Domba-Domba Revolusi semula merupakan drama karya B. Soelarto yang diterbitkan pertama kali dalam majalah Sastra No. 8 Tahun II (1962) dan dinyatakan sebagai drama yang memperoleh Hadiah Pertama majalah Sastra Tahun 1962.
Drama tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk novel dengan judul Tanpa Nama: Domba-Domba Revolusi yang diterbitkan oleh Penerbit Nusantara, Jakarta, tahun 1964. Kemudian, tahun 1967 diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka sebagai cetakan ke-2 dan tahun 2001 sebagai cetakan ke-3. Pada tahun 1988 kisah ini diangkat sebagai cerita sinetron TVRI.
Drama ini berlatarkan masa revolusi tahun 1948. Keadaan genting membuat empat lelaki—politikus, Pedagang, Petualang, dan Penyair—terpaksa bersembunyi dalam losmen milik seorang perempuan. Ketika Penyair meninjau keadaan kota untuk mencari kemungkinan lolos dari kepungan musuh, Pedagang dan Petualang bersepakat untuk meninggalkan Politikus. Semula Pedagang menolak, tetapi setelah Petualang meyakinkan Pedagang bahwa dalam situasi gawat penagihan tidak mungkin dilakukan, Pedagang menyetujui usul Petualang. Tiba-tiba muncul Politikus yang mencemaskan keselamatan dokumen rahasia yang dibawanya karena kuatnya kepungan musuh. Ketika Petualang mengusulkan agar Politikus bersama-sama dirinya pergi berkompromi dengan musuh sekadar memperoleh kesempatan lolos, Pedagang sangat terkejut. Ketika mereka akan berangkat, Penyair datang mengabarkan bahwa musuh telah menguasai kota dan mereka harus melakukan perlawanan senjata. Ketiga orang itu menolak granat-granat yang telah diperoleh Penyair dan memutuskan pergi dari losmen itu dengan segera.
Perempuan tidak keberatan jika mereka pergi karena ketiga lelaki itu telah bersikap tidak senonoh. Penyair mengharapkan agar Perempuan ikut bersamanya, tetapi Perempuan itu tahu—setelah Penyair menceritakan sejarah hidupnya—bahwa dialah sebenarnya istri ayah Penyair yang diceraikan waktu masih muda. Penyair pergi tanpa mengetahui rahasia Perempuan dan tidak lama kemudian datanglah Petualang mengabarkan bahwa kawan seperjalanannya telah mati, lalu mengajak Perempuan pergi bersamanya atas pertolongan seorang sedadu musuh yang bersedia membantunya karena kekayaan peninggalan kedua kawannya. Namun, serdadu tidak meminta bayaran uang, tetapi meminta bayaran Perempuan. Perempuan berhasil menikam Petualang dan serdadu dalam kamarnya dan akhirnya ia sendiri ditembak oleh serdadu-serdadu yang menyerbu ke losmennya.
Menurut Maman S. Mahayana dkk. (1992) novel itu menceritakan sisi lain dari sebuah pergolakan yang bernama revolusi. Peristiwa terjadi pada tahun 1948 di sebuah losmen. Losmen itulah yang mempertemukan lima tokoh yang memiliki karakter berbeda dalam menyiasati substansi revolusi. Dalam situasi itu tampak sosok-sosok pribadi yang culas yang diwakili tokoh Pedagang, tokoh ambisius yang diwakili oleh Profesor, tokoh egois yang diwakili Politikus, tokoh lugu yang diwakili oleh Penyair, dan tokoh patriotik yang diwakili Perempuan, pemilik losmen.
Teeuw (1989) menegaskan bahwa sastra drama ini menjadi penting karena "keluar" dari realisme sehari-hari, yang dalam kisah-kisah perang lain terlalu biasa. Di tengah-tengah situasi yang paling kritis terwujud suatu konfrontasi simbolis dari seorang pemimpin politik, seorang usahawan, seorang dosen, seorang penyair, dan seorang gadis yang polos, tetapi berbudi. Ketiga tokoh pertama, yaitu Politikus, Pedagang, dan Profesor, walaupun mempunyai semangat patriotik tinggi dan slogan-slogannya yang muluk, gagal menghadapi ujian kemanusiaan yang menentukan.
Sapardi Djoko Damono, dkk. (2005) mengemukakan, bahwa "juru bicara" pengarang dalam Domba-Domba Revolusi adalah penyair muda yang dapat membaca perkembangan situasi perang sehingga menjadi tumpuan harapan "domba-domba" yang lain. Pikiran pengarangnya juga terbaca pada tokoh perempuan pemilik losmen, khususnya ketika ia berbicara tentang pengelompokan manusia yang ikut berjuang dengan berbagai motivasi di belakangnya.