• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Khotbah di Atas Bukit   (1976)
Kategori: Karya Sastra

 
 

Khotbah Di Atas Bukit adalah novel karya Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dimuat dalam harian Kompas sebagai cerita bersambung pada tahun 1971. Namun, pada akhir cerita tertulis, Yogyakarta, 18 Desember 1970 (halaman 260). Setelah itu, novel tersebut terbit sebagai buku oleh Pustaka Jaya pada tahun 1976 dengan 146 halaman. Kemudian, penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta, melakukan 4 kali cetak ulang novel itu, yakni Juli 1996 (cetakan II), Mei 1997 (cetakan III), September 1997 (cetakan IV), dan September 2000 (cetakan V).

Isi novel terdiri atas delapan bagian, yakni Bagian 1 (1—38), Bagian 2 (39—82), Bagian 3 (83—119), Bagian 4 (120—151), Bagian 5 (152—183), BagiaN 6 (184—213), Bagian 7 (214—242), dan Bagian 8 (243—260). Dalam bagian-bagian novel itu diungkapkan dengan gaya yang mirip-mirip absurd ihwal perjalanan hidup seorang lelaki tua, Barman, yang dalam masa pensiunnya dimanjakan oleh anak-anaknya. Barman ditemani oleh perempuan yang sanggup melayani segala kebutuhan hidup lelaki tua itu. Barman bertemu dengan lelaki yang sama-sama tuanya yang seperti kembarannya bernama Human. Pandangan dan sikap hidup keduanya sungguh berlawanan. Barman adalah pengejar kenikmatan duniawi yang selalu gelisah, sedangkan Human adalah penganut hidup sufisme yang terbebaskan dari belenggu duniawi. Pembawaan kedua lelaki tua itu juga berbeda. Yang satu gelisah yang lainnya tenang dan berbahagia dengan yang ada. Tidak ada lagi harapan, kata Barman. Tidak ada lagi putus asa, sahut Human. Tidak ada lagi bahagia, kata Barman. Tidak ada lagi kesedihan, sahut Human. Di akhir novel Barman mencelakakan dirinya dengan kuda putihnya dengan tubuh remuk dan wajah penuh darah, sedangkan Human meninggalkan wajah yang bagus penuh senyum. Popi, perempuan muda itu, kembali ke dunia lamanya sebagai penghibur.

Novel itu novel yang sarat dengan pemikiran filsafat. Di dalamnya pembaca akan diperhadapkan dengan uraian panjang lebar mengenai hakikat hidup, kematian, kebahagiaan, dan mistri nasib manusia. Dalam salah bagian novel dikatakan oleh Human kepada Barman, "Apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikimu".

Rahayu Prihatmi membandingkan novel Khotbah Di Atas Bukit dengan drama Menunggu Godot karya Samuel Beckett dan tiba pada kesimpulan bahwa kedua karya itu mengungkapkan kegelisahan dan berusaha menemukan kegelisahan. Pikiran, ingatan, dan cita-cita membuat manusia menderita. Prihatmi menyebutnya sebagai gagasan sederhana tetapi harus diakui kebenarannya.

Mangunwijaya membandingkan novel ini dengan novel karya pengarang Jepang Kawabata, Rumah Perawan. Keduanya sama-sama menggunakan lambang wanita-nikmat-bagi-orang-amat-tua, yang seharusnya sudah ditinggalkan oleh para senja usia. Bedanya dalam pencarian jati diri eksistensialnya; dalam buku Kawabata yang meninggal adalah perawan, sedangkan dalam buku Kuntowijoyo yang meninggal adalah kakek Barman. Mangunwijaya juga menyebut novel ini sebagai roman ide seperti dambaan Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi diselaraskan dengan konsep Kuntowijoyo tentang sastra transendental yang ditujukan kepada pengangkatan ke arah yang universal, utuh dan tunggal. Ditegaskannya bahwa dengan menyucikan "Popi" sebagai sebuah upacara bersih diri, sastra transendental menjadi sebuah ritual estetis. Simbol-simbol dalam sastra transendental berlaku sebagai formula-formula dari pesan pembersihan diri. Jadi, tujuan akhir sastra transendental ialah manusia, bukan estetika.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Dari Puncak Bukit Talang
    Dari Puncak Bukit Talang merupakan novel karya Soewardi Idris yang diterbitkan pertama kali tahun 1964 oleh Wilendra. Novel itu terdiri atas 10 bagian. Ilustrasi kulit luar melukiskan seorang ...
  • MITOS DALAM CERITA “BUKIT TAMBUN TULANG”
    Peneliti : Sarman , S.Pd Tanggal Penelitian : Dipublikasikan : TERBIT Tahun Terbit : 2013 Abstrak :Mitos, menurut pandangan Levi-Strauss, adalah dongeng yang dihasilkan oleh daya nalar manusia, ...
  • Anslisis Wacana dalam Khotbah Jumat di Jawa Timur
    Peneliti : Toha Machsum, dkk. Tanggal Penelitian : 01-01-2007 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap dan mendeskripsikan aspek-aspek wacana khotbah Jumat di Jawa Timur dan peran aspek-aspek ...
  • Eksistensialisme Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit
    Peneliti : Toha Machsum Tanggal Penelitian : 01-01-2006 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh filsafat eksistensialisme dalam novel Khotbah di Atas Bukit (KdAB). Masalah yang dibahas ...
  • Memanjat Bukit Cahaya karya Kusnaidi Syafe`i: Analisis Simbol
    Peneliti : Dede Hidayatullah Tanggal Penelitian : 03-12-2012 Dipublikasikan : TERBIT Abstraksi :Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman batin para penciptanya. Kenyataan ini ...
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Khotbah di Atas Bukit   (1976)
    Kategori: Karya Sastra

     
     

    Khotbah Di Atas Bukit adalah novel karya Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dimuat dalam harian Kompas sebagai cerita bersambung pada tahun 1971. Namun, pada akhir cerita tertulis, Yogyakarta, 18 Desember 1970 (halaman 260). Setelah itu, novel tersebut terbit sebagai buku oleh Pustaka Jaya pada tahun 1976 dengan 146 halaman. Kemudian, penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta, melakukan 4 kali cetak ulang novel itu, yakni Juli 1996 (cetakan II), Mei 1997 (cetakan III), September 1997 (cetakan IV), dan September 2000 (cetakan V).

    Isi novel terdiri atas delapan bagian, yakni Bagian 1 (1—38), Bagian 2 (39—82), Bagian 3 (83—119), Bagian 4 (120—151), Bagian 5 (152—183), BagiaN 6 (184—213), Bagian 7 (214—242), dan Bagian 8 (243—260). Dalam bagian-bagian novel itu diungkapkan dengan gaya yang mirip-mirip absurd ihwal perjalanan hidup seorang lelaki tua, Barman, yang dalam masa pensiunnya dimanjakan oleh anak-anaknya. Barman ditemani oleh perempuan yang sanggup melayani segala kebutuhan hidup lelaki tua itu. Barman bertemu dengan lelaki yang sama-sama tuanya yang seperti kembarannya bernama Human. Pandangan dan sikap hidup keduanya sungguh berlawanan. Barman adalah pengejar kenikmatan duniawi yang selalu gelisah, sedangkan Human adalah penganut hidup sufisme yang terbebaskan dari belenggu duniawi. Pembawaan kedua lelaki tua itu juga berbeda. Yang satu gelisah yang lainnya tenang dan berbahagia dengan yang ada. Tidak ada lagi harapan, kata Barman. Tidak ada lagi putus asa, sahut Human. Tidak ada lagi bahagia, kata Barman. Tidak ada lagi kesedihan, sahut Human. Di akhir novel Barman mencelakakan dirinya dengan kuda putihnya dengan tubuh remuk dan wajah penuh darah, sedangkan Human meninggalkan wajah yang bagus penuh senyum. Popi, perempuan muda itu, kembali ke dunia lamanya sebagai penghibur.

    Novel itu novel yang sarat dengan pemikiran filsafat. Di dalamnya pembaca akan diperhadapkan dengan uraian panjang lebar mengenai hakikat hidup, kematian, kebahagiaan, dan mistri nasib manusia. Dalam salah bagian novel dikatakan oleh Human kepada Barman, "Apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikimu".

    Rahayu Prihatmi membandingkan novel Khotbah Di Atas Bukit dengan drama Menunggu Godot karya Samuel Beckett dan tiba pada kesimpulan bahwa kedua karya itu mengungkapkan kegelisahan dan berusaha menemukan kegelisahan. Pikiran, ingatan, dan cita-cita membuat manusia menderita. Prihatmi menyebutnya sebagai gagasan sederhana tetapi harus diakui kebenarannya.

    Mangunwijaya membandingkan novel ini dengan novel karya pengarang Jepang Kawabata, Rumah Perawan. Keduanya sama-sama menggunakan lambang wanita-nikmat-bagi-orang-amat-tua, yang seharusnya sudah ditinggalkan oleh para senja usia. Bedanya dalam pencarian jati diri eksistensialnya; dalam buku Kawabata yang meninggal adalah perawan, sedangkan dalam buku Kuntowijoyo yang meninggal adalah kakek Barman. Mangunwijaya juga menyebut novel ini sebagai roman ide seperti dambaan Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi diselaraskan dengan konsep Kuntowijoyo tentang sastra transendental yang ditujukan kepada pengangkatan ke arah yang universal, utuh dan tunggal. Ditegaskannya bahwa dengan menyucikan "Popi" sebagai sebuah upacara bersih diri, sastra transendental menjadi sebuah ritual estetis. Simbol-simbol dalam sastra transendental berlaku sebagai formula-formula dari pesan pembersihan diri. Jadi, tujuan akhir sastra transendental ialah manusia, bukan estetika.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Dari Puncak Bukit Talang
    Dari Puncak Bukit Talang merupakan novel karya Soewardi Idris yang diterbitkan pertama kali tahun 1964 oleh Wilendra. Novel itu terdiri atas 10 bagian. Ilustrasi kulit luar melukiskan seorang ...
  • MITOS DALAM CERITA “BUKIT TAMBUN TULANG”
    Peneliti : Sarman , S.Pd Tanggal Penelitian : Dipublikasikan : TERBIT Tahun Terbit : 2013 Abstrak :Mitos, menurut pandangan Levi-Strauss, adalah dongeng yang dihasilkan oleh daya nalar manusia, ...
  • Anslisis Wacana dalam Khotbah Jumat di Jawa Timur
    Peneliti : Toha Machsum, dkk. Tanggal Penelitian : 01-01-2007 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap dan mendeskripsikan aspek-aspek wacana khotbah Jumat di Jawa Timur dan peran aspek-aspek ...
  • Eksistensialisme Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit
    Peneliti : Toha Machsum Tanggal Penelitian : 01-01-2006 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh filsafat eksistensialisme dalam novel Khotbah di Atas Bukit (KdAB). Masalah yang dibahas ...
  • Memanjat Bukit Cahaya karya Kusnaidi Syafe`i: Analisis Simbol
    Peneliti : Dede Hidayatullah Tanggal Penelitian : 03-12-2012 Dipublikasikan : TERBIT Abstraksi :Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman batin para penciptanya. Kenyataan ini ...
  • Dari Puncak Bukit Talang
    Dari Puncak Bukit Talang merupakan novel karya Soewardi Idris yang diterbitkan pertama kali tahun 1964 oleh Wilendra. Novel itu terdiri atas 10 bagian. Ilustrasi kulit luar melukiskan seorang ...
  • MITOS DALAM CERITA “BUKIT TAMBUN TULANG”
    Peneliti : Sarman , S.Pd Tanggal Penelitian : Dipublikasikan : TERBIT Tahun Terbit : 2013 Abstrak :Mitos, menurut pandangan Levi-Strauss, adalah dongeng yang dihasilkan oleh daya nalar manusia, ...
  • Anslisis Wacana dalam Khotbah Jumat di Jawa Timur
    Peneliti : Toha Machsum, dkk. Tanggal Penelitian : 01-01-2007 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap dan mendeskripsikan aspek-aspek wacana khotbah Jumat di Jawa Timur dan peran aspek-aspek ...
  • Eksistensialisme Kuntowijoyo dalam Novel Khotbah di Atas Bukit
    Peneliti : Toha Machsum Tanggal Penelitian : 01-01-2006 Abstrak :Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh filsafat eksistensialisme dalam novel Khotbah di Atas Bukit (KdAB). Masalah yang dibahas ...
  • Memanjat Bukit Cahaya karya Kusnaidi Syafe`i: Analisis Simbol
    Peneliti : Dede Hidayatullah Tanggal Penelitian : 03-12-2012 Dipublikasikan : TERBIT Abstraksi :Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman batin para penciptanya. Kenyataan ini ...
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa