Kita Lahir sebagai Dongengan merupakan kumpulan sajak karya Soni Farid Maulana. Sebagai sajak-sajak pilihan Soni dalam kurun waktu enam tahun, yaitu sejak tahun 1984—2000. Kita Lahir sebagai Dongengan diterbitkan di Magelang tahun 2000 oleh penerbit Indonesia Tera. Enam puluh delapan sajak yang tersebar di berbagai meia seperti Pikiran Rakyat, Berita Buana, Bandung Pos, dan Horison terangkum di dalam buku kumpulan sajak ini.
Sajak-sajak Soni Farid Maulana dalam kumpulan ini sangat menonjol dalam pelukisan situasi, peristiwa, suasana batin, dan benturan nilai-nilainya. Semuanya memberi nyawa pada peristiwa-peristiwa sederhana atau memberi nyawa pada benda-benda. Misalnya, sajak "Langgam Biasa" mengungkapkan kehidupan yang papa yang dilukiskan secara imajinatif atau ambivalensi petualangan rohani yang dilukiskan amat tajam dan ringkas dalam sajak "Orang Malam". Demikian pula dalam "Solitude" yang menampakkan ambivalensi kerinduan dan kesepian.
Jika dipertimbangkan dari diksi, pilihan kata Soni Farid Maulana dalam kumpulan sajak ini tidak aneh-aneh, bahkan biasa saja. Namun, karena hal ini pula seringkali membawa efek imajinatif dan konseptual yang tidak biasa. Bahkan, terkadang mengejutkan. Di situlah letak kekuatan Soni Farid Maulana, yakni kesahajaan yang menggigit.
Satu lagi yang menarik dalam kumpulan sajak ini adalah olahan tema. Tema kemiskinan, kesepian, kontradiksi yang liar, maut, religiusitas, dan keprihatinan sosial mendominasi keenampuluh delapan sajak dalam kumpulan ini. Dalam kaitan dengan religiusitas, Soni begitu terampil bicara tentang tema-tema sekitar tubuh, ruh, maut, dan cinta. Kata dan kalimat lebih terampil menggali kedalaman dan merumuskan yang tak terumuskan. Sebutlah "Langgam Malam", "Lagu dalam Hujan", dan "Melangkah dalam Hujan" adalah beberapa sajaknya yang paling berhasil mengolah tema-tema itu.
Bambang Sugiharto, pakar filsafat lulusan Universitas Angelicum, Roma yang dipercayai sebagai orang yang memberi pengantar kumpulan sajak tersebut mengatakan bahwa yang langsung terasa ketika merunut sajak-sajak Soni Farid Maulana bukanlah penjelajahan estetiknya, bukan pula komitmen sosial ala penyair pamlet, melainkan keluguannya untuk setia pada apa pun yang dirasakan dan dialaminya. Keluguan yang memberi kesan seolah ia tidak peduli apakah sajaknya cukup estetis ataukah cukup menyiratkan kepedulian sosial.