Hari dan Hara merupakan buku kumpulan sajak kelima karya Subagio Sastrowardojo sesudah Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), dan Buku Harian (1979). Buku kumpulan sajak itu terbit pertama kali pada tahun 1982 oleh penerbit PN Balai Pustaka, Jakarta. Perancang kulit atau sampul buku dilakukan oleh Hanung Sunarmono dan ilustrasi kulit dalam dibuat oleh Adjie Soesanto. Buku setebal 68 halaman itu berisi dua bagian (bab) kumpulan sajak, yaitu bagian (1) "Buku Harian" memuat 21 sajak dan bagian (2) "Hari dan Hara" memuat 20 sajak. Inti keseluruhan sajak dalam buku Hari dan Hara itu adalah refleksi batin dan tanggapan hidup Subagio Sastrowardojo selama persinggahannya di Australia dan Eropa.
Bagian pertama buku kumpulan sajak "Buku Harian" pernah diterbitkan oleh Budaya Jaya pada tahun 1979. Sementara itu, bagian kedua dalam buku itu sama dengan judul bukunya, "Hari dan Hara", berbicara tentang pertemuan dua sejoli yang sedang memadu cinta asmara, bernama Hari dan Hara yang dihubungkan dengan nilai-nilai sakral atau religiusitas. Penyair melukiskan adegan percintaan cumbu mesra dua sejoli dalam sajak itu tidak sekadar vulgar bersifat jasmaniah, tetapi penuh dengan metafora dan perbandingan tak langsung pada pertautan keindahan alam semesta yang transenden dan imanen. Renungan arti asmara, gairah hidup, dan pesona cumbu rayu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia yang religius dan penuh makna transendental.
Hal itu lebih jauh dijelaskan pula dalam "Kata Pengantar" buku kumpulan sajak Hari dan Hara itu. Penerbit PN Balai Pustaka dalam "Kata Pengantar"-nya mengatakan, bahwa "Sajak-sajak Subagio yang paling berhasil adalah yang dengan serta merta timbul dari bawah sadarnya tanpa direncana, hanya didorong oleh keharusan berbicara sehingga kata-kata mengalir dan membentuk sendiri mengantarkan suatu 'dunia' sajak. 'Dunia 'itu milik pribadi Subagio yang khas, tetapi umum juga karena merupakan alam batin setiap insan pencari. Di situ ia dirundung kesepian, rindu, pedih, dan keharuan dalam menemukan inti-inti pengalaman kemanusiaan yang harus diterima sebagai nasibnya."
Sajak-sajak Subagio Sastrowardojo penuh diliputi suasana religi karena perenungan tentang nasib manusia selalu bersentuhan dengan hubungan antara insan, sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Penguasa Alam Semesta. Oleh karena itu, Subagio Sastrowardojo dalam bersajak termasuk dalam buku kumpulan sajak itu, tidak pernah lepas dari masalah-masalah filsafat dan religiusitas. Hal itu terungkap dalam proses penciptaan sajaknya yang boleh dikatakan suatu keajaiban karena terlahir dari keadaan jiwa yang hening seperti dalam samadi atau yoga. Kedatangan ilham atau inspirasi dan kelahiran sajaknya itu berulang-ulang memesona Subagio seolah-olah ada magnet yang menggerakkan tangannya untuk menulis sajak. Peristiwa itu sering merasuki Subagio dengan menghasilkan sajak-sajak yang terkumpul dalam buku Hari dan Hara itu.
Ketika Subagio Sastrowardojo menerbitkan buku kumpulan sajaknya yang ketujuh, Dan Kematian Makin Akrab, tahun 1995 yang diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta, sajak-sajak yang pernah dimuat dalam buku kumpulan sajak Hari dan Hara itu dimuat lagi sebanyak 14 sajak dari 41 sajak. Keempat belas sajak yang dimuat kembali itu adalah (1) "Leiden 4/10/78 (Malam)", (2) "Leiden 6/10/78 (Pagi)", (3) "Leiden 15/10/78 (Pagi pk. 8.24)", (4) "Leiden 16/10/78 (pagi pk. 8.30)", (5) "Leiden 27/10/78 (Pagi pk. 7)", (6) "Tamu", (7) "Batara Kala", (8) "Jataka", (9) "Tembang Pangkur", (10) "Di Dalam Dada", (11) "Sajak yang Tak Peduli", (12) "Malam Penganten", (13) "Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai", dan (14) "Hari dan Hara". Keempat belas sajak itu merepresentasikan masa kepenyairan Subagio Sastrowardojo kurun waktu 1976—1982, terutama tema cinta dan maut.
Salah satu sajak dalam buku kumpulan sajak Hari dan Hara berjudul "Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai" dibahas dan diteliti secara detail oleh Wahyu Wibowo (1984) dalam bukunya Menyingkap Dunia Kepenyairan Subagio Sastrowardojo. Sajak Subagio itu dianggap oleh Wahyu Wibowo sebagai sebuah sajak yang memiliki motivasi kepenulisan, sikap penyairnya terhadap nasib dan hidupnya, bayangan batin dan tema pergulatan percintaan dan maut, gaya ucap dan citra religiusitas, serta corak pribadi penyairnya yang bertolak belakang antara kehidupan lahiriah dan batiniah.