Laki-Laki dan Mesiu merupakan kumpulan cerpen karya Trisnojuwono yang diterbitkan pada tahun 1957 oleh Penerbit Pembangunan, Jakarta, dengan tebal 168 halaman. Buku tersebut mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN pada tahun 1957—1958. Edisi terbarunya diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta, tahun 1994, dengan tebal halaman 114 halaman.
Dalam buku tersebut dimuat sepuluh cerpen, yaitu (1) "Tinggul" yang memperoleh hadiah majalah Kisah tahun 1956, (2) "Kopral Tohir", (3) "Dropping-Zone", (4) "Restoran", (5) "Sebelum Payung Terbuka", (6) "Pak Parman", (7) "Pagar Kawat Berduri" yang meraih hadiah sastra Yayasan Yamin tahun 1964 (pernah difilmkan oleh Asrul Sani tahun 1963), (8) "Di Kaki Merapi", (9) "Rancah", dan (10) "Lewat Tambun". Buku tersebut memuat kisah-kisah revolusi yang sebagian besar ditulis berdasarkan pengalaman pengarangnya. Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) menyatakan bahwa cerpen-cerpen tersebut menarik karena pengarangnya pandai melukiskan manusia dalam keadaan lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan, dan kekuatannya.
Dalam cerpen-cerpen Laki-Laki dan Mesiu, selain pengalaman hidup Trisnojuwono, pengalaman hidup sahabatnya pada masa revolusi tahun 1950-an juga menjadi sumber inspirasi pengarang. Konflik wibawa seorang pemimpin dalam menghadapi bawahannya dan penegakan kedisiplinan di kalangan militer dapat dilihat dalam cerpen "Kopral Tohir", "Restoran", dan "Rancah". Getirnya tindakan pengkhianatan dapat dihayati dalam cerpen "Pagar Kawat Berduri" dan "Pak Parman". Hal menarik lainnya dalam cerpen-cerpen Trisnojuwono berkaitan dengan nilai dokumen historisnya, yaitu sesuatu mungkin sekali terjadi pada masa pergolakan: pembangkangan, pengkhianatan, dan kesalahan dalam mengambil putusan.
Pada bagian awal "Kata Pengantar" yang ditulis oleh Jakob Sumardjo terkutip tulisan Trisnojuwono sebagai berikut
"Selama ini aku menulis lebih banyak berdasarkan pengalamanku, tentunya karena aku belum mampu mempertanggungjawabkan hal-hal di luar pengalamanku. Akan tetapi, bukanlah berarti bahwa yang kuceritakan itu semacam 'kisah nyata'. Kuambil bagian-bagian pengalaman itu, kuaduk dengan khayal, kureka-reka, kupikirkan, dan kurasakan hingga menjadi suatu kebulatan menurut ukuran-ukuranku .... Cerpen-cerpenku lahir dari pengalaman sendiri, khayalan, dan pengalaman orang lain yang bersamaan jiwanya dengan pengalaman-pengalamanku ... biasanya sudah kubayangkan, kubuat rangkanya. Hal itu tidak terlalu sulit mungkin karena banyaknya pengalamanku."
Jakob Sumardjo mengutip pendapat Harijadi S. Hartowardojo yang menyebutkan bahwa tulisan Trisnojuwono sama dengan catatan harian. Hanya saja Trisnojuwono memiliki keahlian dalam menggunakan teknik dan gaya mengarang kitsch. Mh. Rustandi Kartakusuma juga memuji kumpulan cerpen tersebut atas nilai dokumenternya.