Pariksit merupakan kumpulan sajak pertama Goenawan Mohamad yang diterbitkan pada tahun 1971 oleh Litera, Jakarta, setebal 32 halaman. Kumpulan sajak itu terbit atas desakan kawan-kawan Goenawan Mohamad karena ia seorang penyair yang rendah hati dan segan menampilkan diri. Pada tahun 2001, sajak-sajak Goenawan dalam Pariksit diterbitkan kembali oleh Metafor Publishing, Jakarta, dengan judul Sajak-Sajak Lengkap 1961—2001 yang menghimpun semua sajak Goenawan selama empat puluh tahun kepenyairannya.
Sajak-sajak yang ada dalam Pariksit adalah "Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi", "Hari Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang", "Senja pun Jadi Kecil Kota pun Jadi Putih", "Gemuruh Laut Malam Hari", "Internasionale", "Lagu Hujan", "Berjaga Padamukah Lampu-lampu Ini, Cintaku", "Lagu Pekerja Malam", "Nina Bobo", "Malam Susut Kelabu", "Di Muka Jendela", "Ranjang Pengantin", "Bintang Kemukus", "Asmaradana", "Surat Cinta", "Kepada Kota", "Di Kota Ini, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam", "Kwatrin Musim Gugur (I)", "Kwatrin Musim Gugur (II)", "Kwatrin Musim Gugur", "Meditasi", "Z", "Tahun pun Turun Membuka Sayapnya", "Pariksit", dan "Dingin Tak Tercatat".
Sebagian sajak dalam kumpulan Pariksit telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah sastra Horison, seperti "Asmaradana" dan "Parikesit" yang bertolak dari mitologi Jawa, yakni dunia pewayangan. "Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi" telah diparodikan oleh Yudhistira Ardi Noegraha menjadi "Di Beranda Ini, Mohamad Pariksit, Telah Jadi Logam" (1975).
Pariksit menjadi kumpulan sajak yang penting dalam peta persajakan Indonesia karena cukup banyak kritikus yang meresponsnya. Misalnya, M.S. Hutagalung berpendapat bahwa sajak Goenawan Mohamad memancarkan kekuatan intelektual, tetapi sajak-sajaknya tidak terasa dingin dan kering. Burton Raffel (1968) menyatakan bahwa sajak-sajak Goenawan memiliki tenaga gaib, keagungan dari sebuah 'nyanyi murni'.