Nyai Dasima merupakan cerita yang sangat populer pada masa sebelum perang. Kepopuleran cerita itu dibuktikan dengan dijadikannya cerita itu sebagai bahan pementasan berbagai pertunjukan sandiwara pada masa itu.
Nyai Dasima mengisahkan kehidupan seorang nyai bernama Dasima yang dipelihara oleh tuannya bernama Edward W. Seorang warga Inggris. Dasima diceritakan hidup berbahagia bersama tuannya sampai memiliki seorang anak perempuan bernama Nancy. Harta kekayaan sang tuan juga sebagian dipercayakan kepada nyainya itu. Dasima adalah perempuan yang kaya dan cantik. Oleh sebab itu, banyak laki-laki Islam (slam, dalam istilah yang dipakai oleh G. Francis) menginginkannya menjadi istri, tetapi semuanya ditolak oleh sang nyai karena cintanya yang teramat sangat kepada tuannya.
Suatu ketika ada seorang laki-laki Islam bernama Samioen—laki-laki itu disebutkan sebagai seorang penadah barang-barang curian dan pelaku berbagai macam kejahatan—tertarik pula kepadanya. Samioen memiliki siasat yang berbeda dengan yang lain. Ia menyuruh seorang perempuan tua bernama Ma Boejoeng untuk pura-pura menjadi pembantu sang nyai. Dengan menjadi pembantu Sang Nyai, perempuan tua itu berhasil membujuk sang nyai untuk belajar agama Islam. Dikatakan oleh Ma Boejoeng bahwa Nyai Dasima sudah berdosa karena telah menjadi "piaraan" tuannya. Disebutkan oleh perempuan tua itu bahwa Nyai Dasima sudah melakukan zina. Dengan bertopengkan agama Islam dan bekerja sama dengan Haji Salihun, Samioen berhasil membujuk dan memperdayai Nyai Dasima hingga ia membenci tuannya.
Dasima akhirnya menikah dengan Samioen dan menjadi istri keduanya. Semua hartanya dikuasai oleh Samioen dan Dasima menjadi budak istri pertama Samioen dan emaknya. Karena mendapatkan perlakuan seperti itu, Dasima mengancam Samioen akan dilaporkan kepada tuannya. Laki-laki itu merasa terancam. Ia berencana membunuh Dasima. Sebelum membunuh, ia ragu-ragu dan datang kepada gurunya. Sang guru mengatakan tidak apa-apa membunuh, tidak berdosa. Dosanya akan hilang setelah ia pergi ke Mekkah dan berhaji di sana. Dasima dibunuh oleh orang suruhan Samioen bernama Poesa dan mayat Dasima dibuang ke kali. Mayat Sang Nyai hanyut sampai di belakang rumah tuannya. Sang tuan sangat sedih dan peristiwa itu dilaporkan ke polisi. Peristiwa kejahatan itu terungkap dan Samioen ditangkap polisi.
Nyai Dasima dapat digolongkan sebagai karya sastra Indonesia yang terbit sebelum masa Balai Pustaka. Selain cerita Nyai Dasima pada masa itu, juga terbit cerita-cerita lain yang bertemakan persoalan "pernyaian", misalnya cerita yang berjudul Nyai Alimah yang ditulis oleh Oei Soei Tiong dan Nyai Ratna yang ditulis R.M. Tirto Adi Soerjo. Cerita-cerita tentang "nyai" biasanya berbentuk cerita kriminal tentang berbagai kejahatan yang terjadi pada masa itu. Hal tersebut terjadi karena kisah-kisah tersebut ditulis oleh wartawan dan berasal dari liputannya di pengadilan-pengadilan yang sedang menyidangkan berbagai kejahatan. Kasus-kasus kejahatan yang diangkat ada yang sangat populer, seperti kisah Nyai Dasima, sehingga dapat dikatakan bahwa kisah-kisah tersebut merupakan salah satu bentuk kisah-kisah rumor dan gosip yang beredar di masyarakat luas yang kemudian karena ketenarannya dibukukan.
Itulah yang menjadi sebab cerita Nyai Dasima sulit dicari bentuk asalnya dan keterangan siapa yang menuliskannya pertama kali. Naskah awal ditemukan ditulis oleh G. Francis, tetapi naskah tersebut tidak jelas berasal dari mana. Dalam bentuk prosa tertulis, ada keterangan bahwa karya itu ditulis oleh G. Francis. Pramoedya Ananta Toer dalam Tempo Doeloe menyebutkan bahwa cerita itu mungkin berasal dari syair cerita dengan latar kejadian tahun 1913 (1813) di Betawi dalam buku Njaie Dasima yang ditulis oleh O.S. Tjiang, terbitan Jap Goan Ho tahun 1897, atau berasal dari syair cerita kejadian dengan latar kejadian tahun 1813 di Betawi dalam buku Njai Dasima yang ditulis oleh Lie Kimhok.
Dari keterangan Pramoedya tersebut, Nyai Dasima berbentuk sajak, tetapi G. Francis, yang dikatakan sebagai penulis Nyai Dasima, menerbitkan karyanya dalam bentuk prosa pada tahun 1896 (diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie & Co di Betawi) dan mengalami cetak ulang yang kedua pada tahun 1930 (diterbitkan oleh Druk FO Camoni di Batavia). Pramoedya Ananta Toer kemudian menerbitkan cerita itu kembali dalam kumpulan Tempoe Doeloe tahun 1982. Dalam kumpulan Tempo Doeloe disebutkan oleh Pramoedya bahwa Nyai Dasima berasal dari cerita populer berbentuk lakon karena dipanggungkan oleh komedi bangsawan, komidi stambul, dan rombongan Miss Ribut yang disebutkan telah mementaskan lakon itu sebanyak 127 kali.
Nyai Dasima yang ditulis oleh G. Francis disebut sebagai karya antimuslim yang pada masa itu berarti antipribumi. Untuk Nyai Dasima yang dipentaskan, nada itu dihilangkan begitu pula dengan Nyai Dasima yang ditulis kembali oleh S.M. Ardan yang terbit pada tahun 1964. Selain berbentuk prosa dan dipentaskan sebagai sandiwara, Nyai Dasima juga difilmkan. Film pertama yang dibuat berdasarkan cerita Nyai Dasima adalah film yang dibuat oleh Tan bersaudara pada tahun 1919 dan 1930 dengan para pemain Indonesia dan Indo-Eropa. Film Nyai Dasima berikutnya dibuat tahun 1940 oleh JIF dengan bintang Moh. Mochtar, Hadidjah, S. Soekarti, dan Bissoe. Film ketiga dibuat pada tahun 1970 oleh Chitra Dewi Film Production dengan judul Samiun dan Dasima yang dibintangi oleh Chitra Dewi, W.D. Mochtar, Sofia W.D., Wahid Chan dan Fifi Young.