Lho merupakan novel karya Putu Wijaya yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1982 (cetakan I) dan tahun 1987 (cetakan II) dengan tebal 163 halaman yang terdiri atas 35 bagian. Cetakan IV diterbitkan tahun 2000 dengan ketebalan 198 halaman.
Lho merupakan karya Putu Wijaya yang keempat belas. Naskah Lho pernah dikirimkan untuk mengikuti Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta. Naskah Lho lahir dari proses yang dimulai ketika Putu Wijaya kembali pulang ke Indonesia dari Nancy, Amerika. Ia mengajak beberapa kawannya untuk berlatih teater yang dimulai dengan merespons sebuah roda pedati. Pelatihan tersebut membiarkan tubuh bereaksi sendiri dan pikiran tidak mendahului gerakan. Latihan tersebut dilaksanakan malam hari dan siapa saja boleh mengikutinya. Secara tidak terduga, banyak peserta datang dengan sukarela. Dari latihan tersebut lahir bentuk-bentuk yang artistik. Dasar pelatihannya adalah gerakan lambat, seperti binatang kuskus, sehingga segalanya seperti slow motion. Melihat perkembangan tersebut, Putu mengajak pelukis Nashar untuk bekerja sama dan kemudian lahirlah pertunjukan tanpa naskah yang berjudul Lho.
Menurut Putu, dalam Lho ia mencoba menceritakan sesuatu yang selalu berpapasan, misalnya tokoh yang menduga ia telah membunuh orang, tetapi masyarakat menganggap hal tersebut adalah kecelakaan. Suatu ketika ia dianggap gila padahal ia sendiri merasa normal. Pada saat ia benar-benar rela dianggap gila, orang-orang justru mulai memperlakukannya sebagai orang sehat. Di akhir cerita, setelah kepercayaannya timbul kembali, ia baru menyadari bahwa semuanya masih tetap sandiwara. Ia lalu berpikir bahwa untuk bisa hidup di dalam masyarakat, orang harus mau menerima untuk dianggap mati dan ia mencoba untuk itu.
Lho bermula dari semacam keisengan yang muncul secara tiba-tiba tanpa ujung pangkal. Tokoh "aku" dalam novel tersebut tiba-tiba berkeinginan untuk mencelakakan teman akrabnya, Zen, ke tengah-tengah lalu lintas yang ramai. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ia sendirilah yang kemudian termakan oleh gagasannya. Dialah yang akhirnya ramai-ramai digotong ke rumah sakit dan dari rumah sakit itulah ia merasa terperangkap oleh sandiwara yang secara diam-diam dimainkannya sendiri. Ia menjadi ketakutan dengan permainannya dan meneruskan peran yang mau tak mau harus terus dipeliharanya agar orang lain tak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Perasaan bersalah yang menyebabkan ia terperangkap ke dalam persoalan yang makin lama makin meruncing tersebut telah memukul dirinya sendiri dan melemparkannya ke rimba yang asing. Peran tersebut pada akhirnya memaksanya untuk mengukuhkan keterasingan yang telah diciptakannya sendiri. Meskipun ia telah berusaha membuka kedok atas peristiwa yang sesungguhnya terjadi, orang-orang telanjur memerangkapnya dengan persoalan yang lain pula.
Hidup dalam lingkungan masyarakat lain ternyata juga tidak menolongnya keluar dari kemelut, maka diputuskannya untuk kembali ke tempat tinggalnya semula. Ia berkeinginan untuk membeberkan segala persoalan kematian teman akrabnya sebagai suatu usaha untuk mengakhiri sandiwara gila yang tanpa sengaja telah memakan korban. Sang tokoh sudah pasrah dan menyerah betul pada kemelut yang makin ruwet itu. Namun, penyerahan tersebut pun tak mungkin dilakukan karena masyarakat makin menciptakan jarak dengannya, yang sebenarnya sudah mulai dicurigai kewarasannya.
Menurut Partanegara (1982), "… Ciri khas Putu masih tetap lengket dalam novel itu, padat, lancar, logika jungkir balik, serpihan-serpihan perenungan yang menggelitik, menyeret sejuta pertanyaan, dan tentu saja tokoh-tokoh yang unik dengan berbagai gagasan yang runcing." Bambang Permadi (1982) menyatakan bahwa Lho karya Putu Wijaya ini apabila ditilik dari segi penalaran, memang banyak kejadian yang terasa tidak masuk akal, misalnya kasus terbunuhnya Zen. Tanpa proses penyelidikan yang cermat, ketika dipaksa untuk menerima begitu saja, anak pejabat tersebut diadili dan dipenjara sebagai penyebab kematian. Namun, bukan di situ persoalannya. Sebagai sastrawan, Putu lebih menekankan kebebasannya untuk bersuara. Kebebasan dalam melemparkan ide-ide pemikirannya.
Redaksi Balai Pustaka (1982) menyatakan bahwa lewat tokoh "aku", Zen, kawan-kawan, Bing, orang-orang, Nyonya pemilik perusahaan jasa angkutan, pengusaha sayur-mayur dan berbagai barang, tokoh pacar, dan yang lain, masalah-masalah pencarian diri "aku" yang bereksistensi dengan eksistensi orang lain muncul membentuk arus cerita, atau sebaliknya, arus cerita Lho memunculkan masalah-masalah eksistensi itu. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa pada bagian-bagian akhir, bereksistensi yang tragis tersebut pun muncul secara tak terduga. Ketika tokoh "aku" sampai pada puncak kesadarannya untuk berdamai dengan orang lain dalam melanjutkan eksistensi masing-masing serta kebersamaan dalam suatu masyarakat beserta norma-normanya, ternyata tokoh "aku" menemukan dirinya tersisih atau disisihkan masyarakat dengan ditempatkan sebagai "orang gila".
Pada bagian akhir novel tersebut terdapat komentar yang menyatakan bahwa Lho berangkat dari "sensasi pikiran" yang timbul secara tiba-tiba untuk membunuh dan dengan ekstrem Putu menarik berbagai pikiran tokoh-tokoh novelnya ini sampai ke ujungnya. Kewarasan dan ketidakwarasan telah menyatu dalam novel tersebut, dan ketika tokoh-gila dalam novel tersebut sampai pada kesadaran untuk berdamai dengan kenyataan kehidupan bersama manusia-manusia lain dalam masyarakatnya, sang tokoh menemukan dirinya terbaring di sebuah ranjang dalam kompleks rumah sakit jiwa.