Maut Dan Cinta merupakan novel karya Mochtar Lubis yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1977 dengan ketebalan 306 halaman. Akhir dasawarsa 1990-an novel Mochtar Lubis tersebut diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1979. Novel tersebut terpilih sebagai novel terbaik dalam penilaian yang diadakan oleh Yayasan Buku Utama sehingga Mochtar Lubis berhak menerima hadiah sebesar satu juta rupiah. Maut dan Cinta mulai ditulis ketika Mochtar Lubis dipenjara oleh rezim Soekarno dan baru diselesaikan di Amerika Serikat pada tahun 1973. Saat itu, ia diundang sebagai artist in residence di Aspen Institute.
Maut dan Cinta berisi kisah perjuangan yang terjadi sekitar tahun 1947 hingga 1949. Tokoh utama adalah Sadeli, seorang perwira berpangkat mayor. Ia bekerja sebagai intelijen. Sebenarnya Sadeli lebih senang menjadi komandan batalyon, tetapi, Kolonel Suroso meyakinkannya bahwa ia lebih cocok bekerja sebagai intelijen karena pengetahuan dan kemahirannya berbahasa asing amat diperlukan oleh dinas intelijen. Ia dikirim ke Singapura untuk memeriksa kasus Kapten Umar Yunus yang diduga akan berkhianat karena ia mengorupsi uang penjualan gula yang rencananya akan digunakan untuk dana revolusi. Sadeli hampir tak mampu bertindak tegas ketika menyaksikan Umar Yunus bertindak dan berkata sebagai orang yang demam revolusi, terlebih lagi melihat Umar Yunus yang berpikiran cerdas, realistis, dan memiliki semangat yang kuat. Kematian Yahya dalam pertempuran melawan Belanda menyadarkan Umar Yunus untuk kembali menjadi manusia yang bermartabat.
Tugas-tugas berat yang dibebankan pada Sadeli dapat diselesaikan dengan baik, misalnya membeli obat-obatan, senjata, speeboat, pesawat terbang dan sekaligus mampu mencari penerbang yang sanggup membantu revolusi Indonesia. Cita-cita Sadeli adalah untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan penjajah. Bahkan, ia sering memimpikan dirinya sebagai seorang ksatria yang agung dan membandingkankannya dengan pahlawan yang telah berhasil. Sadeli adalah seorang pemuda yang gagah berani, berwibawa serta punya pengetahuan yang luas.
Maut dan Cinta terpilih sebagai novel terbaik tahun 1979 karena isinya sangat berguna bagi bangsa Indonesia. Menurut H.B. Jassin (1988), novel tersebut memuat kupasan secara mendetail tentang semua tokoh, baik secara ideologi maupun nafsu mereka. Hal tersebut jarang dikemukakan dalam novel-novel Indonesia lainnya. H.B. Jassin dalam artikelnya yang berjudul "Seks dalam Novel Mochtar Lubis" yang dimuat dalam Berita Buana, 5 Agustus 1980 memaparkan bahwa Mochtar Lubis mengungkapkan penyelewengan-penyelewengan yang telah dilakukan pemerintah rezim Soekarno secara tidak langsung. Pengungkapan tersebut dikemukakan melalui dialog-dialog Sadeli sebagai tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain seperti Umar Yunus, Ali Nurdin, dan David Wayne. Mochtar Lubis seolah-olah meminta pembaca menyaksikan segala kebobrokan yang terjadi dalam pemerintahan rezim Soekarno. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Mochtar Lubis dalam kata pengantarnya bahwa penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan rezim Soekarno dan banyak orang Indonesia saat itu telah mengkhianati cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Linus Suryadi A.G. juga telah membuat resensi Maut dan Cinta yang dimuat dalam majalah Gelora Mahasiswa, Yogyakarta (1977). Linus mengungkapkan bahwa masalah yang ditimbulkan oleh revolusi suatu bangsa sangat kompleks karena melibatkan semua kegiatan kehidupan dari rakyat jelata sebagai kekuatan utama sampai ke lembaga-lembaga darurat sebagai kekuatan pokok. Tokoh Sadeli bisa dikatakan sebagai prototipe manusia Indonesia ideal yang dicita-citakan Mochtar Lubis.
Artikel yang ditulis oleh Gunoto Saparie, "Nilai-Nilai Sosial Budaya dalam Maut dan Cinta Mochtar Lubis", dalam Merdeka Minggu, 19 Agustus 1984 telah mengungkapkan semangat dan watak hidup masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh kekerasan hidup sebelum masa revolusi. Mochtar Lubis sebagai pengarang telah menggali nilai-nilai sosial-budaya masyarakat saat itu sehingga mampu memberikan kesegaran dalam corak sastra Indonesia saat itu. Selain itu, Maut dan Cinta telah menghadirkan kekayaan budaya beberapa masyarakat lengkap dengan ciri-ciri wataknya, simbol dan ungkapan yang diambil dari kehidupan mereka.
Cinto Nasution, FKSS, IKIP Medan menulis artikel berjudul "Nilai Didaktis dalam Novel Maut dan Cinta" yang dimuat dalam majalah Waspada, 19 September 1981. Artikel tersebut menyoroti pelaku utama, Sadeli, dan peranannya yang mengandung nilai-nilai didaktis yang dapat menjadi teladan dan manfaat bagi pembaca. Sadeli adalah tokoh yang bijaksana dan tegas dalam menjalankan tugas, mempunyai hati mulia, pemaaf dan bukan pendendam. Th. Sri Rahayu Prihatmi (1977) mengemukakan bahwa Maut dan Cinta benar-benar merupakan peringatan bagi siapa pun yang sedang berkuasa. Novel tersebut menunjukkan betapa para pejuang revolusi begitu percaya akan kejujuran dan ketulusan para pemimpin. Seseorang yang begitu menghayati arti revolusi, seperti Mochtar Lubis, tragisnya, berkali-kali menjadi korban para penguasa. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika Mochtar Lubis menyatakan sikap bahwa sikap feodal yang tidak mau dikritik masih kuat melekat pada manusia Indonesia. Ia adalah korban sikap tersebut. Walaupun ia sudah menderita dipenjara, ia tetap berani mengritik. Kekuatan mental seperti itu sebaiknya dimiliki oleh seorang pengritik.
Menurut Gunoto Saparie (1977), Mochtar Lubis menunjukkan kelebihannya dengan memaparkan situasi kejiwaan dan fisik tokoh-tokohnya dipandang dari sudut psikologi, seperti perubahan tokoh Umar Yunus yang tiba-tiba menyadari dosa-dosanya setelah terlibat dalam sebuah pertempuran dan perubahan Ali Nurdin yang tiba-tiba menjadi "senjata revolusi" setelah kematian kekasihnya padahal dulunya ia pemalu dan introvert. Tampaknya Mochtar Lubis menyukai psikoanalisa dalam menampilkan motif-motif tindakan tokoh-tokohnya. Slamet Sukirnanto (1971) berpendapat bahwa novel Maut dan Cinta adalah suatu epos revolusi dan kisah petualangan besar yang penuh ketabahan, keberanian, keuletan, dan pertarungan. Novel tersebut mengisahkan ketabahan, keberanian, keuletan, dan pertarungan tokoh Mayor Sadeli yang ditugaskan oleh komandannya untuk menerobos barikade Belanda menuju Singapura.
Ahmad Zaini Nasution (1980) berpendapat bahwa Maut dan Cinta telah merekam garis besar sejarah revolusi kemerdekaan sejak bulan pertama proklamasi sampai penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Menurut Ahmad, novel tersebut sangat menarik karena beberapa dialog yang mengharukan antara Sadeli dan David Mayne di Hongkong, percakapan akrab dua sahabat dari dua bangsa yang tadinya berjauhan tetapi dipertemukan oleh persamaan sikap dan pandangan hidup. Ras Siregar (1978) mengungkapkan bahwa Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis memiliki pesan bahwa kemerdekaan bangsa berarti mengorbankan apa saja dan setelah perjuangan tersebut berhasil, maka seluruh rakyat akan mengenyam keadilan yang merata, baik secara materi maupun moral.