Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa merupakan novel karya Y. B. Mangunwijaya yang diterbitkan oleh Sinar Harapan, Jakarta, tahun 1984 dan oleh Penerbit Djambatan pada tahun 1987. Novel karya Y.B. Mangunwijaya itu berlatar peristiwa sejarah masyarakat Halhamera pada abad ke-17.
Dalam novel itu diungkapkan perjuangan penduduk Halmahera, Ternate, Banda, dan Seram sewaktu mereka melawan keangkaramurkaan penguasa pribumi, bajak laut, dan pedagang asing, baik pedagang Portugal, Spanyol, Belanda, maupun Inggris. Penulisan novel itu memanfaatkan laporan penelitian Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Maluku Utara dari Lembaga Studi dan Penelitian Kebudayaan Universitas Soekarno-Hatta. Laporan tersebut berbentuk 4 teks hasil wawancara, 4 buah surat, 1 buah teks lagu rakyat, dan 3 kutipan buku.
Novel tersebut terdiri atas 13 episode yang secara kronologis dibagi menjadi 5 kurun waktu. Bagian I kurun waktu 1594—1595, Bagian II 1599—1607, Bagian III 1606—1609, Bagian IV 1608—1610, dan Bagian V 1611—1621. Waktu cerita novel Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa berlangsung selama 27 tahun. Dalam rentang waktu tersebut muncul berbagai macam peristiwa dan persoalan, khususnya intrik politik antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore mengenai perdagangan rempah-rempah. Pedagang dari Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris saling berlomba memonopoli hasil komoditi itu. Selain dimunculkan tokoh imajinatif, seperti Mioti-Lamo, Loema-Dara, dan Tarate-Rorasai, dimunculkan pula beberapa tokoh sejarah, antara lain, Sultan Ternate Said Udin Barkat; Sultan Tidore, Maulana Majimuk, putra mahkota Tidore Pangeran Ganari Lamo; Gubernur Jenderal Spanyol di Manila (Pedro de Cunca); Admiral Jacob Corneliczoon van Neck, dan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Melalui ketiga tokoh Mioti-Lamo, Loema-Dara, dan Tarate Rorasai, pengarang mengungkapkan beberapa persoalan, antara lain intrik penguasa, kekerasan, gengsi, gelora asmara, dan kemanusian.
Gagasan utama novel itu adalah yang kecil dimakan yang lebih besar dan yang lebih besar dimakan yang amat besar. Pertikaian di antara orang yang memiliki posisi tertentu dalam suatu kelompok sosial mengakibatkan masyarakat kelompok bawah mengalami penderitaan. Mioti-Lamo hidup di perkampungan Dowingo-Jo. Perkampungan itu dihancurkan oleh Bahder Musang dari Kesultanan Ternate. Penghancuran itu dilakukan karena penduduk Dowingo-Jo tidak mau tunduk kepada Sultan Ternate. Oleh Sultan Ternate penduduk tidak diperbolehkan mencari lokan dan mutiara yang terdapat di pesisir dan perairan Teluk Kau, Dowingo-Jo. Oleh sebab itu, Mioti-Lamo beserta kawan-kawannya meninggalkan Kesultanan Ternate dengan sebuah kapal. Di tengah perjalanan, kapal mereka dirompak sehingga Mioti-Lamo dijadikan budak oleh Dirk van Callenbacker, seorang Indo-Banda yang berpihak kepada pribumi Banda. Mioti-Lamo diibaratkan sebagai ikan homa, ikan kecil, yang dijadikan santapan ikan Ido, yang dikiaskan sebagai Sultan Ternate. Para sultan dan pangeran yang saling bertikai itu akhirnya dimakan para pedagang dan pencari rempah yang dikiaskan sebagai ikan yang lebih besar, yaitu ikan hiu.
Y.B. Mangunwijaya telah memanfaatkan peristiwa sejarah sebagai pangkal tolak bagi karyanya untuk mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam lewat fantasi dan daya ramalnya.
Dino Umahuk (2013) membahas bahwa Ikan-Ikan Hiu Ido Homa yang mengambil latar belakang latar Ternate dan Tidore abad ke-16 dan abad ke-17 mengisahkan kemunduran kerajaan lokal yang saling mencaplok lalu dicaaplok oleh ikan yang lebih besar: penjajah. Apa yang dikisahkan di dalam novel ini muncul dalam bentuk yang sama pada situasi Maluku Utara saat ini.