Hilanglah Si Anak Hilang merupakan novel karya Nasjah Djamin yang pertama kali terbit sebagai cerita bersambung di dalam surat kabar mingguan Minggu Pagi, Yogyakarta, tahun 1960, kemudian baru tahun 1963 novel itu diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Nusantara, Bukittinggi. Pada Tahun 1977 novel tersebut dicetak ulang oleh Pustaka Jaya, Jakarta. Selanjutnya, tahun 1993 Balai Pustaka menerbitkan kembali novel tersebut sebagai cetakan ketiga dengan ketebalan 80 halaman. Novel itu terdiri atas sepuluh bab. Judul bab tidak dinyatakan dengan kata atau kalimat, tetapi ditandai oleh sebuah angka arab yang dibesarkan dan ditebalkan, yaitu 1, 2, 3, dan seterusnya. Teknik penceritaannya memakai gaya akuan.
Novel Hilanglah Si Anak Hilang bercerita tentang aku (Kuning) yang mengalami derita batin lantaran sikap keluarganya. Kuning seorang pelukis individualis yang meninggalkan lingkungan keluarganya karena berselisih prinsip. Perbuatan Kuning yang memilih menjadi pelukis atau seniman tidak disetujui oleh keluarga, Centani kakaknya, Udin, Akbar, dan ibunya. Perbuatan yang juga tidak disetujui keluarganya adalah pergaulan Kuning dengan Marni, seorang wanita tunasusila. Perbuatan Kuning itu dianggap oleh seluruh keluarganya sebagai perbuatan yang menjatuhkan martabat keluarga. Oleh sebab itu, Kuning menyingkir dari rumah itu untuk mencari jalan hidup sendiri sebagai "si anak hilang".
Ibu Kuning setiap hari merindukan kehadiran Kuning. Agar moral Kuning dapat dikembalikan seperti semula, Ibu dan kakak-kakak Kuning hendak mencoba mengarahkan Kuning ke jalan yang benar. Jalan yang dapat dilihat itu adalah jalan perkawinan. Kuning akan dikawinkan dengan Meinar, seorang asuhan Centani yang sudah menjadi guru SKP. Kuning disurati agar pulang dan Kuning pun pulang. Ketika Kuning tahu bahwa kepulangannya itu akan dimanfaatkan, ia menolaknya. Hati Kuning masih terpaut pada Marni. Tatkala Kuning bertemu dengan Marni, Marni langsung mengajak Kuning menginap di rumahnya. Pergaulan semalam Kuning dengan Marni itu membuat semua anggota keluarga Kuning menjadi marah. Akbar memukul Kuning habis-habisan. Centani mendatangi Marni dan mencaci maki Marni. Di lain pihak, Meinar secara terang-terangan mengatakan kepada Kuning, bahwa Meinar tidak dapat kawin dengan Kuning karena Meinar juga tidak suci lagi. Meinar telah ternoda oleh seorang laki-laki yang disenanginya. Akan tetapi, lelaki itu bunuh diri karena merasa berdosa akan perbuatannya. Meinar menderita sakit TBC sehingga membuat paru-parunya hanya tinggal sebelah. Dalam dua tahun itu, menurut dokter, ia akan meninggal dunia.
Marni merasa terpukul dengan datangnya Centani ke tempatnya. Apalagi suami Marni, Pak Kadir, ada di situ. Pak Kadir menyetujui agar Kuning kawin dengan Marni dan Pak Kadir akan melepaskan Marni. Akan tetapi, Marni menolak kawin dengan Kuning karena ia merasa sudah ternoda.
Marni pertama kali menyerahkan dirinya dulu ketika masih di SMP. Pada saat itu, ibunya sakit dan adiknya juga sakit. Ia perlu uang untuk mengobati ibu dan adiknya. Marni menyerahkannya tubuhnya kepada seorang pedagang kaya dan sejak itu ia menjadi seorang wanita tunasusila. Semua laki-laki memandang Marni dengan jijik. Hanya Kuninglah yang memberi semangat kepada Marni untuk hidup. Sejak itu, Marni hidup bersama dengan Kuning.
Karena perundingan berubah menjadi main hakim sendiri, Kuning meninggalkan lagi rumah orang tuanya. Ia datang kepada Marni untuk mengajaknya kawin, tetapi Marni menolak. Akhirnya, Kuning kembali ke Yogyakarta dengan perasaan yang tidak karuan.
Setelah beberapa lama tinggal di Yogyakarta, Kuning menerima tiga buah surat. Surat pertama datang dari Pak Kadir yang mengabarkan kematian Marni, Marni bunuh diri dengan minum setabung pil tidur. Surat kedua datang dari Marni yang ditulisnya sesaat sebelum ia meninggal. Dalam surat itu Marni mengatakan bahwa ia berbuat nekat bunuh diri untuk menghindari perbuatan dosa yang terus-menerus. Surat ketiga datang dari Meinar. Surat itu bercerita tentang kematian dan keagungan jiwa Marni. Meinar mengatakan, bahwa ia memuji dan merasa hormat pada Marni. Sebaliknya, ia sendiri lebih kotor daripada Marni. Dengan demikian, Kuning merasa bahwa di dunia ini manusia tidak butuh saling dikasihani. Yang diperlukan adalah saling menghargai.
Dari kandungan isi novel itu, dapat dikemukakan pemikiran yang terkait dengan peristiwa yang dialami tokoh utama, yaitu kebebasan mutlak untuk menjalani hidup sebagaimana yang diinginkan tidak dapat diperoleh meskipun dengan jalan pengasingan diri. Di antara tuntutan keluarga dan hasrat untuk memenuhi keinginan diri sendiri selalu ada yang harus jadi korban. Oleh karena itu, untuk menghindari tindakan ekstrim dari kedua belah pihak yang berseberangan dalam prinsip hidupnya harus dilakukan kompromi. Tidak ada kebenaran mutlak untuk diikuti atau diakui. Kuning (aku) di satu kutub dan Centani di kutub yang lain dijembatani oleh Marni dan Meinar yang keduanya menjadi korban. Penolakan Marni akan permintaan Kuning dan penghargaan Meinar atas Marni tidak mungkin terjadi kalau di antara kedua "korban"itu tidak ada rasa saling menghargai. Selama Kuning dan Centani tidak mampu menghargai pengorbanan Marni, selama itu pula hubungan Kuning dan Centani akan menuntut korban-korban lain.
Tentang novel Hilanglah Si Anak Hilang, Nasjah Djamin sendiri mengatakan bahwa novel ini merupakan novel pertama yang ditulisnya. Novel itu ditulis semata-mata untuk mengisi kekosongan cerita bersambung di Minggu Pagi, Yogyakarta. Walaupun banyak kritik pedas terhadap novel ini, Nasjah Djamin tetap diam.
Nasjah Djamin dalam komentarnya kepada para peserta seminar tiga hari di Taman Ismail Marzuki mengatakan, bahwa novelnya itu dianggap orang sebagai novel yang tidak berguna dan tidak baik karena persoalan yang dikemukakan di dalamnya adalah persoalan biasa.
Tahun 1976 novel Hilanglah Si Anak Hilang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Dr. Farida Soemargono L'abrousse dengan judul Le Depart de l'Enfant Prodigue yang diterbitkan oleh Penerbit Puraimond, Paris. Buku terjemahan itu merupakan koleksi Unesco sebagai seni sastra Indonesia. Didalam koleksi itu orang akan menemukan bahwa persoalan kebebasan berprinsip dalam hidup menjadi persoalan yang universal. Penuangannya ke dalam karya sastra hakikatnya adalah sebuah prestasi kreativitas seni yang harus dipertahankan.
Maman S. Mahayana (1992) menyatakan bahwa dalam pandangan pemerhati sastra di Indonesia tidak sedikit yang menempatkan novel ini sebagai novel yang—sedikit banyak—memperlihatkan pengaruh filsafat eksistensialisme.