Orang Buangan merupakan novel karya Hariyadi S. Hartowardoyo yang lahir dari suasana yang penuh kecurigaan. Novel setebal 185 halaman itu mula-mula berjudul Munafik karena dikaitkan dengan Manipol/Usdek, tetapi akhirnya diganti dengan Orang Buangan karena lebih menekankan masalah perbedaan agama, asal-usul, dan latar belakang sosial, yang bisa berlaku untuk zaman kapan pun.
Ketika masih berupa naskah dan berjudul Munafik, novel yang diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1971 itu adalah pemenang hadiah Sayembara IKAPI Jawa Barat 1967. Novel yang bertemakan kawin campur ini mengisahkan percintaan yang suci antara Tantri dan Hiang Nio, seorang gadis Tionghoa. Keduanya adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran. Namun, karena hambatan dari kedua belah pihak keluarga yang penuh curiga, percintaan itu tidak berjalan mulus. Nenek Tantri yang anti-Cina melarang cucunya kawin dengan wanita Cina dengan alasan bahwa wanita Cina itu "panas", sedangkan keluarga Hiang Nio mempersoalkan perbedaan agama. Hiang Nio beragama Katolik, sedangkan Tantri beragama Islam.
Hubungan Tantri-Hiang Nio yang tidak mulus itu harus disela dengan kepergian Tantri menjalani tugas sebagai guru SD dengan ikatan dinas selama lima tahun sebagai hasil kampanye mahasiswa turun mengajar (turba). Ia dibenum sebagai kepala SD di Dukuh Kedungjero, Karangdawa, Pegunungan Kendeng, Jawa Barat tanpa memberi tahu Hiang Nio sehingga pacarnya itu menduga Tantri melarikan diri. Di desa yang masih sangat terbelakang itulah kehadiran Tantri di satu segi mendapat banyak simpati masyarakat desa sehingga ia dicintai oleh Ijah si bunga desa yang cantik. Akan tetapi, dari segi lain justru meresahkan pemuda setempat, termasuk Jolodong yang mencintai Ijah. Usaha untuk melenyapkan Tantri, termasuk menyogok dengan sejumlah uang, pernah dilakukan Jolodong terhadapnya. Namun, Tantri yang tegar dan teguh pada prinsip itu lebih suka menjadi "Orang Buangan" daripada menerima sogokan agar pindah ke desa lain. Jolodong yang kesulitan mengusir Tantri menduga bahwa Tantri dapat bertahan karena ia mempunyai ilmu sihir. Oleh sebab itu, Tantri harus dikalahkan. Untuk itu, keluarga Jolodong menyewa Kyai Kasan Jamil, seorang dukun santet yang masyhur. Namun, bersamaan dengan itu muncul wabah penyakit yang menewaskan Jolodong sendiri.
Cerita dibuka dengan kematian Jolodong tepat di tengah pesta perkawinannya dengan Ijah ketika keduanya akan dipertemukan. Kematian Jolodong yang mengejutkan itu menimbulkan tuduhan bahwa Tantri telah menyantetnya karena cemburu. Celakanya, hal itu juga dipercaya oleh rekan-rekan guru di sekolahnya sehingga bukan dukungan yang diperoleh, melainkan tetapi pelecehan. Untungnya, Tantri yang tegar ini mampu menepis semua tuduhan, bahkan ia berhasil menunjukkan bahwa kematian Jolodong itu karena wabah penyakit. Hal itulah yang membuat Tantri berusaha memberantas guna-guna yang marak di desa itu. Usahanya itu menyebabkan matinya Kyai Kasan Jamil yang berusaha membunuhnya.
"Kehebatan" Tantri yang melebihi Kyai Kasan Jamil menarik perhatian orang-orang partai di desa itu sehingga mereka membujuk Tantri mendukung perjuangan mereka. Sudah tentu Guru Tantri menolak ajakan orang-orang munafik tersebut. Selanjutnya, Tantri melaporkan gejala-gejala penyakit yang mewabah itu pada dinas kesehatan sehingga didatangkan serombongan tenaga medis ke dusun itu, antara lain Hiang Nio yang pada waktu itu telah menjadi dokter. Ijah akhirnya mengetahui hubungan Tantri dengan Hiang Nio, sedangkan yang terakhir menyadari perasaan gadis dusun itu terhadap Tantri, apalagi Ijah dalam keadaan sakit yang gawat.
Hiang Nio yang terlibat dengan masalah "antara tugas dan cinta" akhirnya berhasil juga menyelamatkan nyawa Ijah. Sangatlah mengharukan ketika Hiang Nio memberikan loyalitas terbesar yang bisa diberikan oleh seorang gadis, yaitu demi cinta Ijah yang begitu tulus terhadap Tantri, Hiang Nio bersedia untuk mundur. Hal itu dijawab oleh Tantri bahwa cinta dan kasihan itu lain. Kesudahan cerita ini adalah kematian Ijah yang membiarkan dirinya keracunan wabah untuk kedua kalinya karena sadar bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi.
Ramadhan, Kompas, 3 Desember 1970, menyatakan bahwa orang yang tidak ikut serta dalam kegiatan politik waktu itu selalu diasingkan dalam masyarakat dan dikambinghitamkan, kata Harijadi "tiada suatu penilaian apa pun terhadap moral sehingga orang yang nonpolitik ini seolah tidak mempunyai hak hidup lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia waktu itu. Ini kelihatan sekali pada orang-orang bekas anggota parpol yang dibubarkan waktu itu dan paksaan-paksaan terhadap orang-orang yang bergerak dalam bidang social yang tidak bersifat politik untuk memilih pihak."