Olenka merupakan sebuah novel karya Budi Darma. Novel itu diterbitkan oleh Balai Pustaka pada bulan Maret 1983, setebal 183 halaman (cetakan I). Pada tahun 2009, Balai Pustaka menerbitkan cetakan yang ke-9 dengan tebal buku 264 halaman.
Novel lenka ditulis Budi Darma pada akhir tahun 1979. Setelah novel itu terbit, Olenka mendapat sambutan yang baik karena dianggap membawa pembaruan terutama dalam teknik penceritaannya. Novel ini terdiri atas tujuh bagian. Setiap bagian ditandai dengan huruf Romawi. Bagian pertama terdiri atas 23 subbagian, bagian kedua terdiri atas 6 subbagian, bagian ketiga terdiri atas 4 subbagian, bagian keempat terdiri atas 4 subbagian, bagian kelima, keenam, dan ketujuh terdiri atas 1 subbagian. Di samping itu, pengarang juga menampilkan tempelan-tempelan gambar yang berangka tahun 70-an.
Olenka menceritakan kisah hidup Olenka dan Fanton Drummon. Pertemuan Fanton Drummon dan Olenka terjadi di sebuah lift Apartment Tulip Tree, Bloomington, Amerika. Mereka lalu berkenalan. Fanton selalu dibayang-bayangi wajah Olenka. Akhirnya, Fanton mengetahui Olenka sudah mempunyai suami dan anak. Hubungan Olenka dan keluarganya (suami dan anaknya) tidak harmonis. Suatu waktu Fanton pun berkenalan dengan suami dan anak Olenka, bahkan Fanton menolong suami Olenka mencari pekerjaan. Lama-kelamaan Fanton dan Olenka menjalin hubungan percintaan. Fanton merasa berbuat dosa karena selama ini hubungan percintaanya dengan Olenka sangat bebas. Di sisi lain, ia merindukan hangatnya kehidupan sebuah keluarga. Oleh karena itu, ia ingin menikah dengan Olenka, tetapi Olenka menolaknya. Bahkan, Olenka pergi meninggalkannya.
Dalam perjalanan mencari Olenka, Fanton jatuh cinta pada M.C. Dan, sewaktu Fanton melamar M.C., gadis itu menolaknya karena M.C. merasa hanya sebagai gadis "perantara". Selang beberapa lama, Fanton bertemu kembali dengan M.C. yang sudah cacat karena kecelakaan pesawat. Fanton meminang M.C. kembali, tetapi M.C. tetap menolaknya. Pada kesempatan lain, Fanton mendapat surat panjang dari Olenka. Surat itu menceritakan perjalanan hidup Olenka dari kecil hingga dewasa. Fanton pun jatuh cinta kembali pada Olenka, ia pun terus menelusuri jejak perempuan itu. Suatu waktu Fanton membaca berita bahwa Olenka telah memalsukan lukisan dan masuk rumah sakit karena kebanyakan minum obat. Sayang, akhirnya Fanton tidak menjumpai Olenka.
Gagasan pokok yang disorot pengarang dalam Olenka adalah masalah dosa yang menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Tokoh-tokohnya pun tidak lagi terikat pada formalitas agama. Hati nurani merupakan ukuran keimanan seseorang.
Berbagai prestasi diperoleh Olenka. Olenka menjadi pemenang hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980. Tahun 1983 novel tersebut berhasil memperoleh hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1984 melalui Olenka pula Budi Darma meraih Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award).
Olenka juga mendapat banyak tanggapan. Mahayana dkk. (1992) berpendapat bahwa pengarang mempergunakan bentuk pencerita akuan dengan tokoh Fanton yang bertindak sebagai pencerita dan sekaligus tokoh utama. Melalui surat-surat baik yang ditulis oleh Fanton maupun Olenka, pembaca mengetahui pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya. Panuti Sudjiman mengulas teknik penceritaan Olenka yang menggunakan teknik penceritaan kolase.
Wawan IL (1986) membahas Olenka sebagai tokoh collage. Wawan mengacu pada pendapat Umar Junus yang berpendapat bahwa collage adalah pengacauan antara kenyataan dan imajinasi. Pengacauan terjadi antara pelaku nyata dan pelaku yang hanya dalam imajinasi atau antara perbuatan nyata dan perbuatan dalam imajinasi. Dengan mengetengahkan bagan peristiwa dan bagan gambar dalam Olenka, Wawan secara lebih luas membahas Olenka dari segi collage. Menurut Wawan, novel Olenka bukan saja "menipu" pembaca dengan gayanya yang khas melainkan juga "melayani pembaca" dengan gambar-gambar yang diambil dari meia massa setempat. Gambar itu bukan sekadar tempelan, melainkan juga ada relevansinya dengan tokoh Olenka sebagai collage. Anakronisme dalam gambar merupakan unsur pendukung Olenka sebagai tokoh collage. Artinya, penempatan gambar mendahului kehadiran kejadian atau peristiwa yang sebenarnya dalam alur teks hanya dua buah. Olenka sebagai tokoh collage sebenarnya telah diisyaratkan pada awal novel, misalnya Fanton secara tidak sengaja bertemu dengan seorang wanita di dalam lift, dan dalam suatu pertemuan akrab yang pertama antara Olenka dan Fanton, Olenka merasa pernah bertemu dengan Fanton sebelumnya.
Nirwan Dewanto (1985) menulis "Antara Budi Darma dan Gabriel Garcia Marquez, Kreativitas dan Pengalaman". Dewanto berpendapat, antara lain, bahwa Budi Darma sangat tepat dalam memilih latar untuk tokoh-tokohnya. Kalimat-kalimat yang lugas, deskripsi dan narasi yang formal, serta referensi yang luas (bagaikan tulisan ilmiah) menyiratkan bahwa kerja kepengarangan bagi Budi Darma adalah kerja intelektual. Tokoh Wayne Danton dan karakteristik Amerika barangkali mengherankan khalayak pembaca yang bukan Indonesia. Namun, penggarapan tema-tema Bloomington paralel dengan penjelajahan intelektual Budi Darma. Boleh jadi aspirasi Budi Darma memancar dari sumber nonpribumi. Kutipan-kutipan sastra Barat dalam Olenka menyiratkan hal itu. Sementara itu, tokoh Aureliano Buenia dan karakteristik Amerika Latin barangkali mempesona khalayak yang bukan Amerika Latin. Tema-tema Amerika Latin terbayang terus dalam sekian banyak karya Garcia Marquez. Tanpa bosan Marquez menggali khazanah pribumi dan membongkar pengalamaan masa lalunya, tanpa terbebas sama sekali dari khazanah Barat yang telah dijelajahinya selama bertahun-tahun.
Satyagraha Hoerip dalam kesempatan berbicara di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, tanggal 5 Februari 1986, membawakan makalah dengan judul "Beberapa Catatan Mengenai Olenka Karya Budi Darma". Hoerip menyoroti bahasa yang digunakan dalam novel Olenka. Budi Darma memperhatikan dan menjaga bahasa yang digunakan di dalam novelnya. la melahirkan kata-kata dengan bebas, cekatan, seolah-olah tanpa dipikir lagi, meluncur seperti air pancuran. Di samping itu, hal yang mencolok adalah Budi Darma sangat "ringan" mencantumkan kata-kata Jawa tanpa mempertimbangkan pembaca non-Jawa.
Tarman Effendi Tarsyad (1985) berkeyakinan bahwa sebelum Budi Darma menulis atau menyelesaikan Olenka pasti ia telah membaca novel Merahnya Merah, karya lwan Simatupang. Olenka dan Merahnya Merah berangkat dari permasalahan yang sama, yakni (1) bertemunya protagonis dan antagonis, (2) terjalinnya hubungan cinta antara protagonis dan antagonis, (3) menghilangnya antagonis tanpa diketahui oleh protagonis, (4) pencarian protagonis atas antagonis yang menghilang, dan (5) pratagonis mengetahui antagonis, tetapi tidak bertemu.