Para Priyayi merupakan novel karya Umar Kayam yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Pustaka Utama Grafiti dan cetakan kedua tahun 1992 oleh penerbit yang sama. Novel ini ditulis oleh Umar Kayam di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat dan selesai ditulis tanggal 14 Februari 1991.
Novel ini mengungkapkan perjalanan panjang seorang anak petani untuk mencapai status sebagai priyayi atau masuk ke dalam dunia priyayi. Kayam mengungkap penjelasannya tentang priyayi dalam konsep budaya Jawa melalui lakuan-lakuan tokoh tentang dirinya, asalnya, lingkungannya, dan cita-citanya. Seperti beberapa karya Kayam terdahulu, Para Priyayi juga sarat dengan warna lokal budaya Jawa. Budaya Jawa yang dihadirkan Kayam tidak hanya sebatas latar cerita, tetapi juga sebagai wadah penyampaian nilai-nilai filosofis budaya Jawa tersebut sehingga kosa kata bahasa Jawa yang memuat konsep kejawaan dan nilai-nilai yang terkait dengan wayang bertebaran dalam novel.
Penyampaian nilai-nilai filosofis budaya Jawa dilakukan Kayam dengan menampilkan tokoh-tokoh yang bersikap sesuai dengan perannya. Oleh karena itu, pembaca yang berlatar belakang budaya Jawa akan memahami sikap tokoh yang berkarakter Jawa, seperti sifat sumarah, sabar, dan nrimo. Sementara itu, alur cerita—sebagai wadah penyampaian cerita—berjalan lurus dengan urutan peristiwa yang sangat runut.
Novel Para Priyayi ini diawali dengan gambaran kota Wonogalih, tempat tinggal keluarga Soedarsono. Kayam secara rinci menggambarkan keadaan kota Wonogalih itu, seperti pendopo Kabupaten Wonogalih dengan segala kemegahannya, alun-alun di depan pendopo tersebut, serta pohon asam yang tumbuh di sekitarnya. Selain itu, Kayam juga melukiskan kehidupan kota Wonogalih yang ditandai dengan kebiasaan para pensiunan untuk bertemu dan berjalan-jalan pagi.
Selanjutnya, cerita beralih pada kisah hidup Soedarsono yang berhasil meraih cita-citanya untuk menjadi guru desa. Soedarsono berasal dari keluarga petani di Kedungsimo. Ia sangat diharapkan oleh segenap sanak saudaranya untuk dapat mengubah taraf hidup mereka, dari keluarga petani menjadi keluarga priyayi. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten Kedungsimo, Soedarsono dapat bersekolah dan menyelesaikan pendidikannya. Setamat dari sekolah guru, ia bekerja sebagai guru bantu. Tidak berapa lama menjadi guru bantu, Soedarsono diangkat menjadi guru desa. Dari sinilah sebenarnya Soedarsono mulai memasuki kalangan priyayi. Karier Soedarsono terus meningkat. Ia kemudian diangkat menjadi mantri guru di Sekolah Desa Karangdompol.
Sastrodarsono atau Soedarsono adalah anak Mas Atmokasan, seorang petani desa Kedungsimo. Ia menikah dengan Ngaisah dan dikaruniai tiga orang putra, yaitu Noegroho, Hardjono, dan Soemini. Keinginan untuk meningkatkan status keluarga dari petani menjadi priyayi merupakan cita-cita Soedarsono dan keluarganya. Meskipun sukses mengangkat martabat keluarganya, Soedarsono tidak melupakan asal-usulnya. Untuk menunjang kehidupan keluarganya, Soedarsono pun mengolah lahan pertaniannya meskipun ia tidak terjun langsung. Hal itu dilakukannya karena ia beranggapan bahwa rumah tangga priyayi tidak boleh bergantung sepenuhnya pada gaji yang diberikan pemerintah. Ia dihargai bukan karena kekayaannya, melainkan karena kepandaiannya.
Di samping membesarkan ketiga anaknya, Soedarsono juga menampung keponakan-keponakannya, Noegroho, Hardojo, dan Soemini. Mereka disekolahkan di HIS Wonogalih. Selepas HIS, Noegroho dan Hardojo dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool dan HIK. Sementara itu, Soemini disekolahkan ke Sekolah Deventer Solo. Setelah lulus dari HIK, Noegroho menjadi anggota PETA. Pada zaman revolusi ia menjadi tentara dengan pangkat letnan kolonel. Setelah tidak menjadi tentara, ia pindah ke Jakarta dan menjadi pejabat penting di salah satu departemen. Meskipun berhasil dalam karier, Noegroho digambarkan sebagai orang yang gagal dalam membina keluarga. Anak perempuan yang semata wayang hamil di luar nikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri.
Hardojo, setelah tamat HIK di Yogyakarta, menjadi guru di Wonogiri. Pada zaman revolusi, ia pindah ke Yogyakarta dan menjadi pegawai. Anak satu-satunya, Harimurti, gagal dalam pendidikannya. Ia malah terlibat dalam sebuah organisasi kiri. Sementara itu, Soenandar—keponakan Soedarsono—selalu membuat malu keluarga. Terakhir, ia menghamili seorang gadis ketika diserahi tugas membantu di sebuah sekolah desa. Soenandar lari dari tanggung jawabnya dan bergabung dengan komplotan perampok. Ia tewas ditembak polisi. Ngadiyem, gadis yang dihamilinya, melahirkan anak laki-laki yang bernama Wage yang diasuh oleh Soedarsono. Soedarsono mengganti nama Wage menjadi Lantip.
Kegagalan keluarga Soedarsono membangun keluarga priyayi sedikit terobati dengan kehadiran tokoh Lantip. Kayam selanjutnya menempatkan tokoh Lantip sebagai pengemban makna priyayi tersebut. Priyayi dalam keluarga Soedarsono tidak lebih dari sebatas status sosial dan berkaitan dengan profesi seseorang. Keluarga Soedarsono justru menempatkan priyayi itu secara harfiah, dalam arti bahwa priyayi sebagai status sosial tertentu. Mereka gagal menempatkan diri sebagai priyayi yang sesungguhnya. Namun, Lantip—meskipun seorang anak yang lahir di luar nikah—berhasil menempatkan diri sebagai sosok priyayi sejati dan menyelamatkan dinasti Soedarsono.
Sisi lain yang menarik dari novel ini adalah teknik bercerita yang digunakan Umar Kayam. Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama "saya" sebagai pencerita. Akan tetapi, pencerita "saya" tidak hanya mewakili satu tokoh, tetapi mewakili beberapa tokoh. Tokoh "saya" pada bagian pertama mengacu pada Lantip, sedangkan pada bagian berikutnya mengacu kepada Sastrodarsono. Tokoh "saya" pada bagian berikutnya berganti-ganti mengacu kepada tokoh Noegroho dan Hardojo. Dengan demikian, Kayam membiarkan para tokohnya untuk berperan sesuai dengan hakikat sang tokoh. Dengan kata lain, Kayam tidak menempatkan dirinya sebagai pengarang yang mahatahu dalam karyanya ini.