Ibu Kita Raminten merupakan novel karya Muhammad Ali yang diterbitkan tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Novel setebal 140 halaman merupakan satire atau sindiran terhadap ibu di Indonesia, seperti Raminten yang mau melahirkan anak, tetapi enggan memeliharanya. Yang dijadikan kambing hitam olehnya ialah kemiskinan yang menimpa kehidupannya. Novel Ibu Kita Raminten memperlihatkan, bahwa bukan kemiskinan, melainkan ketidakikhlasanlah yang telah membuat wanita menjadi betina. Raminten adalah seorang ibu yang tidak pernah menjadi ibu karena ketidakrelaannya memelihara anak-anak kandungnya. Ia lebih suka menjadi perempuan yang tugasnya melahirkan anak saja.
Novel itu berawal dari ditangkapnya Raminten oleh polisi atas tuduhan membantu anaknya (Stambul) melakukan pembunuhan. Ia sendiri tidak dapat menyangkal atau membenarkan tuduhan itu karena tercekam oleh kebingungan dan penderitaan yang hebat. Berkat pendekatan yang ramah dan penuh pengertian dari seorang hakim wanita, bernama Ningrum, Raminten bersedia memberi keterangan. Akhirnya, Ningrum merasa yakin bahwa Raminten adalah ibu kandungnya dan berkat Ningrum juga, Raminten dibebaskan dari tuduhan, sedangkan Stambul dihukum lima tahun penjara.
Kemiskinan telah membuat suami istri—Raminten dan Markeso—enggan memelihara anak kandungnya sendiri sehingga sampai anak yang kedua belas semuanya dijual kepada orang yang membutuhkan anak dengan harapan agar mendapatkan pemeliharaan yang layak, yang tidak mungkin diberikan olehnya sendiri yang penghasilannya hanya dari mengamen di jalanan. Namun, pada akhirnya keduanya sadar, bahwa mereka membutuhkan seorang pengasuh di hari tuanya. Oleh sebab itu, mereka berniat untuk memelihara sendiri anaknya yang ketiga belas.
Anak yang diharapkan itu tidak juga kunjung datang. Setelah diusahakan ke sana kemari dengan segala macam cara selama lebih dari dua tahun, Raminten melahirkan anak yang diberi nama Stambul. Anak itu sangat mengerikan rupanya. Markeso dapat mencintai Stambul karena ia sangat menyesal atas tindakannya telah menjual kedua belas anaknya. Sebaliknya, Raminten justru menyesali tindakan Markeso memelihara Stambul yang ternyata memang nakal dan jahat. Sebenarnya yang membuat Stambul jahat karena tidak dicintai ibunya. Di sisi lain, Raminten mengatakan, bahwa Stambul nakal dan jahat karena "keberatan" dengan namanya itu. Raminten yang tidak mencintai Stambul, akhirnya juga tidak dicintai oleh anaknya itu sehingga begitu Markeso meninggal, Stambul menjual ibunya kepada Babah Wong sebagai pelacur. Oleh karena Babah Wong yang impoten itu memperlakukan Raminten dengan kasar, Stambul pun membunuhnya. Akhirnya kedua orang itu masuk tahanan.
Melalui novel itu Muhammad Ali berpesan, bahwa anak bukan tempat sandaran hidup dan bukan barang komoditi. Anak merupakan titipan Tuhan yang harus dipelihara dengan tulus. Tuhan sendirilah yang akan memberikan rezekinya. Keikhlasan memelihara titipan Tuhan inilah yang akan membuat orang tua berbahagia di hari tuanya.
Sumardjo (1983) mengatakan bahwa judul novel itu telah dipilih dengan baik. Ia punya arti simbolik yang mewarnai isi seluruh novel. Ibu Kita Raminten bukan hanya ibu anak-anak yang tiga belas itu, juga mempunyai makna konotatif. Raminten adalah ibu kita, ibu Indonesia. Ia selalu melahirkan anak-anaknya, tetapi tidak pernah tumbuh baik di bawah asuhannya. Semua itu adalah akibat kemiskinan. Ia hidup dari meminta-minta. Namun, yang lebih tepat menurut Jakob ialah akibat ketidakikhlasan memelihara anak-anak sebagai titipan Tuhan seperti dipesankan oleh pengarangnya. Ketidakikhlasan menyebabkan ketidakmampuan mencintai sehingga ia tidak dapat menjadi ibu (wanita). Hidupnya tidak lebih dari seorang pelacur (betina). Oleh sebab itu, sebagai imbalannya ia pun dilacurkan oleh anaknya.
Maman S. Mahayana dkk. (1992) mengemukakan kesan, bahwa pengarang hendak menegaskan cinta kasih seorang ibu kepada anaknya yang tak akan pernah habis sampai akhir hayatnya. Meskipun anaknya itu amat jahat, nalurinya sebagai ibu memaafkan kejahatan dan kebejatan moral anaknya itu.