Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi merupakan novel karya A.A. Navis yang diterbitkan oleh Pradnja Paramita, Jakarta pada 1970 dengan tebal 105 halaman dan diterbitkan lagi oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2002 dengan tebal 131 halaman.
Novel itu merupakan pemenang sayembara penulisan novel yang diselenggarakan UNESCO/Ikapi pada tahun 1968. Novel itu menceritakan kisah seorang wanita bisu-tuli bernama Saraswati yang berusaha untuk menjadi berarti dalam hidupnya. Sebagai orang cacat, ia mendapat berbagai halangan untuk mencapai nilai itu. Bukan saja keterbatasannya secara fisik, tetapi juga pandangan manusia normal yang cenderung meremehkan orang cacat.
Pada awalnya, Saraswati hidup di tengah-tengah keluarga yang berada dan bahagia. Hanya saja kebahagiaan itu tidaklah lama ia nikmati. Pada sebuah kecelakaan, seluruh keluarganya tewas. Ia hidup sendiri.
Setelah kecelakaan itu, Pak Angah menjemput Saraswati untuk kembali ke Padangpanjang. Sesampainya di Padangpanjang, Saraswati belajar menyesuaikan diri dengan keluarga barunya, yaitu Pak Angah, Busra, dan Bisri.
Di Padangpanjang, Saraswati memulai hidup baru. Kamar yang ia tiduri jauh berbeda dengan kamarnya di Jakarta dulu. Saraswati merasa, ia tidak sepantasnya menerima semua ini. Beberapa hari kemudian, Busra menyiapkan kandang kambing dan membeli empat ekor kambing untuk digembalakan Saraswati, selain itik-itik yang sudah terlebih dulu ada di rumah itu.
Setiap hari sambil menggembala kambing, Saraswati mencari hiburan dengan menikmati alam. Di sela-sela itu, Saraswati merasa ia tidak dapat menerima apa yang didapatkannya sekarang ini. Ia teringat akan kehidupannya di Jakarta dulu dan juga kemungkinan harta benda yang diwariskan oleh keluarganya, setidaknya ia dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Busra yang tahu apa yang dipikirkan oleh Saraswati berusaha menghiburnya dengan alasan kini mereka merupakan sebuah keluarga. Saraswati sadar bahwa ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik sehingga apa yang sebenarnya ia inginkan tidak sampai kepada keluarga Angah. Kemudian Saraswati melakukan pemberontakan dengan tidak menggembalakan kambing. Busra menunjukkan rasa sayangnya dengan menenangkan Saraswati.
Keluarga Angah paham apa yang diinginkan oleh Saraswati melalui pemberontakannya itu. Kemudian Saraswati diberikan pendidikan kursus menjahit yang ada di kampung itu. Penggembalaan kambing dan itik diambil alih kembali oleh Busra dan Angah. Setelah Saraswati mulai pandai menjahit dan menyulam, ia membuat sapu tangan untuk Busra dan Bisri. Dalam pembuatan sapu tangan itu, Saraswati lebih merasakan adanya perasaan sayang yang lebih pada sapu tangan yang disiapkan untuk Busra daripada untuk Bisri. Hanya saja, ketika ia memberikannya kepada kedua orang kakaknya itu, sapu tangan itu tertukar. Kemudian Saraswati belajar membaca pada kedua orang kakaknya itu. Kemudian ia juga belajar pada guru Andika. Setelah itu, semua berjalan seperti biasa kembali. Saraswati kembali menggembalakan kambing dan itik tanpa paksaan karena ia merasa sudah diperhatikan oleh keluarga Angah.
Saraswati masih mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, terutama untuk memahami apa yang dibicarakan orang lain. Ia belum dapat membaca gerak bibir orang. Suatu hari, Bisri pergi untuk menjalani pendidikan militer. Ia menjadi tentara. Ternak Busra semakin berkembang. Saraswati ingin belajar lebih banyak karena ingin menjadi lebih berarti setelah pemberontakannya tempo hari.
Sebulan kemudian, Bisri pun pulang. Bisri mencium Saraswati. Saraswati mulai merasa ada perasaan lain dalam dirinya terhadap Bisri. Saraswati jatuh cinta pada Bisri. Ketika pulang lagi setelah tiga bulan pergi, Bisri memberikan selembar kain kepada Saraswati. Ia kembali bersikap seperti kakak. Ketika pada malam harinya diadakan pesta di rumah itu, Saraswati dipaksa untuk berdandan oleh gadis-gadis yang ada di sana. Ia merasa malu. Sebenarnya, ia gadis yang cantik kalau mau berdandan seperti malam itu. Setelah Bisri pergi, Saraswati jatuh sakit. Ia merindukan Bisri. Busra berusaha menghiburnya dengan mengajaknya menonton di bioskop. Hari berikutnya Bisri pulang. Ia membiarkan segala perasaannya tertumpah dengan memeluk Bisri.
Beberapa waktu kemudian, peperangan PRRI pecah. Saraswati tidak tahu kenapa harus terjadi peperangan, apalagi dengan bangsa sendiri. Keluarga Angah sedih karena Bisri juga ikut berperang. Kemudian Saraswati diajak mengungsi ke daerah yang aman dan jauh di pedalaman. Di tengah perjalanan, Angah meninggal karena terkena tembakan. Saraswati merasa sunyi kembali. tidak ada yang dapat dijadikan teman.
Di tengah perjalanan itu, Saraswati selalu berhadap bertemu dengan Bisri. Ia selalu menanyakan pada setiap tentara yang ia temui. Saraswati juga mendapat seorang teman baru di pengusian itu, Tati namanya. Ia pun sempat belajar membaca pada teman barunya itu. Kegiatan itu dapat membantunya melupakan Bisri. Namun, kemudian ia tahu ternyata Tati adalah kekasih Bisri. Saraswati merasa benci dengan Tati, Bisri, dan semua orang. Lalu ia melarikan diri.
Saraswati terus berjalan. Ia ingin melupakan kekecewaannya. Di tengah pelariannya itu, Saraswati pingsan. Kemudian ia diselamatkan oleh seseorang yang membawanya ke sebuah rumah. Saraswati berusaha bertahan hidup untuk menunjukkan pada Bisri bahwa ia bukan sekadar gadis bisu-tuli, tetapi ia adalah seorang gadis yang berarti. Tak lama kemudian, rumah itu diserang oleh segerombolan tentara. Semuanya mati dan hanya tinggal Saraswati yang tetap hidup. Ketika Saraswati mencari bantuan, ia bertemu dengan Busra. Ternyata selama ini Busra mencarinya.
Setelah perang usai, Saraswati berada di pusat rehabilitasi korban perang. Tempat itu disediakan bagi korban perang atas bantuan kawan ayahnya, ia belajar membaca dan menulis di sana. Busra terus mengiriminya surat dan Saraswati terus membalas surat-surat itu. Itulah satu-satunya hiburan dan motivasinya dalam belajar. Busra tetap beternak dan kini berkembang serta siap untuk menghidupi sebuah keluarga yang akan dijalaninya. Ternyata Busra sangat menyayanginya dan mencintai Saraswati.
Menurut Ivan Adilla (2003), "Novel itu dengan jeli mengambil sudut penceritaan yang sangat spesifik. Seorang bisu-tuli. Memang banyak cerita yang ditulis mengenai tokoh-tokoh yang menderita cacat tubuh seperti ini. Namun, pada novel itu, selain pengalaman yang dialami oleh Saraswati selama masa remajanya itu yang sarat dengan pengalaman tragis dan memilukan, pengarang juga menggambarkan kegigihannya untuk mencapai sebuah tujuan hidup yang berarti.
Dengan penceritaan yang mengalir sebagai sebuah monolog, cerita secara linier bertaut antara yang satu dengan yang lain menciptakan sebuah ajakan untuk selalu berpihak pada Saraswati."