Ladang Perminus merupakan novel karya Ramadhan K.H. yang ditulis sekitar tahun 1982 di Jakarta dan Los Angeles. Novel tersebut kemudian diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti Jakarta tahun 1990 (328 halaman). Novel tersebut merupakan penyaksian pengarang atas sebuah peristiwa menggemparkan tahun 1970-an menyangkut skandal korupsi yang dibongkar harian Indonesia Raya yang akhirnya membuat koran tersebut harus menghentikan penerbitannya.
Ladang Perminus terdiri atas 32 bab dalam 328 halaman. Seperti yang tertulis pada jilid belakangnya, novel yang berlatar tahun 1970-an tersebut disebut sebagai novel kontekstual karena dapat dianggap sebagai sebuah album tentang satu sisi suram kehidupan masyarakat Indonesia pada zamannya. Ladang Perminus merupakan refleksi dari kasus korupsi di Pertamina sekitar tahun 1976. Korupsi yang dilakukan aparat di Pertamina tidak tanggung-tanggung, yakni sebesar satu setengah triliun dolar Amerika. Sepanjang kisahnya, novel tersebut mengajak pembaca menelusuri kesaksian seorang sastrawan yang prihatin terhadap kenyataan busuk negerinya.
Ladang Perminus menceritakan nasib seorang tokoh bernama Hidayat, orang yang melawan arus dan Tidak dapat menutup mata dari tindak korupsi yang dilakukan oleh atasannya. Hidayat, sebagai staf teladan di Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara), mencoba melawan korupsi yang terjadi di perusahaan. Sebagai bekas pejuang angkatan '45 yang jujur dan idealis, ia bersikeras menuruti perintah hati nuraninya sendiri sekalipun ia harus berjudi dengan kariernya sebagai calon Gubernur Jawa Barat. Ketika ia mengetahui bahwa atasannya, Kahar, mendapat suap puluhan juta dari salah satu perusahaan Eropa, Hidayat memberontak. Sebagai konsekuensi pemberontakan tersebut, Hidayat terpaksa berhenti bekerja di Perminus dan dukungan pencalonannya sebagai Gubernur Jawa Barat dicabut oleh seorang Panglima Jawa Barat setelah berunding dengan orang-orang penting di Jakarta. Tidak lama kemudian, Kahar meninggal dunia akibat serangan jantung. Hasil korupsi yang disimpannya di salah satu bank menjadi sengketa antara janda Kahar dan Perminus. Pengganti Direktur Utama Perminus adalah Subarkah, pegawai Perminus yang selalu menyesuaiakan diri kepada keadaan. Yang tertinggal pada diri Hidayat hanyalah harapan bahwa generasi yang akan datang akan hidup dalam suatu keadilan, jujur, dan tanpa korupsi.
Cerita Ladang Perminus pernah diangkat ke dalam lakon teater oleh kelompok Mainteater pada bulan Agustus 2009 di Bandung dan Jakarta. Di Bandung lakon tersebut digelar pada tanggal 6—7 Agustus 2009 pukul 14.00 dan 20.00 di Gedung Kesenian Rumentangsiang. Di Jakarta lakon tersebut dipentaskan pada tanggal 12—13 Agustus 2009 pukul 14.00 dan 20.00 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marjuki (TIM).
Banyak tanggapan dan ulasan mengenai Ladang Perminus dalam bentuk artikel. Slamet Sukirnanto (1990) menyatakan bahwa novel tersebut mengandung banyak kenangan semacam sejarah kemasyarakatan, sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya yang mengingatkan pembaca tentang tahun 1970-an. Kesan pertama yang ditimbulkan setelah mengakhiri halaman terakhir adalah adanya petunjuk bahwa karya sastra tersebut ditulis dengan penuh keberanian, sering sangat polos dan jujur, ada tanggung jawab yang penuh, serta tidak mengada-ada atau pura-pura.
Tema novel kontekstual tersebut cukup besar. Masalah moral dan integritas masih mempuyai tempat dalam kehidupan yang mengagung-agungkan dan menjadikan fragmatisme sebagai anutan dan arah baru memasuki masa perubahan besar dewasa ini. Secara implisit, pesan yang ingin disampaikan adalah agar pembaca dapat meresapi kesadaran umum dan tak mengajak pembaca untuk memasuki wilayah kejiwaan yang mengandung dendam.
Putu Wijaya (1990) menyatakan bahwa Ramadhan K.H. dengan sengaja menuntun pembaca untuk menikmati cerita sambil mengingat-ingat sejarah. Penulis menyalakan kembali emosi melawan budaya korupsi yang sampai sekarang masih merajalela. yang membuat cerita patriotik tersebut terasa "penting" adalah karena melibatkan rakyat Indonesia. Ada racikan "data lingkungan sosial" rakyat Indonesia. Penulis dengan fasih menuturkan beberapa detail soal produksi dengan istilah-istilahnya yang bisa meyakinkan pembaca bahwa pembaca mendapatkan informasi dari seseorang yang sangat memahami masalah Pertamina sehingga novel tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah novel yang informatif meskipun hanya dari satu sudut pandang Hidayat.
Ohiaohalawa (1990) menyatakan bahwa dengan membaca Ladang Perminus orang bisa menebak-nebak, karya nyatakah atau sekadar fiksi. Nama-nama dalam novel tersebut diakui Ramadhan K.H. sebagai nama-nama fiktif. Akan tetapi, pembaca merasakan kenyataan-kenyataan yang masih belum hilang dalam ingatan. Pembaca dapat cepat menangkapnya sebagai karya nyata yang disembunyikan. Siapapun akan tahu bahwa yang disebut dengan Perminus adalah sebuah BUMN penghasil devisa terbesar, yakni nama tersembunyi dari Pertamina. Pembaca hanya tinggal disodori teka-teki dari siapa sebenarnya nama Hidayat, Toha, dan atasan Hidayat yang bernama Kahar tersebut. Beberapa penggalan kisah tersebut mengingatkan pembaca pada peristiwa sengketa harta warisan seorang tokoh penting Pertamina. Sengketa harta peninggalan 'Kahar' antara Pertamina dan istri muda Kahar pernah menjadi pembicaraan ramai saat pengadilan Singapura menyidangkannya.
Kurnia JR (1990) menyatakan bahwa Ladang Perminus adalah karikatur yang digoreskan Ramadhan secara hitam putih. Hidayat dan kawan-kawan mewakili tokoh baik, sedangkan Direktur Utama Kahar (atasan Hidayat), dan pengikut-pengikutnya sebagai tokoh jahat. Korupsi dan manipulasi terpapar gamblang dengan deskripsi yang tidak berliku-liku. Novel tersebut menampilkan tampang para atasan yang kaku, gugup, dan mudah naik darah serta Hidayat yang selalu menolak tanda terima kasih para kliennya dengan gaya seorang asketik abad pertengahan. Tidak ada yang subtil. Pembaca tidak harus mengerutkan kening. Ibarat halaman muka sebuah koran, pembaca dapat menikmati sajian kontekstul dalam fiksi tersebut. Pada akhir cerita, pembaca dilegakan dengan matinya tokoh hitam Direktur Utama Perminus. Di bagian tersebut pun pengarang masih menambahkan kegemarannya pada gaya ironi. Koruptor yang amat bejat di mata Hidayat justru dimakamkan secara terhormat di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kenyataan tersebut merupakan pukulan bagi Hidayat sehingga ia harus dirawat di rumah sakit karena hatinya muak atas kebejatan moral bangsanya.
Bertolt Damhausser (1991) pengajar Sastra Indonesia di University Bonn, Jerman, dalam resensinya yang dimuat di harian Kompas dan majalahHorison (1991) menyatakan bahwa tema atau soal yang dibicarakan dalam Ladang Perminus tetap aktual di Indonesia saat ini. Hal tersebut membuat Ladang Perminus penting untuk dibaca dan dijadikan bahan untuk diskusi. Novel yang membicarakan tema cerita aktual belum pasti menjadi novel besar apabila tidak ditulis dengan gaya sastra yang matang, tetapi Ladang Perminus memenuhi syarat-syarat tersebut.