Etsa merupakan buku yang berisi kumpulan sajak karya Toto Sudarto Bachtiar yang ditulis sekitar tahun 1950-an. Kumpulan sajak itu termasuk salah satu kumpulan sajak yang dapat dianggap penting dan terkenal selain kumpulan sajaknya yang berjudul Suara yang juga ditulis pada tahun 1950—1955-an.
Etsa memuat empat puluh judul sajak, yakni: (1) "Pusat", (2) "Gagal", (3) "Musim Hudjan", (4) "Tamu", (5) "Kesan", (6) "Pertjakapan", (7) "Pengantar", (8) "Pantomime", (9) "Sadjak Buat Sebuah Nama", (10) "Penawar", (11) "Tegak", (12) "Mimpi", (13) "Djendela", (14) "Sakit", (15) "Angin Pagi", (16) "Djari", (17) "Danau M", (18) "Rumah", (19) "Wadjah", (20) "Djembatan Tua", (21) "Ode I", (22) "Ode II", (23) "Perhitungan", (24) "Kawan", (25) "Hati di Atas Kertas", (26) "Kepada Orang Mati", (27) "Kepada K.P.", (28) "Dia", (29) "Renjai", (30) "Tjatatan Untuk Hari Tua", (31) "Muka", (32) "Tangan dalam Kelam", (33) "Kubur", (34) "Kelambu", (35) "Senjap", (36) "Etsa", (37) "Rumah Kosong", (38) "R & J", (39) "Pengembara II", dan (40) "Au Revoir".
Kumpulan sajak Etsa oleh Herman K.S. (dalam Waspada, 1973) dilukiskan sebagai gambaran yang "sepi dan maut", seperti yang tertulis dalam bait-bait sajaknya yang berjudul "Pusat" (sajak pertama dari kumpulan sajak dalam Etsa). Toto yang merindukan kedamaian terlukis dalam sajaknya yang berjudul "Kesan". Sepi yang memburu dilukiskan oleh Toto dalam salah satu bait sajaknya yang berjudul "Tegak". Sajak "Catatan untuk Hari Tua" menggambarkan maut yang membayang.
Abdul Hadi W.M. (dalam Barata Yudha, Juni 1979) berperdapat, bahwa dengan kumpulan sajaknya Etsa dan Suara itu, Toto Sudarto Bachtiar dapat dianggap sebagai penerus Chairil Anwar.
Etsa dan Suara merupakan kumpulan sajak terakhir yang ditulis oleh Toto Sudarto Bachtiar, seperti yang diungkapkan oleh Wijaya (dalam harian Terbit, Juli 1992). "Itulah salah satu karya Toto Sudarto Bachtiar di dalam hidupnya selain kumpulan sajaknya yang berjudul Suara dan satunya lagi berjudul Etsa, dan ditulisnya pada tahun 50-an, setelah itu Toto tidak menulis sajak lagi, meskipun bakat yang besar terlihat di dalam sajak-sajaknya".
Di samping kesan kesepian dan maut, dalam Etsa juga ada kesan romantis, seperti yang diungkapkan oleh Eddy D. Iskandar (dalam Pikiran Rakyat, Mei 1978), "Dalam Etsa", saya seakan menemukan "sesuatu yang sekarang itu telah terbuang, saya menangkap kesan romantis dari keseluruhan sajak-sajak itu".