Masyitoh merupakan drama karya Ajip Rosidi yang mulanya berbentuk karya pentas. Drama tersebut diterbitkan sebagai buku pertama kali oleh Pustaka Jaya tahun 1962 sampai dengan cetakan IV tahun 2008. Pada tahun 1968 pernah pula diterbitkan di Jakarta oleh Gunung Agung dan cetakan II diterbitkan tahun 1976.
Masyitoh pertama kali dimainkan di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta, pada tanggal 21 Maret 1965. Penyelenggara pementasan adalah Yayasan Kebudayaan Indonesia dengan bantuan Studiklub Teater Bandung (STB) dan Akademi Teater dan Film (ATF) Bandung dalam rangka malam drama KIAA (Konferensi Islam Asia—Afrika) tahun 1965. Pertunjukan tersebut diselenggarakan pula di Bandung pada bulan Maret 1956 dan Cirebon (di Alun-Alun) pada Juni 1965.
Drama sebanyak tiga babak tersebut dapat dibaca sebagai novel ("berbentuk novel", Ajip Rosidi) dan bahan cerita berdasarkan sebuah tradisi Islam. Karya drama Islami ini sebelumnya ditulis dalam bahasa Sunda tahun 1963 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk keperluan pementasan "Malam Drama" KIAA 1965. Edisi bahasa Sunda cetakan I terbit tahun 1963 oleh Cupu Manik, cetakan II oleh Pustaka Dasentra tahun 1984, dan cetakan III oleh Kiblat Buku Utama tahun 2005.
Tema Masyitoh adalah usaha pemertahanan kebenaran agama yang digambarkan oleh tokoh perempuan bernama Masyitoh. Sekalipun ia harus menerima konsekuensi kematian di tangan penguasa tiran, Firaun, Masyitoh tetap mempertahankan martabat manusia terhadap perendahan diri untuk melakukan pemujaan terhadap sesama mahluk yang mengaku diri sebagai Tuhan. Ajip Rosidi, sebagai penulis, menginformasikan bahwa semula timbul kekeliruan penafsiran atas cerita ini yang sengaja dibuat oleh penjajah, demi memperkuat dominasinya di tanah jajahan. Ajip mengritik anggapan orang terhadap kisah Masyitoh pada masa lalu yang hanya membesar-besarkan kerelaan pengorbanan tersebut. Menurut Ajip, "Kerelaan Masyitoh berkurban, yang mempunyai tenaga luar biasa untuk membangkitkan kesadaran dan semangat umat Islam dalam menegakkan serta membela hak Allah dan martabat manusia itu, dikorup menjadi kerelaan berkurban demi impian-impian rendah perseorangan: memimpikan surga yang bersemangat fatalisme dan berjiwa sumuhun dawuh serta mengharap kebahagiaan akhirat kelak yang mesti dibeli oleh kesengsaraan dan penderitaan dunia kini." Masyitoh adalah suara hati nurani yang akan memberikan kekuatan kepada penegak dan pencari kebenaran ketika pemegang kekuasaan membungkam kebenaran.