Keluarga Permana merupakan novel karya Ramadhan K.H. diterbitkan pertama kali oleh PT Dunia Pustaka Jaya pada tahun 1978 (Cetakan II, 1986 ). Pada awalnya novel itu merupakan naskah yang diikutsertakan dalam Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1975. Dalam sayembara tersebut novel ini mendapat hadiah penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta yang diserahkan tahun 1976.
Novel ini berkisah tentang tragedi di keluarga Permana. Bermula dari perubahan sikap yang drastis sang kepala keluarga, Permana yang dulu terkenal bijaksana, sejak ia diberhentikan dari tempat bekerja dengan alasan yang tidak jelas, ia menjadi pemurung, pemarah dan sangat kasar. Perubahan sikap Permana tersebut merusak ketentraman dan kedamaian keluarga. Keluarga Permana menjadi penuh duka.
Permana sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan yang menjadi korban adalah istrnya, Saleha dan putrinya. Segala masalah yang sepele menjadi alasan Permana menyiksa anak dan istrinya. Selama Permana tidak bekerja lagi, istrinyalah yang bekerja keras mencari nafkah. Saleha lah yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan harian keluarga itu. Namun walaupun sudah bekerja keras, istrinya tetap saja mengalami siksaan dari suaminya.
Permana secara psikologis merasa dirinya tidak berarti sebagai seorang laki-laki. Harga dirinya yang terluka sering berubah menjadi perasaan cemburu yang berlebihan pada istrinya yang bekerja. Permana suka cemburu yang tanpa bukti. Ia menuduh istrinya telah berbuat serong. Ketika Saleha mencoba menjelaskannya, apalagi membantah kata-kata yang sedikit keras volumennya, Permana pasti langsung menyiksanya. Saleha hanya bisa menguatkan dirinya demi menjaga keutuhan rumah tangganya.
Keadaan ekonomi keluarga membaik setelah kedatangan Sumarto yang indekos di rumah Permana. Setelah kedatangan Sumarto, kelakuan Permana yang kasar itu agak sedikit mereda. Dengan adanya Sumarto yang mengekos di salah satu kamar ruamahnya, Permana sedikit merasa lega, sebab ada sedikit pemasukan uang bulanan kepada keluarganya.
Kedatangan Sumarto juga membawa kebahagiaan di hati Ida. Bagi Ida yang selama ini tidak punya teman untuk membagi cerita duka nestapa akibat perlakuan ayahnya itu, sekarang telah mendapatkannya. Apalagi Sumarto sendiri termasuk seorang pemuda yang ramah, sopan, serta cepat menyesuaika diri dengan seluruh keluarga Permana. Rupanya keduanya karena sering bertemu dan berbincang-bincang masing-masing mulai muncul benih-benih cinta dalam hati masing-masing. Tetapi kisah cinta ini pun berakhir duka karena keduanya tak dapat mengendalikan diri hingga terjadi kehamilan sebelum menikah. Sumarto diusir oleh keluarga Permana.
Menurut Permana aib yang sedang menimpa rumah tangganya itu haruPermana dan istrinya sepakat untuk menggugurkan kandungan Ida. Secara diam-diam, pergilah Saleha ke seorang dukun. Dari dukun itu, Saleha membawa ramuan obat yan harus diminum oleh Ida. Akibatnya Ida sampai dirawat dirumah sakit. Rahimnya oleh dokter terpaksa diangkat. Dan itu kemungkinan kecil Ida akan bia melahirkan keturunan lagi. Sungguh itu merupakana pengl ditutupi dengan cara menggugurkan kandungan Ida. Tetapi malang, usaha pengguguran kandungan itu menjadikan petaka bagi Ida. Ia divonis tidak bisa lagi mempunyai anak,karena rahimnya telah rusak dan diangkat.
Sumarto yang mengatahui keadaan Ida mengungkapkan rasa bersalahnya dengan cara membuat pengakuan dosa pada Romo Murdianto, dan menebus dosa tersebut dengan menikahi Ida. Mereka menikah di hadapan pastur, dengan kondisi Ida pindah agama menjadi Katolik, mengikuti agama Sumarto.
Dengan berat hati Saleha dan suaminya merelakan anaknya menikah dengan Sumarto. Keduanyapun menikah dicatatan sipil. Pesta perkawinannya dialakukan dengan penuh kesederhanaan di dalam gereja. Dan dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak. Suasana resepsi perkawinan mereka begitu kaku. Karena dari pihak Ida adalah keluarga muslim sedang dari pihak Sumarto adalah keluarga katolik.
Pernikahan tersebut juga tak berlangsung lama. Ida jatuh sakit, dan mengalami kecelakaan di kamar mandi. Ida mengalami koma, dan seorang suster rumah sakit sempat membisikan ke telinga Ida: "Allahu Akbar Lailahaillah" berapa kali yang dengan sayup-sayup diikuti oleh Ida dengan lancar. Setelah itu Ida meninggal.
Mendengar berita kematian Ida, Saleha dan Permana sangatlah terpukul. Kedua orang suami istri itu teruslah menyalahkan diri mereka sendiri. Setelah jenazah di berangkatkan ke rumah orang tua Ida, terjadi sedikit konflik yang dialami Permana dan Saleha. Keduanya sebenarnya menghendaki membumikan ida di pemakaman muslim. Tetapi pada kenyataannya setelah jenazah itu sampai, Ida diputuskan untuk dimakamkan di tempat penguburan katolik, karena mengikuti keluarga Sumarto. Apalagi saat itu Ida telah dibaptis dan masuk ke dalam ajaran katolik. Meskipun tak tahu apa yang ada di hati Ida sendiri.
Setelah kematian Ida, Permana menjadi kian rapuh. Ia setiap hari menunggui kuburan Ida tidak memperdulikan siang dan malam. Permana kehilangan kewarasannya.
Menurut Jakob Sumardjo (1979), novel itu lebih bersifat psikologis daripada sosial dalam hubungannya dengan hidup keagamaan di Indonesia. Menurut pengamatan Jakob, novel ini adalah karya yang bulat utuh dan integral antara bagian-bagiannya. Kalimat-kalimatnya yang sederhana cukup informatif dan bersih. Jika dilihat dari aspek kematian tokoh utama Ida sebagai penyelesaian cerita, Jakob menganggap novel Keluarga Permana itu adalah sebuah tragedi, yaitu sebuah tragedi yang mencari jawaban pada adanya dosa. Dosa itu dijalani Ida berupa tindakannya yang telah melakukan pindah agama dari Islam ke Kristen sehingga ia menerima akibat hukumannya. Jika dilihat dari tokoh pemuda yang beragama Kristen, Jakob pun menemukan adanya petunjuk bahwa kesalahan dilakukan oleh tokoh ini, yaitu sebagai orang yang berinisiatif melakukan hubungan intim. Akan tetapi secara rasional, demikian Jakob, tragedi ini bisa pula disebabkan oleh Permana karena selaku orang tua ia telah menyikapi pemecatannya secara salah dan membiarkan dirinya menjadi penganggur. Frustrasi terhadap keadaan kepegawaian di Indonesia telah membuat tokoh ini bertindak kurang dewasa. Dan, secara akomodatif dalam perkembangan cerita, kesalahan terletak pada sikap kurang religius keluarga Permana yang telah memaksakan pengguguran kandungan anaknya. Penyebab kematian yang utama adalah rusaknya kandungan Ida akibat pengobatan dengan ramuan dukun.
Sekali lagi Jakob menegaskan bahwa novel ini sebenarnya (lebih) bersifat kejiwaan daripada sosial. Sebuah rumah tangga menjadi rusak akibat perilaku bapak yang kurang tabah dalam menghadapi keadaan sosial yang dianggapnya kurang benar. Masalah penggantian agama dalam rangkaian seluruh cerita sebenarnya hanya merupakan bagia kecil, tetapi telah mengubah seluruh visi cerita. Novel itu dengan baik sekali telah menggambarkan bagaimana sikap masyarakat Indonesia dalam menghadapi perpindahan agama. Itulah sebabnya mengapa novel dimulai oleh kematian Ida sehingga cerita bergerak secara flashback. Kematian menjadi titik sentral dari seluruh teka-teki kejadian. Hal-hal itulah yang memaksa orang untuk mencari jawabannya bukan pada kejadian itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang adikodrati, di luar dunia ini. Menurut Jakob, novel ini menjadi salah satu novel Indonesia terpenting setelah Atheis karya Achdiat Kartamihardja.
Dami N. Toda (2006) menyoroti ihwal kasus perpindahan agama yang pada masa itu akan sensitif di bawah pemerintahan yang represif. Persoalan tersebut menurut Dami merupakan wilayah yang jarang dimasuki oleh para pengarang Indonesia walaupun dalam tataran empiris kasus kawin beda agama yang membawa akibat perubahan keyakinan banyak terjadi. Keluarga Permana menunjukkan kelebihan dalam hal pengaktualan tema tersebut yang digarap secara mengesankan oleh Ramadhan.