Khotbah Di Atas Bukit adalah novel karya Kuntowijoyo yang pertama kali muncul dimuat dalam harian Kompas sebagai cerita bersambung pada tahun 1971. Namun, pada akhir cerita tertulis, Yogyakarta, 18 Desember 1970 (halaman 260). Setelah itu, novel tersebut terbit sebagai buku oleh Pustaka Jaya pada tahun 1976 dengan 146 halaman. Kemudian, penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta, melakukan 4 kali cetak ulang novel itu, yakni Juli 1996 (cetakan II), Mei 1997 (cetakan III), September 1997 (cetakan IV), dan September 2000 (cetakan V).
Isi novel terdiri atas delapan bagian, yakni Bagian 1 (1—38), Bagian 2 (39—82), Bagian 3 (83—119), Bagian 4 (120—151), Bagian 5 (152—183), BagiaN 6 (184—213), Bagian 7 (214—242), dan Bagian 8 (243—260). Dalam bagian-bagian novel itu diungkapkan dengan gaya yang mirip-mirip absurd ihwal perjalanan hidup seorang lelaki tua, Barman, yang dalam masa pensiunnya dimanjakan oleh anak-anaknya. Barman ditemani oleh perempuan yang sanggup melayani segala kebutuhan hidup lelaki tua itu. Barman bertemu dengan lelaki yang sama-sama tuanya yang seperti kembarannya bernama Human. Pandangan dan sikap hidup keduanya sungguh berlawanan. Barman adalah pengejar kenikmatan duniawi yang selalu gelisah, sedangkan Human adalah penganut hidup sufisme yang terbebaskan dari belenggu duniawi. Pembawaan kedua lelaki tua itu juga berbeda. Yang satu gelisah yang lainnya tenang dan berbahagia dengan yang ada. Tidak ada lagi harapan, kata Barman. Tidak ada lagi putus asa, sahut Human. Tidak ada lagi bahagia, kata Barman. Tidak ada lagi kesedihan, sahut Human. Di akhir novel Barman mencelakakan dirinya dengan kuda putihnya dengan tubuh remuk dan wajah penuh darah, sedangkan Human meninggalkan wajah yang bagus penuh senyum. Popi, perempuan muda itu, kembali ke dunia lamanya sebagai penghibur.
Novel itu novel yang sarat dengan pemikiran filsafat. Di dalamnya pembaca akan diperhadapkan dengan uraian panjang lebar mengenai hakikat hidup, kematian, kebahagiaan, dan mistri nasib manusia. Dalam salah bagian novel dikatakan oleh Human kepada Barman, "Apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikimu".
Rahayu Prihatmi membandingkan novel Khotbah Di Atas Bukit dengan drama Menunggu Godot karya Samuel Beckett dan tiba pada kesimpulan bahwa kedua karya itu mengungkapkan kegelisahan dan berusaha menemukan kegelisahan. Pikiran, ingatan, dan cita-cita membuat manusia menderita. Prihatmi menyebutnya sebagai gagasan sederhana tetapi harus diakui kebenarannya.
Mangunwijaya membandingkan novel ini dengan novel karya pengarang Jepang Kawabata, Rumah Perawan. Keduanya sama-sama menggunakan lambang wanita-nikmat-bagi-orang-amat-tua, yang seharusnya sudah ditinggalkan oleh para senja usia. Bedanya dalam pencarian jati diri eksistensialnya; dalam buku Kawabata yang meninggal adalah perawan, sedangkan dalam buku Kuntowijoyo yang meninggal adalah kakek Barman. Mangunwijaya juga menyebut novel ini sebagai roman ide seperti dambaan Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi diselaraskan dengan konsep Kuntowijoyo tentang sastra transendental yang ditujukan kepada pengangkatan ke arah yang universal, utuh dan tunggal. Ditegaskannya bahwa dengan menyucikan "Popi" sebagai sebuah upacara bersih diri, sastra transendental menjadi sebuah ritual estetis. Simbol-simbol dalam sastra transendental berlaku sebagai formula-formula dari pesan pembersihan diri. Jadi, tujuan akhir sastra transendental ialah manusia, bukan estetika.