Lakbok merupakan drama tiga babak karya Aoh K. Hadimadja yang pertama kali terbit tahun 1950 dalam buku Zahra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku tersebut dicetak ulang oleh Pustaka Jaya pada tahun 1971 dengan judul Pecahan Ratna. Pelaku atau tokoh yang bermain dalam drama ini ada enam orang, yaitu (1) Koswara, seorang arsitek pengairan, (2) Rini, istri Koswara, (3) Siti Zahra, inspektur-sosial yang dahulu pernah menjadi kekasih Koswara, (4) Karnadi, seorang opseter-pengairan yang dahulunya mempunyai hubungan dengan Rini, (5) Sulaiman Rasid, seorang mantri kepala pengairan yang korup, dan (6) Wiranta, Ketua Golongan Kedaulatan Islam. Tempat terjadinya peristiwa dalam cerita ini adalah seputar daerah rawa Lakbok, Kabupaten Banjar, Jawa Barat. Latar waktu terjadinya peristiwa dalam lakon ini adalah ketika negeri ini baru menghadapi serangan pasukan pendudukan dalam "aksi polisional" I, 20 Juli 1947, yang dikenal sebagai Aksi Militer I oleh tentara NICA Belanda dalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Lakbok bercerita tentang pembudidayaan alam Rawa Lakbok yang dilakukan oleh tokoh Koswara dan kawan-kawan. Rawa Lakbok tersebut akan dijadikan lahan produksi pertanian yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat. Jika ditinjau dari kondisi geografis alamnya, Rawa Lakbok sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan produksi pertanian. Itulah sebabnya, tokoh Koswara dengan bersemangat menjelaskan tujuan pembudidayaan alam Rawa Lakbok tersebut kepada Siti Zahra, inspektur sosial, ketika sedang meninjau proyek Rawa Lakbok. Tujuan pelaksanaan budidaya Lakbok adalah untuk meningkatkan produksi pertanian, perikanan, dan pembangkit tenaga listrik. Namun, kondisi alam yang penuh rawa, bukit, onak dan duri, serta batu-batuan sangat memerlukan seorang manusia yang tangguh, ulet, dan bandel sehingga mampu mengatasi tantangan kondisi alam tersebut. Manusia tersebut adalah Koswara, seorang insinyur pengairan yang ditugasi memimpin proyek Lakbok. Dua orang pendahulunya, Tuan Suarna dan Tuan Wiratanuningrat, gagal menaklukkan keganasan alam Rawa Lakbok. Bercermin dari kegagalan dua orang pendahulunya tersebut, Koswara dan anak buahnya bertekad untuk bekerja keras membanting tulang menaklukkan Rawa Lakbok. Ia tidak mau mengulang kedua kalinya kegagalan yang telah dilakukan oleh para pendahulunya.
Sebagai seorang kepala pengairan yang dipercaya memimpin sebuah proyek raksasa, Koswara dituntut tangguh dan bekerja keras dalam mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan. Di samping itu, Koswara juga seorang kepala keluarga yang juga dituntut bertanggung jawab menciptakan suasana harmonis kehidupan rumah tangganya. Antara pekerjaan dan urusan rumah tangga dituntut keseimbangan. Namun, keduanya tampak sulit untuk dapat berjalan beriringan karena tidak ada saling pengertian antara suami dan istri. Setiap hari Koswara begitu sibuk dengan pekerjaannya. Ia dipandang oleh istrinya, Rini, lebih mencurahkan perhatian ke Rawa Lakbok daripada memperhatikan kebutuhan hidup rumah tangganya. Meskipun kebutuhan lahiriah dipenuhi secara memuaskan oleh Koswara, Rini masih berpendapat suaminya kurang lengkap memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Permasalahan ini secara jelas diungkapkan Rini kepada Karnadi, anak buah Koswara yang bekerja sebagai opseter pengairan dan sekaligus pernah menjadi pacar Rini ketika berkunjung ke rumah dinas Koswara. Di lain pihak, Koswara merasa kurang diperhatikan kebutuhan rohaninya. Persoalan inilah yang kemudian membelit kehidupan Koswara sehingga menimbulkan berbagai konflik dengan tokoh-tokoh lain, yaitu Rini (istrinya), Karnadi (anak buahnya), dan Siti Zahra (Inspektur pengawas).
Koswara begitu kokoh membudidayakan alam Rawa Lakbok. Hidup Koswara sepenuhnya dicurahkan untuk pembangunan dan pengembangan rawa Lakbok. Bagi Koswara, Rawa Lakbok merupakan refleksi jiwanya yang mencerminkan kegigihan semangat dan perjuangannya membudidayakan alam guna kesejahteraan masyarakat. Hal itu juga menjadi simbol atau perlambang ketangguhan Koswara dalam memahami dan menghayati makna dan tujuan hidup. Musuh yang dihadapi Koswara bukan sekadar kondisi geografis alam yang kurang bersahabat, seperti cuaca yang silih-berganti, angin kencang yang memorak-porandakan bangunan, dan hujan deras yang mengakibatkan banjir, melainkan juga kepercayaan terhadap hantu penunggu rawa, takhayul yang berkembang di masyarakat sekitarnya, dan orang-orang jahat yang hendak mengganggu keamanan pembangunan Rawa Lakbok. Lakbok memberikan pelajaran yang berharga bagi pembaca agar bersedia membudidayakan alam sehingga masyarakat dapat hidup sejahtera. Alam disediakan Tuhan dan digunakan bagi kesejahteraan hidup umat manusia.