Penakluk Ujung Dunia merupakan novel yang selesai ditulis oleh Bokor Hutasuhut pada tahun 1960 ketika ia masih berumur 26 tahun dan diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta. Tahun 1988 novel itu diterbitkan kembali oleh PT Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta.
Dengan mengangkat konflik perang antar kampung atau perang antar marga yang terjadi pada masyarakat Batak (baca Natak Toba) di kawasan Danau Toba dari latar waktu zaman sipelebegu 'kepercayaan kepada dewata, alam gaib, dan roh-roh leluhur', novel Penakluk Ujung Dunia membawa isu utama yakni langkah awal persebaran masyarakat Batak Toba keluar dari tanah Batak. Secara keseluruhan novel itu mengangkat kisah masyarakat Batak pada sebuah kerajaan kampong di tanah Batak. Nama-nama tokoh sangat khas Batak. Peristiwa-peristiwa dalam cerita juga mengangkat subkultur Batak, baik yang menyangkut sistem religi maupun konsep-konsep ketuhanan asli Batak dari zaman dulu. Latar tanah Batak novel itu merupakan latar pengarang sendiri. Oleh karena itu, Penakluk Ujung Dunia layak dikatakan sebagai "novel Batak".
H.B. Jassin, Rendra, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo memuji kecerdasan Bokor Hutasuhut dalam menulis Penakluk Ujung Dunia. H.B. Jassin (1966) mengemukakan bahwa plot novel Penakluk Ujung Dunia sangatlah sederhana. Lukisan suasana alam Batak dipaparkan dengan sangat baik hingga membangun unsur romantisme alam. Romantisme alam ini adalah kekuatan tulisan Bokor. Gambaran adat-istiadat sesekali menghadirkan pantun-pantun Batak tradisional. Novel ini juga memperlihatkan potret manusia yang didera kerasnya alam, tetapi kadang mendayu penuh kasih sayang.
W.S. Rendra yang memberikan kata pengantar pada Penakluk Ujung Dunia mengatakan bahwa Bokor Hutasuhut telah selesai melakukan "wawancara" dengan tradisinya dan dengan dinamika modern dari Indonesia raya, lalu duduk dan menulis novel itu. Hidupnya detail-detail lukisannya menjadi pertanda bahwa ia mengerti betul apa yang ia tuliskan.
A. Teeuw (1989) berpendapat bahwa Bokor adalah khas sebagai penulis novel dan cerita-cerita daerah. Sebagian besar tulisannya berisi kenangan-kenangan masa remaja sebagaimana dikisahkan seorang bocah. Penakluk Ujung Dunia merupakan sebuah penuturan ulang cerita rakyat Batak dalam bentuk novel modern yang romantis. Walaupun sentimental dan moralistis, novel itu menunjukkan usaha yang menarik tentang bagaimana dongeng tutur diceritakan ulang dan ditulis dalam bahasa Indonesia yang indah dan kaya. Buku itu sekaligus merupakan contoh potensi bahasa.
Jakob Sumardjo (2003) menafsirkan frasa mula kata yang ditemukannya dalam novel Penakluk Ujung Dunia sebagai sesuatu yang mengarah kepada proses kreatif dari pengalaman nyata Bokor Hutasuhut ketika mengikuti ayahandanya, H.A.M. Mangaraja Gende Hutasuhut, dan Partahi H. Sirait dalam mengislamkan orang-orang sipelebegu 'kepercayaan kepada dewata, alam gaib, dan roh-roh leluhur' di kawasan tanah Batak di Toba, Dairi, Karo, dan Simalungun. Bagi Jakob Sumardjo, novel tersebut bukan khayalan tentang daerah "Perawan" tanah Batak melainkan sebuah "laporan lengkap" dari pengalaman dengan meminjam kisah-kisah mitos tanah Batak.
Secara umum novel Penakluk Ujung Dunia mengangkat tentang perang antarkampung yang berarti perang antarmarga (karena sebuah kampong biasanya dihuni oleh komunitas bermarga sama). Konflik itu timbul karena populasi penduduk yang semakin meningkat sehingga luas wilayah seakan-akan "semakin sempit". Konflik diawali, misalnya, oleh pertikaian dua individu akibat berebutan air di saluran irigasi dan juga karena perbatasan tanah sawah. Konflik itu akhirnya meluas menjadi perang antarkampung.
Safwan Hadi Umri (1985) menyatakan bahwa novel Bokor Hutasuhut itu merupakan pencerminan kesatuan integral antara setting dan sebuah karya sastra yang mampu membawa pembaca mengenal subkultur Batak dengan menampilkan gambaran masyarakat tradisional yang kukuh dalam mitos. Novel ini menggambarkan kegelisahan dan konflik manusia dengan lingkungan, tradisi dan mitos yang spiritual. Novel ini agaknya merupakan hasil interaksi sebuah komunitas dan sikap hidup sekelompok suku dengan dunia lingkungan yang mengandung sejarah dalam perkembangan masa selanjutnya. Tokoh Ronggur dalam novel itu menunjukkan sikap hidup orang Batak yang ingin maju, yang bukan saja menaklukkan dunia melainkan juga mengembara ke berbagai belahan bumi Indonesia dan dunia.
Totok Amin Soefijanto (1988) menyatakan bahwa melalui novel itu, Bokor Hutasuhut memaparkan konflik antara kemampuan pada nilai-nilai lama di satu sisi dan pembaruan oleh kaum muda di sisi lain. Bokor Hutasuhut secara tekun menyusun kisah Tanah Batak dengan sosok yang nyaris lengkap. Belum tentu seorang putra daerah bisa mengambarkan tanah kelahirannya dengan lengkap seperti itu, tetapi Bokor berhasil. Penakluk Ujung Dunia yang merupakan kisah kampung halaman di Tapanuli mengingatkan kita pada zaman warworld atau perang antarmarga di salah satu sudut tanah air. Penakluk Ujung Dunia adalah penakluk kekolotan.
Taufik Abriasyah (1989) menyebutkan Penakluk Ujung Dunia membawa pesan kepada kaum pria Batak agar tetap berhati jantan dan jangan pernah sekali-kali berhati betina. Sangat penting memerdekakan hati dan meneguhkan tekat baja. Diingatkan juga betapa judi sangat berbahaya karena merupakan cara lain untuk bunuh diri. Sebagai perbandingan betapa nikmat dan berharganya kemerdekaan, Taufik juga menyinggung perbudakan yang menurut alur Penakluk Ujung Dunia masih terjadi di kalangan masyarakat batak. Hal itu sebagai perbandingan betapa nikmat dan berharganya kemerdekaan.
Saksono Prijanto, dkk. dari Pusat Bahasa pernah juga meneliti novel Penakluk Ujung Dunia sebagai salah satu bahan penelitiannya dalam "Wajah Indonesia dalam Sastra Indonesia Modern: Novel Tahun 1960—1980". Saksono Prijanto, dkk. menyimpulkan bahwa secara tersirat isinya merupakan himbauan kepada masyarakat di sekitar Danau Toba agar tidak terlalu mengukuhi kepercayaan lama mereka. Novel itu juga mengajak masyarakat Batak supaya meninggalkan sistem perbudakan yang pernah berlaku pada zaman dulu.
Penakluk Ujung Dunia pernah diteliti oleh Jonner Sianipar dengan menyimpulkan bahwa novel tersebut merupakan "catatan sejarah" tentang titik awal persebaran masyarakat Batak Toba keluar dari tanah Batak. Persebaran itu menyebabkan adanya indikasi debataknis atau proses penghilangan identitas Batak dalam diri orang batak perantau terutama yang "eksodus" dan menetap di kawasan pantai timur Sumatera Utara (Asahan dan Labuhan Batu). Secara spesifik, Penakluk Ujung Dunia memang mengkritisi kondisi masyarakat yang terkungkung, bukan hanya dalam wilayah yang terisolir, melainkan juga kungkungan pola pikir yang terbelakang akibat pengaruh (religi) primitif yang diwarisi secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang.