"Nyai Lenggang Kencana" merupakan drama karya Armijn Pane yang pertama kali diumumkan dalam Poedjangga Baroe, No. II, Tahun VI, Mei 1939. Armijn Pane menyatakan dalam tanda kurung "Menoeroet pokok karangan M.A. Salmoen dalam bahasa Soenda." Pengakuan ini menunjukkan bahwa Armijn menyadur naskah drama ini. Redaksi Pujangga Baru juga memberikan catatan tertulis, "Soedah dimainkan: "Soeara Moeda" dimicrofon Nirom ketimoeran, pada achir boelan Desember 1938 dan oleh Pergoeroean Rakjat dalam boelan Januari 1939." Drama tersebut kemudian digabungkan dengan enam drama lainnya dan diterbitkan dalam satu buku berjudul Djinak-Djinak Merpati (Balai Pustaka, 1953). Di dalam kumpulan drama tersebut terdapat tujuh drama, yaitu (1) "Lukisan Masa", (2) "Njai Langgeng Kantjana", (3) "Setahun di Bedahulu", (4) "Kami, perempuan", (5) "Djinak-djinak Merpati (Hantu Perempuan)", (6) "Antara Bumi dan Langit (Kemuning diwaktu Dahulu)", dan (7) "Barang Tiada Berharga".
Tokoh utama dalam drama "Nyai Lenggang Kencana" adalah Nyai Lenggang Kencana, putri Prabu Siliwangi. Tokoh wirawannya adalah Munding Sari, seorang pahlawan kerajaan yang berasal dari desa yang terkenal keberaniannya. Sastra drama ini menggambarkan suka duka percintaan antara Munding Sari, seorang pemuda keturunan rakyat jelata, dan Nyai Lenggang Kencana, seorang putri keturunan raja. Perbedaan status sosial itu tidak menghalangi percintaan mereka yang dibangun oleh rasa saling membutuhkan walaupun mengalami kebimbangan sehingga hampir melunturkan sifat kepahlawanan Munding Sari.
Munding Sari mendapat tugas dari Raja Pajajaran untuk berperang melawan Tejamaya yang mendurhakainya. Ketika mendapat tugas itu, Munding Sari bimbang karena berita bahwa Nyai Lenggang Kencana hendak ditunangkan dengan Rangga Sena, seorang raja muda dari Kerajaan Galuh. Munding Sari yang mencintai Nyai Lenggang Kencana mengadukan nasibnya kepada Batari Durga. Ketika Munding Sari masih menghadap Kyai Martani yang membantunya menghilangkan kebimbangan hatinya di depan patung Batari Durga, Nyai Lenggang Kencana datang ke tempat itu. Ia pun memuja dan mengadukan nasibnya kepada Batari Durga. Nyai Lenggang Kencana yang tak menyadari keberadaan Munding Sari di tempat itu pun mengungkapkan isi hatinya kepada Batari Durga bahwa ia tidak mencintai Rangga Sena karena hatinya sudah terlanjur mencintai Munding Sari. Perkataannya itu didengar oleh Munding Sari. Keduanya lalu berjanji di depan patung Batari Durga untuk saling mencintai dengan penuh kesetiaan. Munding Sari merasa lega dan bersungguh hati maju ke medan perang untuk mengalahkan Tejamaya.
Rangga Sena datang melamar Nyai Lenggang Kencana. Prabu Siliwangi menerima lamaran itu karena Kerajaan Galuh dan Pajajaran harus bersatu menghadapi Majapahit. Prabu Siliwangi murka kepada Munding Sari karena mendengar laporan dari Timbang Daru bahwa putrinya mencintai Munding Sari dan mereka saling memadu cinta di Taman Keputrian. Meskipun demikian, Raja tetap sayang kepada Munding Sari karena pandai bersilat dan memainkan pedang sehingga selalu menang dalam pertempuran. Sementara itu, Nyai Lenggang Kencana mengalami pergumulan batin yang amat berat. Hatinya bimbang karena ia sangat benci kepada Rangga Sena, tetapi nasib kerajaan ayahandanya bagaikan di ujung tanduk. Pajajaran dan Galuh harus bersatu supaya kuat dalam menghadapi Majapahit. Nyai Lenggang Kencana akhirnya rela berkorban demi keselamatan negerinya.
Munding Sari terkejut ketika mendengar berita bahwa kekasihnya menerima lamaran Rangga Sena demi bakti kepada kerajaan. Munding Sari menganggap bahwa Nyai Lenggang Kencana telah ingkar janji dan mempermainkan dirinya. Ia berniat akan membunuh Rangga Sena dan memberontak kepada Raja. Nyai Lenggang Kencana mencegah maksud Munding Sari demi cinta mereka berdua. Jika Munding Sari memberontak, ia akan dianggap mendurhakai raja sehingga ia akan ditangkap dan dibunuh. Cinta mereka akan hancur berantakan. Biarlah Nyai Lenggang Kencana mengorbankan cintanya, asalkan nama Munding Sari masih tetap disebut-sebut orang. Namun, bagi Munding Sari—yang sudah putus asa, keharuman namanya sudah tidak berguna. Dalam kedukaan dan kehancuran hatinya yang sangat dalam itu, Munding Sari menghunus kerisnya hendak bunuh diri. Akan tetapi, tiba-tiba ia berkata dengan tegar, "Masakan Pahlawan Pajajaran runtuh karena perempuan."
Brahim (1968) mengategorikan drama Nyai Lenggang Kencana ini sebagai drama sejarah sebab bahan cerita drama tersebut berupa peristiwa sejarah yang terjadi di daerah Pasundan, yaitu Kerajaan Pajajaran dengan Prabu Siliwangi sebagai rajanya. Brahim juga mengungkapkan ihwal kaitan pengajaran drama dengan dunia pendidikan. Kajiannya mencakup persoalan dan tema, alur dan konflik, suasana drama dan filsafat hidup yang terungkap dari Nyai Lenggang Kencana serta watak para pelaku. Sementara itu, Puji Santosa et al (1993) mengkaji hubungan manusia dengan berbagai aspek kehidupan yang dapat menampilkan citra diri manusia itu. Konflik batin yang terjadi pada diri manusia, baik Lenggang Kencana maupun Munding Sari, terjadi akibat kegelisahan hati dan kegalauan pikiran dalam menentukan pilihan yang sama-sama beratnya.