Puti Bungsumerupakan drama karya Wisran Hadi yang terbit tahun 1978. Drama itu sarat dengan muatan gambaran kehidupan manusia dengan latar cerita daerah Minangkabau. Dalam Puti Bungsu, Wisran Hadi mengungkapkan persoalan-persoalan yang bersifat kontemporer dengan menggunakan mitos-mitos dan cerita rakyat Minangkabau.
Puti Bungsu dalam drama digambarkan sebagai saudara Malin Kundang dan Malin Deman dari ibu yang berbeda. Karena mereka bertiga tidak saling kenal, Puti Bungsu menikah dengan Malin Deman dan Malin Kundang. Dari pernikahan dengan Malin Deman, Puti Bungsu melahirkan seorang putra yang diberi nama Malin Duano. Puti Bungsu ini adalah hasil transformasi Puti Bungsu dalam cerita rakyat Minangkabau yang merupakan tokoh kehormatan, anak perempuan dari Bundo Kanduang yang telah dijodohkan dengan Dang Tuanku. Dalam Puti Bungsu, Wisran Hadi menjadikan Puti Bungsu sebagai tokoh dalam drama yang bersifat parodi.
Naskah Puti Bungsuditerbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Jaya tahun 1978.Jika dilihat dari tuturan ceritanya, drama Puti Bungsu merupakan satu karya yang unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik drama ini terletak pada cara pengarang memaparkan cerita. Tidak seperti drama-drama konvensional lainnya, drama Puti Bungsu tidak menggunakan istilah babak atau adegan. Pengarang menggunakan istilah "randai" untuk menggantikan istilah babak atau adegan. Di samping itu, drama Puti Bungsu ini merupakan himpunan beberapa mitos dan cerita rakyat Minangkabau, yaitu Malin Kundang, Malin Deman, dan Cindua Mato. Jika dilihat dari segi bentuk, drama ini terdiri atas 10 randai dengan menggunakan 3 latar tempat yang berbeda, yaitu Munggu nan Hitam, Munggu nan Kuning, dan Munggu nan Merah. Latar tempat pertama berfungsi sebagai latar pemaparan cerita, latar tempat kedua berfungsi sebagai latar gawatan cerita, dan latar tempat ketiga berfungsi sebagai latar klimaks dan leraian. Sementara itu, latar sosial dipilih latar kehidupan masyarakat Minangkabau yang sarat dengan berbagai ikatan adat.
Untuk pementasannya, Puti Bungsu menggunakan wadah kesenian tradisional randai sebagai medium pertunjukannya. Pemanfaatan randai sebagai wadah pertunjukannya didasarkan pada pertimbangan bahwa randai adalah teater rakyat Minangkabau yang cocok untuk dijadikan sarana pertunjukan drama itu.
Menurut Jakob Sumardjo (1992), drama Puti Bungsu diungkapkan dalam gaya nonkonvensional yang nonempiris. Hakikat drama masih berbicara tentang kejiwaan lelaki Minangkabau yang suka merantau sehingga hubungan dengan ibunda terganggu. Gangguan jiwa itu disembuhkan dengan kecenderungan untuk menikahi ibunya sendiri. Rasa kehilangan dalam jiwa cenderung untuk mencari substitusi pada yang lain, yang mirip ibunya. Melalui gaya yang nonkonvensional dan nonempiris, drama Puti Bungsu mempunyai kedudukan yang penting dalam perkembangan drama di Minangkabau.