Kering merupakan novel karya Iwan Simatupang yang bercerita tentang daerah transmigrasi yang dilanda musim kemarau berkepanjangan. Novel itu terbit tahun 1972 yaitu dua tahun setelah Iwan Simatupang meninggal dunia. Naskah novel tersebut telah selesai ditulis tangan oleh Iwan Simatupang tahun 1961. Gunung Agung baru menerbitkannya setelah naskah itu tersimpan di Gunung Agung lebih dari sepuluh tahun. Cetakan kedua novel itu terbit tahun 1977.
Naskah yang telah diketik sebagian itu diserahkan Iwan ke Gunung Agung dengan harapan agar dapat diterbitkan dengan keadaan seperti itu. Untuk itu, pihak Gunung Agung terpaksa bekerja keras untuk memahami tulisan tangan Iwan Simatupang itu. Dalam hal itu, pihak Gunung Agung hanya menyatu-nyatukan tulisan tangan Iwan karena pada saat itu Iwan sudah tiada. Hasilnya adalah 206 halaman buku terbagi menjadi sepuluh bab. Penamaan bab dilakukan dengan bilangan yang ditulis dengan huruf kapital, seperti SATU, DUA, TIGA, dan seterusnya.
Novel Kering bercerita tentang "tokoh kita" yang ikut masuk ke dalam kelompok orang-orang yang bertransmigrasi. Usaha para transmigran di tempat tujuannya itu tidak dapat berjalan dengan baik karena tanah yang akan digarap sebagai lahan pertanian itu retak-retak akibat musim kemarau yang panjang. Ketika menemukan daerah lembah yang berair, tokoh kita membangun kota musim kemarau. Akan tetapi, ketika pembangunan kota itu hampir selesai, musim hujan tiba dan awan hitam pun bergulung-gulung di udara. Kota yang dibangun oleh tokoh kita hancur berantakan karena diterpa angin dan hujan. Amanat yang terkandung dalam novel ini ialah bahwa kita tidak dapat meraih apa yang belum datang dan kita tidak dapat menolak apa yang datang.
Seperti novel Iwan yang lain, novel Kering menampilkan tokoh tanpa nama. Tokoh utama hanya disapa dengan sebutan "tokoh kita". A. Teeuw (19..) mengatakan bahwa Kering merupakan kisah tentang pahlawan tak bernama, "tokoh kita", yang—setelah menempuh perjalanan lahir dan batin yang panjang di dunia yang dilanda kekeringan—mencapai semacam pembebasan diri dengan membangun sebuah kota, bahkan, apabila ditakdirkan, kota ini akan dihancurkan pula oleh hujan deras dan badai. Namun, sesudah itu, ia benar-benar bisa hidup. Lebih lanjut, Teeuw menggolongkan novel Kering ke dalam jenis novel absurd dengan latar tempat yang tidak jelas sebagai negeri antah berantah.
Umar Junus (1981) menyatakan bahwa kehidupan "tokoh kita" dalam Kering dikuasai oleh perubahan yang berada di luar dirinya dan ia terseret ke dalamnya. Di dalamnya kita menjumpai tokoh-tokoh yang berbicara bukan sebagai manusia, tetapi berbicara sebagai orang dalam kedudukan tertentu sehingga mereka telah mengambil fungsi sebagai sebuah barang. Dengan demikian, Kering memperlihatkan suatu proses. Pada mulanya dibedakan antara manusia dan barang, tetapi kemudian pembedaan dan perbedaan itu menghilang. Manusia diperlakukan sebagai barang.
Novel Kering itu mendapat perhatian yang besar sekali dari Harry Aveling, kritikus sastra Indonesia asal Australia. Aveling menerjemahkan novel Kering ke dalam bahasa Inggris dengan judul Drought yang terbit tahun 1974.