Lintang Kemukus Dini Hari merupakan novel karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, Jakarta, pada tahun 1985 dengan tebal 211 halaman. Sebelum diterbitkan sebagai buku, Lintang Kemukus Dini Hari pernah dimuat dalam harian Kompas edisi 23 September sampai dengan 27 Oktober 1984 sebagai cerita bersambung.
Lintang Kemukus Dini Hari merupakan Novel karya Ahmad Tohari yang keempat dan merupakan salah satu dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Novel trilogi yang pertama berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982). Sebelum diterbitkan, novel tersebut juga dimuat dalam surat kabar Kompas edisi 17 Juli sampai dengan 21 Agustus 1982 sebagai cerita bersambung dan tahun 1986 diterbitkan dalam bahasa Jepang. Novel yang ketiga, Jantera Bianglala (1986), sebelumnya juga merupakan cerita bersambung pada harian Kompas edisi 23 September sampai dengan 26 Oktober 1985. Novel tersebut meraih hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986.
Lintang Kemukus Dini Hari menceritakan perjalanan hidup seorang wanita muda remaja bernama Srintil. Srintil adalah seorang ronggeng sekaligus simbol pembangkit semangat Dukuh Paruk. Jika Srintil tidak meronggeng, Dukuh Paruk menjadi kesepian. Berbeda dengan ronggeng-ronggeng yang lain, walaupun masih berusia muda, Srintil lebih mempunyai harga diri. Ia tidak mudah tergiur dengan harta benda yang disodorkan kepadanya. Bahkan, Srintil juga berani menolak pelanggan yang tidak disukainya, seperti Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling yang telah berusia 50 tahun. Sikap Srintil membuat hubungannya dengan dukun ronggengnya, suami istri Kartareja, menjadi kurang harmonis karena Nyai Kartareja yang materialistis tersebut menjadi berkurang rezekinya.
Srintil hanya mencintai Rasus, teman sepermainannya sejak kecil, dan ia ingin menjadi istri Rasus. Akan tetapi, Rasus pergi meninggalkan Srintil begitu saja karena tidak ingin merampas sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk. Ia bergabung dengan tentara di Desa Dawuan yang dipimpin oleh Sersan Slamet. Nyai Kartareja yang tidak menyetujui hubungan mereka berusaha untuk memisahkan kedua sejoli ini. Nyai Kartareja meletakkan guna-guna di kamar Srintil agar Srintil melupakan Rasus. Secara tidak sengaja, Srintil mengencingi guna-guna tersebut sehingga keampuhannya hilang.
Untuk menenangkan diri dan menghindari pelanggan yang tidak disukainya, Srintil tinggal di rumah keluarga Sakarya, kakek dari pihak ibunya. Sejak berusia lima bulan, Srintil memang sudah diasuh oleh keluarga Sakarya karena kedua orang tuanya meninggal akibat keracunan tempe bongkrek. Setelah menjadi ronggeng, Srintil tinggal di rumah Kartareja, dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Marsusi yang merasa sakit hati karena ditolak oleh Srintil berusaha meminta pertolongan seorang dukun terkenal untuk membalaskan dendamnya. Ketika sedang meronggeng dalam perayaan Agustusan di Desa Dawuan, tiba-tiba Srintil jatuh pingsan. Kartareja, yang mengetahui bahwa hal itu terjadi karena perbuatan Marsusi, membuat kesepakatan untuk berdamai.
Dalam kehidupannya sebagai ronggeng, ada dua pengalaman penting yang dialami Srintil. Pertama, ketika ia diminta untuk meronggeng dan menjadi gowok oleh Sentika, orang terkaya pemilik pabrik tapioka dan perkebunan di Alaswangkal. Sebagai gowok, Srintil harus memberikan pelajaran tentang kehidupan berumah tangga kepada anak laki-laki Santika yang sudah menginjak dewasa, tetapi memiliki masalah kelelakian. Dalam menjalankan tugasnya, Srintil mengalami kegagalan dan sangat menyesalinya. Kedua, ketika secara tidak disadari Srintil dan rombongan ronggengnya terlibat dalam kegiatan organisasi partai politik yang dipimpin oleh Pak Bakar. Dalam setiap rapat propaganda yang diadakan oleh Pak Bakar, mereka selalu dimanfaatkan untuk menarik massa. Pada akhirnya, mereka dipenjarakan karena dianggap sebagai anggota kelompok partai politik pimpinan Pak Bakar yang berkhianat kepada pemerintah. Dua hari setelah Srintil dan kelompok ronggengnya ditahan, terjadi kebakaran di Dukuh Paruk. Kebakaran yang telah memusnahkan desa tersebut dianggap oleh sebagian orang sebagai akibat kelewat bebalnya Dukuh Paruk yang sepanjang sejarahnya tidak dapat memahami politik dan ideologi politik apa pun.
Lintang Kemukus Dini Hari tidak terlepas dari pengalaman hidup pengarangnya yang lama bermukim di pedesaan. Hampir semua karya Ahmad Tohari diwarnai oleh kehidupan masyarakat lapisan bawah dengan latar alam pedesaan. Rasa keterikatan pengarang dengan keaslian alam desanya tersebut tercermin dengan kental dalam Lintang Kemukus Dini Hari.
Dalam tulisannya di Kompas (1 Mei 1986), Ignas Kleden menyatakan bahwa novel trilogi karya Ahmad Tohari lebih bermakna simbolik daripada hanya sekadar kisah novel. Trilogi tersebut adalah sebuah esai politik yang panjang dan menyentuh hati. Tohari dianggap benar-benar mengikuti setiap perkembangan sosial budaya dan politik dengan penuh perhatian kendati tinggal di daerah pedesaan. Keunggulan lainnya ialah bahwa Ahmad Tohari berhasil menghindarkan diri dari menulis pamflet meskipun ia seorang jurnalis dan tidak jatuh ke arah lanturan. Ignas Kleden menempatkan Ahmad Tohari sejajar dengan Mangunwijaya, Iwan Simatupang, ataupun Pramoedya Ananta Toer. Karya Ahmad Tohari ibarat setangkai bunga melati yang mekar pada pagi hari dan menyemerbakkan seisi rumah. Oleh sebab itu, triloginya lebih tepat disebut prosa liris daripada murni prosa. Sayangnya, karya tersebut berlangsung tanpa humor sama sekali. Hal tersebut menunjukkan betapa prihatinnya penulis melihat perjalanan negeri ini sejak kemerdekaan, terlebih setelah peristiwa G-30-S/PKI. Meskipun demikian, karya tersebut kaya dengan ungkapan indah dan kreatif yang memukau.
Zaim Uchrowi berpendapat (Tempo, 30 November 1985) bahwa penulis Lintang Kemukus Dini Hari patut mendapat nilai khusus karena mampu menuliskan suasana hati tokoh-tokohnya dan berhasil menggambarkan suasana hijau desa (yang kini makin mendekati dongeng) yang mengusik nostalgia kaum urbanis. Pelukisan alam pedesaan adalah letak kekuatan karya-karya Ahmad Tohari yang memiliki kesadaran dan wawasan alam. Sementara menurut Nurmimi TV dalam Yudha Minggu (3 Oktober 1985), Lintang Kemukus Dini Hari merupakan sebuah drama kehidupan yang berliku dan berakhir karena sebuah masalah yang belum sempat dimengerti oleh tokoh utamanya, Srintil. Sementara itu, Dukuh Paruk tenggelam dalam berbagai gejolak tanpa ada orang tua yang dapat mengerti dan mencarikan jalan keluarnya.