pemuda ekstrimis—menurut anggapan Belanda dan pejuang menurut anggapan pihak Indonesia—tertangkap basah oleh patroli Belanda hendak membunuh sang guru, guru itu hanya mengatakan bahwa dirinya habis berlatih boxen dengan muridnya itu. Nasjah sebagai pencerita tidak menambah komentar lainnya. Hanya peristiwa saja yang disajikan, pembacalah yang akan sibuk menafsirkan dan memberi makna.
Revolusi memang masih menjadi fokus pembicaraan dalam kumpulan cerpen itu. Di dalam revolusi itu yang muncul adalah keikhlasan dan kerelaan. Cerpen-cerpen itu memunculkan kisah-kisah pahlawan yang tak bernama dan tak minta balas jasa yang dikontraskan dengan pahlawan besar seperti tergambar dalam cerpen "Di Bawah Kaki Pak Dirman" yang kemudian menjadi judul kumpulan cerpen itu. Dari cerpen itu terlihat sikap Nasjah yang memihak pada pahlawan tak dikenal yang memang tidak tercatat oleh sejarah, tetapi merekalah yang sebenarnya memberikan bagian besar dalam revolusi Indonesia.
Kumpulan cerpen itu dapat menjadi pelengkap kisah sejarah yang hanya berisi sejarah orang-orang besar. Kumpulan cerpen Di Bawah Kaki Pak Dirman dapat dikatakan sebagai kisah-kisah sejarah orang-orang kecil yang tak tercatat karena keiklasan perjuangan mereka. Ironi-ironi tentang nasib mereka dikisahkan dalam cerpen itu. Nasjah Djamin dengan kumpulan cerpennya ini seperti membawa pembaca pada sisi lain kehidupan revolusi. Kehidupan pahlawan-pahlawan tak bernama, pahlawan-pahlawan tak dikenal yang terlupakan oleh sejarah.
Farida Soemargono dalam buku Sastrawan Malioboro 1945-1960 (2004) antara lain berpendapat, bahwa cerita itu berkisar tentang patung Jenderal Sudirman yang tegak berdiri di depan gedung DPR Yogya, jalan Malioboro, dan di kaki patung itu tokoh dalam cerpen tersebut menghabiskan malam di terang bulan purnama. Dalam perenungan tokoh itu, muncul kembali kenangan masa revolusi, cita-cita keadilan dan kemakmuran dalam negeri setelah kemerdekaan. Namun, kenyataan yang terjadi justru sangat mengecewakan. Orang-orang sekarang tidak tahu pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan dan dua pengemis kecil yang tidur di dekatnya adalah anak-anak para pejuang. Ayah mereka gugur sewaktu mengikuti laskar Jenderal Sudirman. Keesokan harinya, salah seorang anak kecil itu ditemukan mati di bawah kaki patung itu.