Iblis merupakan drama karya Mohammad Diponegoro. Drama ini mula-mula dimuat dalam majalah Budaja Nomor 1—2, Januari—Februari 1963. Naskah drama itu ditulis pada tahun 1961. Naskah itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1983 dan Tifa, Jakarta, pada tahun 2006 (96 halaman).
Drama Iblis dipentaskan pertama kali pada 25 September 1961 di gedung Chung Hwa Chung Hui, Yogyakarta. Hari pementasan itu kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Teater Muslim, yang semula bernama BKKIY (Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Indonesia Yogyakarta).
Drama Iblis muncul di tengah pertarungan ideologis antarkomponen bangsa. Drama itu merupakan ikhtiar kelompok Muslim dalam menghadapi teror mental dan politik dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berorientasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) semasa pemerintahan Orde Lama.
Terbitnya karya drama yang secara tematik berseberangan dengan ideologi partai yang sedang dekat dengan sumber kekuasaan waktu itu patut dihargai secara benar, tidak berlebihan. Anggaplah hal itu sebagai pencerminan dari sebuah sikap budaya yang dewasa dalam menghadapi dinamika hidup berkebangsaan. Meskipun drama itu merupakan saduran dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail (cukilan kisah dari kitab suci), isi drama tersebut cukup memberi keteguhan iman pada para pembaca ketika menghadapi teror mental dan politik pada waktu itu. Kehadiran drama "Iblis" dapat membangkitkan perjuangan bangsa yang mulia dan luhur berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, kehadiran drama yang bertema ketuhanan tersebut juga dianggap sebagai usaha mengembalikan keimanan masyarakat yang telah lama hilang akibat situasi sosial politik yang tidak menentu arahnya.
Alternatif lain yang ditawarkan Mohammad Diponegoro dalam drama "Iblis" adalah sebagai suluh bagi masyarakat yang berada dalam kegelapan perjalanannya atau dalam upayanya mencari dan menemukan Tuhan.
Drama "Iblis" bercerita tentang keimanan Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu Tuhan untuk menyembelih anaknya, Ismail. Sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan niat sucinya sesuai dengan perintah Tuhan, datanglah dua iblis, yaitu iblis perempuan dan iblis laki-laki membujuk dan merayu Siti Hajar (istri Ibrahim yang melahirkan Ismail). Iblis bermaksud menggagalkan niat suci Ibrahim untuk menyembelih anaknya melalui bujuk rayunya kepada Siti Hajar. Namun, usaha demi usaha yang dilakukan iblis menggoda Siti Hajar tidak berhasil. Siti Hajar adalah wanita salehah dan teguh imannya. Akhirnya, iblis itu berhadapan dengan Ibrahim dan Ismail untuk menggagalkan niat suci Ibrahim.
Ketika menghadapi Ibrahim dan Ismail, ternyata iblis itu tidak dapat berbuat banyak seperti yang diinginkannya. Sebagai tokoh manusia yang taat dan beriman, Ibrahim dan Ismail terlalu kokoh untuk digoda iblis. Ibrahim tetap melaksanakan perintah-Nya, yaitu menyembelih anaknya, Ismail. Keteguhan iman Ibrahim itu diimbangi pula oleh ketaatan anaknya, Ismail. Ismail bersedia disembelih ayahnya demi keimanannya kepada Tuhan. Ketika menghadapi kenyataan seperti itulah, iblis bertobat dan tidak mengganggu lagi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Sia-sialah iblis menggoda orang-orang yang beriman kepada Tuhan.
Dari sekelumit ringkasan cerita tersebut dapat dibayangkan adanya dua bentuk citra tokoh, yaitu (1) citra manusia yang beriman kepada Tuhan dan (2) citra makhluk yang tidak beriman atau ingkar kepada Tuhan. Kelompok pertama diwakili oleh Siti Hajar, Ibrahim, dan Ismail. Kelompok kedua diwakili oleh iblis perempuan dan iblis laki-laki.
Tokoh Siti Hajar digambarkan sebagai seorang istri yang setia dan taat terhadap suami serta beriman kepada Tuhan. Pada awalnya tokoh iblis menganggap bahwa Siti Hajar adalah tokoh yang lemah dan mudah digoda. Akan tetapi, dalam kenyataannya tokoh Siti Hajar memiliki keteguhan iman yang tidak mudah tergoyahkan oleh bujuk rayu, hasutan, dan godaan iblis. Setiap godaan yang dilancarkan iblis terhadap Siti Hajar selalu berakhir dengan kegagalan.