Raumanen merupakan novel karya Marianne Katoppo yang dicetak oleh PT Dian Rakyat dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 oleh Penerbit Gaya Pavorit Press, Jakarta, dan cetakan kedua pada tahun 1986. Foto kulit muka novel ini merupakan karya Leo Suryaningtyas. Pada tahun 2006 diterbitkan kembali oleh Metafor Publishing, Jakarta, dengan jilid dan kemasan yang baru.
Semula novel itu merupakan naskah sayembara yang pernah meraih Hadiah Harapan dalam Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975, kemudian dimuat dalam majalah femina No. 79--84 Tahun 1976 sebagai cerita bersambung. Setelah terbit menjadi buku (1977), pada tahun itu juga novel itu memperoleh hadiah dari Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta pada tahun 1982 Raumanen dinyatakan sebagai novel yang memperoleh Hadiah Sastra Asia Tenggara (Mahayana, dkk. 1992).
Raumanen menceritakan tentang percintaan seorang gadis Manado, Manen, dengan pemuda Batak, Monang, yang berakhir dengan kematian Manen (bunuh diri). Perkenalan Manen dengan Monang bermula dalam suatu acara yang diselenggarakan oleh suatu organisasi. Hubungan mereka bertambah mesra hingga Manen hamil. Monang berjanji akan menikahi Manen. Namun, keluarga Monang—yang masih berpegang teguh pada adat Batak bahwa Monang harus kawin dengan gadis sesuku—tidak merestuinya. Sebaliknya, keluarga Manen menerimanya dengan lapang dada. Ketika Manen menyampaikan kabar tentang kehamilannya, Monang begitu senang, tetapi Manen sendiri malahanmerasa takut karena kondisi fisiknya tidak mengizinkan untuk melahirkan anak. Suatu hari Manen tidak kuasa menutupi rasa bersalahnya, lalu menghukum dirinya sendiri dengan bunuh diri.
Menurut Maman S. Mahayana dalam Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Jakarta, 1992, studi tentang novel itu dilakukan oleh Rini H. Hadipranoto, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1982), Asih S. (Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (1984) yang secara mendalam menganalisis fokus pengisahannya. Panuti Sudjiman dalam bukunya Memahami Cerita Rekaan (1988) menyatakan bahwa novel Raumanen mampu melukiskan pikiran yang paling dalam, yang merekam pengalaman emosional tokoh sampai ke taraf yang tidak terucapkan sangat efektif menggambarkan pertentangan tokoh dengan dirinya sendiri. Sementara itu, Th. Sri Rahayu Prihatmi dalam bukunya Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya (1990) menyatakan bahwa yang paling unik dalam novel itu adalah pusat pengisahannya karena adanya penggunaan orang pertama dan ketiga sekaligus. Ada tiga pencerita yang hadir dalam novel itu, yakni Manen, Monang, dan seorang pencerita serba tahu. Dinyatakannya pula bahwa alur sorot balik yang maju-mundur—yang merupakan kekinian dan kesilaman—merupakan akibat logis dari pusat pengisahan yang menghadirkan tiga pencerita sekaligus.
Jakob Sumardjo dalam Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1979) menyatakan bahwa walaupun tergolong novel pop, Raumanen amat menarik untuk dibaca karena menyisipkan masalah sosial di dalamnya. Novel itu mempertanyakan kepada pembacanya tentang menggejalanya larangan untuk kawin antarsuku pada zaman ultramodern ini. Masalah perkawinan antarsuku dengan segala hambatan dan problematiknya justru muncul di kalangan orang tua asal daerah yang bermukim di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya. Jakob Sumardjo juga menyatakan bahwa nikmat ceritanya kita dapatkan dari gaya berceritanya yang halus, lembut, dan terpelajar. Teknik berceritanya merupakan penceritaan kembali secara naratif oleh orang ketiga dan sekali-kali kembali pada tokoh utama, Manen dan Monang, yang menyuarakan monolognya kepada kita. Semua itu dikisahkan oleh tokoh yang sudah mati. Novel itu dikerjakan dengan keterampilan teknis bercerita dan perasaan halus seorang wanita.
Jakob Sumardjo juga menyatakan bahwa pujian yang dilontarkan kritikus sastra tentang novel itu pada umumnya mengungkapkan bahwa keberhasilan Raumanen terletak pada bentuk penceritaannya yang menggunakan pencerita akuan dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang Manen dan sudut pandang Monang, juga pencerita orang ketiga yang serbatahu yang mengisahkan rangkaian masa silam. Kedua pencerita yang sekaligus tokoh utama dalam novel itu masing-masing mengungkapkan pikiran dan perasaannya, baik dalam bentuk monolog maupun dialog, yang lawan bicaranya ada dalam bayangannya sendiri. Kedudukan novel itu amat penting dalam perkembangan sastra Indonesia karena pusat pengisahannya benar-benar baru pada masa itu.