Layar Terkembang merupakan novel terpenting karya Sutan Takdir Alisjahbana yang terbit pertama kali tahun 1936 oleh Balai Pustaka sebagai cetakan I. Tahun 1963 Novel tersebut terbit pula di Kuala Lumpur. Dalam roman tersebut, Takdir melalui tokoh utamanya, Tuti, menyampaikan pendapat dan pandangannya tentang peranan perempuan dan kaum muda dalam membangun bangsa.
Layar Terkembang berkisah tentang dua gadis bersaudara, Tuti dan Maria. Tuti adalah seorang guru yang bekerja dengan sungguh-sungguh sedangkan Maria adalah seorang gadis periang dan lincah. Sebagai gadis yang tergolong kaum muda, Tuti aktif pula dalam pergerakan perempuan. Ia merasa berkewajiban untuk membela kedudukan perempuan di mata laki-laki. Selain itu, ia pun berjuang melawan hatinya yang tidak lepas dari sifat perempuan yang memimpikan suami dan menjadi seorang ibu. Kedua gadis tersebut berkenalan dengan Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran. Meskipun Yusuf pada mulanya tertarik kepada Tuti, akhirnya ia menjadi kekasih Maria. Kematian Maria yang disebabkan oleh penyakit TBC terasa terlalu dipaksakan sehingga terlihat hanya ingin mempertemukan cinta Yusuf dengan Tuti.
Ajip Rosidi (1982) menyatakan bahwa roman tersebut jelas bukan hanya sekadar bacaan perintang waktu, melainkan sebuah roman bertendensi. Layar Terkembang dianggap sebagai salah satu roman terpenting yang terbit pada tahun 1930-an dan merupakan salah satu karya terpenting dari para pengarang Pujangga Baru. H.B. Jassin (1985) dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I (1985) menyatakan bahwa Layar Terkembang adalah roman bertendensi, tetapi tendensi di dalamnya kadang-kadang terasa agak keras sehingga mengganggu. Tiap halaman seolah-olah harus diisi dengan cita-cita pengarang dan tokoh-tokoh yang didesak untuk mengatakan, memikirkan, dan merasakan apa yang dikehendaki oleh pengarang. Dalam buku tersebut, pengarang (melalui ucapan Yusuf dan Maria) masih perlu mengatakan bahwa orang Sumatra tidak kurang dari orang Betawi.
Idrus dalam satu pembicaraannya tentang karya Sutan Takdir Alisjabana mengatakan bahwa Sutan Takdir Alisjabana mempunyai satu kesukaan dalam bercerita. Ia harus bercerita dari permulaan benar. Asam harus terlebih dahulu ada di gunung dan ikan di laut. Asam lalu turun dari gunung, ikan naik ke darat, dan pada suatu ketika keduanya harus bertemu dalam belanga ceritanya.
Dengan mengutip pendapat Idrus tersebut, H.B. Jassin (1985) menyatakan bahwa Layar Terkembang memakai komposisi horizontal. Kisah bermula dari pertemuan Maria dan Tuti dengan Yusuf di akuarium lalu berlanjut pada perkenalan Yusuf dengan orang tua Maria dan Tuti. Sesudah itu, adegan berurutan menceritakan suasana rapat untuk mendengarkan pidato Tuti tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat lengkap dengan syair-syairnya, Yusuf pergi ke Martapura untuk berkenalan dengan ayahnya, Demang Munaf, dan Yusuf datang ke Bandung dan mendapat kuliah dari Tuti tentang Timur dan Barat. Bagian kedua secara berurutan menceritakan adegan menonton "Sandyakala ning Majapahit" dan mendengarkan pendapat Tuti tentang itu, pertemuan dengan Saleh dan Ratna (contoh petani Indonesia yang terpelajar), dan kemunculan dua anak pandu sebagai lambang putra Indonesia baru yang sehat dan kuat. Kesulitan hidup mahasiswa dalam melanjutkan studinya diceritakan oleh Yusuf yang menjadi anggota pengurus Dana Studi Mahasiswa. Semua adegan dikisahkan satu demi satu. Horizontal komposisi cerita Layar Terkembang juga terlihat dari pemuatan pidato, syair, dan surat-surat yang panjang lebar. Penutup cerita tentang Yusuf dan Tuti yang mengunjungi pekuburan di Pacet mengingatkan pada adegan penutup yang merawan hati dalam Sitti Nurbaya. Anasir mimpi dapat dilihat pada Maria yang beberapa saat sebelum meninggal bermimpi tentang ibunya yang sudah lebih dahulu meninggal.
Faruk dalam Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920—1942 (2002) menyatakan bahwa Layar Terkembang terbangun dari berbagai medan semantis yang secara bersama-sama terhimpun dalam satu invarian yang menjadi arkesememnya, dunia ideal lawan dunia nyata. Varian-varian dari invarian itu pun tidak banyak berbeda dengan novel-novel sebelumnya, antara lain oposisi antara alam dan kebudayaan, desa dengan kota, perempuan dengan laki-laki, rumah dengan luar rumah, kerabat dengan pribadi, lingkungan dengan pribadi, dan kenalan dengan orang asing. Di antara medan-medan semantik tersebut yang tampak menonjol adalah oposisi antara alam dan kebudayaan/manusia, perempuan dan laki-laki, serta lingkungan dan pribadi.
Selanjutnya, Faruk (2002) menyimpulkan bahwa dalam novel tersebut terdapat dua suara yang ingin dikemukakan sesuai dengan gagasan mengenai sintetis antarkutub yang bertentangan. Pertama, pandangan bahwa kesatuan dengan alam manusia dapat menerobos apa pun, menaklukkan segala rintangan dengan mudah. Kedua, pandangan hidup ini adalah perjuangan yang penuh rintangan. Kedua suara tersebut ternyata tidak menyatu, tetapi saling menihilkan. Hal yang menonjol bukanlah gagasan mengenai perjuangan, pertentangan, dan rintangan, melainkan ketenangan dan ketercapaian segala sesuatu dengan mudah tanpa harus melalui perjuangan, rintangan, dan kerja. Layar Terkembang bukan mengangkat dunia nyata yang penuh perpecahan, pertentangan, perjuangan, dan rintangan, seperti yang secara konseptual berulang kali dikemukakan, melainkan jurstru menihilkannya dengan memberikan tekanan pada dunia ideal yang surgawi dan konsumtif, tempat segala sesuatu dapat diperoleh dengan mudah.
A. Teeuw, dalam Sastra Baru Indonesia I (1980), menyatakan bahwa dalam hubungannya dengan kesusastraan sebelum perang, Layar Terkembang melebihi karya yang lain karena lukisan alamnya yang murni dan jujur, dialog-dialognya yang hidup, serta watak tokoh Tuti yang merupakan watak yang amat penting dalam karya sastra Indonesia sebelum perang. Ia merupakan penjelmaan cita-cita Takdir yang sempurna: seorang gadis yang bebas, merdeka, dan yang dengan rela mengikat dirinya kembali kepada masyarakat dengan tujuan untuk mencapai kehidupan yang benar-benar harmonis dan memuaskan. Watak tersebut juga sungguh-sungguh dan realistis. Walaupun kadang-kadang pengarang melanggar garis pemisah antara roman dan esai, tidak dapat dikatakan bahwa ia menghilangkan daya pesona karyanya. Ditegaskan bahwa tokoh Tuti merupakan penyambung lidah Takdir dalam mengemukakan tantangannya terhadap sikap menyerah, kalah secara negatif, dan melarikan diri ke dunia mistis.
Sapardi Djoko Damono dalam artikelnya "Keterlibatan Sastra Indonesia" dalam Politik dan Sastra Hibrida (1999) menyatakan bahwa keterlibatan pengarang sangat diharapkan demi keselamatan dunia dan umat manusia. Ajakan Sutan Takdir Alisjahbana meningkatkan keterlibatan sastra merupakan usaha untuk merebut kembali peran sastrawan dalam masyarakat. Sapardi menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia berada dalam jurang kehancuran dan untuk menyelamatkannya dibutuhkan sastrawan. Oleh karena itu, tugas sastrawan lebih besar dan jangkauannya lebih jauh lagi. Sastrawan harus memandang jauh ke depan dan berusaha menyelamatkan manusia dan masyarakat dari berbagai kemerosotan. Layar Terkembang adalah contoh yang menarik. Novel Alisjahbana tersebut berkisah tentang percintaan tiga pemuda terpelajar, tetapi hal yang ingin disuarakan pengarangnya adalah kesadaran perempuan terhadap hak-haknya. Tuti adalah tokoh yang menyuarakan gagasan pengarang, yaitu seorang gadis yang mempunyai pandangan dan pikiran yang didukung oleh keyakinan. Ia tak letih-letihnya bekerja dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur, yakni mengembalikan perempuan ke derajatnya sebagai manusia. Ia mengusahakan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Pengarang juga menganggap penting peran organisasi dalam usaha mencapai cita-cita tersebut lewat Tuti dalam adegan rapat.
Keterlibatan sastra Alisjahbana tampaknya tidak dianggap sebagai gangguan bagi pemerintah Belanda saat itu. Ia memang melihat adanya ketidakberesan dalam masyarakat, terutama menyangkut kedudukan perempuan. Dalam anggapannya, segala sifat perempuan menjadi layu karena didikan masyarakat dan orang tua yang semata-mata mementingkan pernikahan. Laki-laki harus melepaskan kekuasaannya atas perempuan yang telah berabad-abad dipertahankannya. Gagasan Tuti memaksa pembaca berpikir tentang liberalisme, di samping mengingatkan pembaca pada percikan pikiran Sitti Noerbaja. Dengan demikian, Layar Terkembang menunjukkan bahwa keterlibatan sastrawan tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan penerbit, di samping membuktikan bahwa sastrawan sudah sejak tahun 1930-an meyakini kemutlakan keterlibatan sastra. Dalam hal ini, Alisjahbana tampaknya tidak bimbang oleh ideologi tertentu, setidak-tidak tidak diatur oleh organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu. Ia yakin bahwa sastra harus menyuarakan semangat hidup untuk membangun masa depan.