Kabut Sutra Ungu merupakan novel karya Ike Soepomo yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Variasi Jaya, Kartini Grup, Jakarta pada tahun 1978. Ketebalan novel itu 241 halaman. Ilustrasi kulit muka dibuat oleh Arief yang menggambarkan wajah sendu seoang perempuan cantik berambut panjang, seorang anak kecil yang sedang berlari, dan wajah seorang lelaki muda. Pada cetakan kelima, 1980, ilustrasi sampul novel itu diubah dengan foto salah satu gambar adegan film Kabut Sutra Ungu saat Yenny Rachman digendong oleh Roy Marten. Cetakan kedelapan, 1987, diterbitkan oleh PT Gaya Favorit Press sebagai Seri Novel Femina.
Pada awalnya, Kabut Sutra Ungu dimuat di majalah Kartini dalam bentuk cerita bersambung mulai edisi No.85—No.98 tahun 1977. Dalam perjalanan waktu, cerita bersambung itu ternyata mendapat tanggapan yang baik dari pembaca. Hal tersebut terlihat dari banyaknya surat yang masuk ke redaksi Kartini yang merasa puas atas dimuatnya cerita tersebut. Atas permintaan pembaca yang sebagian besar perempuan, Kartini Goup berinisiatif menerbitkan cerita bersambung itu menjadi sebuah novel. Kabut Sutra Ungu menjadi novel pertama Ike Soepomo dan ternyata novel itu pun sangat populer dan mendapat respon yang baik dari pembaca sampai dicetak ulang berkali-kali dalam waktu yang relatif singkat.
Isi novel dibagi atas delapan bagian yang masing-masing diberi sebuah ilustrasi. Judul-judul cerita itu adalah (1) "Indahnya Cinta Sendunya Kabut", (2) "Dalam Nuansa Sepi", (3) "Pelangi-Pelangi Duka", (4) "Mentari di Batas Kabut", (5) "Biarkan Aku Memilikimu", (6) "Ketika Daun Berguguran", (7) "Kembalilah Dimas", dan (8) "Nostalgia dan Kenyataan".
Novel Kabut Sutra Ungu menceritakan keteguhan hati seorang perempuan, Miranti, dalam mempertahankan norma konvensional dan agama di tengah perubahan zaman. Berbagai macam gangguan dan gunjingan bertubi-tubi dialami oleh Miranti yang sangat teguh mencintai suaminya. Namun, kehadiran Dimas telah mencairkan hati Miranti. Apalagi setelah anaknya, Bramianti, memanggil Dimas dengan sebutan papa. Akhirnya, Dimas berhasil menaklukkan hati wanita yang dijuluki "seteguh batu karang".
Keberhasilan novel itu menarik perhatian salah seorang sutradara terkenal Sjumandjaya untuk mengangkatnya ke layar lebar tahun 1979. Sebagai pemeran utama dipilih Yenny Rachman dan Roy Marten yang saat itu sedang menjadi tokoh idola di masyarakat. Film itu pun "meledak" (best-seller), bahkan memecahkan rekor pengumpulan jumlah penonton terbanyak sejak kebangkitan kembali perfilman Indonesia tahun 1968. Film "Kabut Sutra Ungu" juga telah menyumbangkan empat piala Citra dalam FFI 1980 dan Festival Film Asia di Bali pada tahun yang sama. Selain itu, Kabut Sutra Ungu menjadi kebanggaan tersendiri bagi penulisnya. Menurut penelitian Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, "Kabut Sutra Ungu" dinobatkan sebagai film nasional yang mengetengahkan psikologi secara berhasil (Rendy Sugiyat dalam Majalah Meia Karya No. 20, 11 Oktober 1985 dalam rubrik Seni dan Budaya).
Novel Kabut Sutra Ungu dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern memperoleh tanggapan yang baik. Bahkan, novel itu dapat dikatakan "menggemparkan". Kabut Sutra Ungu telah mengalami lima kali cetak ulang hanya dalam waktu sembilan bulan menurut data yang dicatat oleh Jakob Sumardjo. Hal itu adalah suatu hal yang sulit dicapai oleh novel pop sejenisnya seperti Karmila karya Marga T, Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, dan Wajah-wajah Cinta karya La Rose. Tanggapan yang baik dapat dilihat juga dari respon pembaca dan tanggapan para kritikus sastra. Selain itu, meskipun digolongkan ke dalam novel pop, novel itu memiliki kelebihan hampir di segala aspek dari jenis novel pop sebelumnya, yaitu dari segi tema, alur, penokohan, dan bobot masalahnya yang sederhana. (Kompas Minggu, Minggu, 29 Juni 1980).
Jakob Sumardjo, dalam Pikiran Rakyat Tahun ke XV, No. 133, Rabu, 6 Agustus 1980, mengatakan bahwa novel itu berhasil karena telah memberikan sesuatu yang selama ini diinginkan oleh pembacanya, yaitu cerita tentang perempuan cukup berwatak yang mempertahankan norma konvensional sosial dan agama di tengah haru biru cobaan yang cukup menggoda. Jadi, penilaian terhadap popularitas novel itu bukanlah dalam segi sastranya, melainkan harus dikaitkan dengan kondisi psikologis pembaca majalah wanita yang memuat cerita tersebut. Kaum wanita mencari tokoh ideal seperti tokoh Miranti.
Dalam Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik dan Narsistik (Semarang, Bendera, 1999) Redyanto Noor telah melakukan penilaian terhadap novel Indonesia periode 1980—1990 yang tingkat penjualannya tinggi. Salah satu novel yang dipilih adalah Kabut Sutra Ungu. Menurut Redyanto, alur dalam Kabut Sutra Ungu mempunyai urutan cerita kronologis dan susunan alur sederhana. Analisis tokoh menunjukkan bahwa tokoh utama mempunyai kompleks kejiwaan yang berupa narsisme. Tokoh sering bersikap dan bertindak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan diri sendiri.