Sanu Infinita Kembar merupakan karya Motinggo Busye yang semenjak tahun 1985 sampai dengan tahun 2002 sudah dua kali dicetak. Cetakan pertama diterbitkan oleh PT Gunung Agung, Jakarta pada tahun 1985 dan cetakan kedua diterbitkan oleh PT (Persero) Balai Pustaka pada tahun 2002. Pada cetakan pertama, novel Sanu Infinita Kembar terdiri atas sebelas bagian, sedangkan pada cetakan kedua hanya terdiri atas sepuluh bagian. Untuk kedua cetakan itu, bagian yang satu dengan bagian berikutnya saling berkesinambungan. Pada setiap bagian terdapat lukisan atau gambaran yang mengandung unsur religiusitas, falsafi, dan mistisisme.
Karya-karya Motinggo Busye memang menarik untuk disimak. Ia menulis berbagai karya dengan beragam corak, membuat nama Motinggo Busye juga bisa dikaitkan dengan berbagai predikat. Predikat itu tidak pernah mengusik keasyikannya dalam menulis. Karena itu, tampak dalam perkembangannya yang terus-menerus dalam karya-karyanya. Salah satu karyanya itu adalah novel religius yang berjudul Sanu Infinita Kembar.
Apa yang ditulis Motinggo Busye dalam novelnya yang satu ini benar-benar merupakan hasil pemikiran, pengendapan, perenungan yang mendalam akan suatu obyek. Bukan merupakan masalah yang artifisial saja.
H.B. Jassin (1993) mengatakan bahwa novel ini merupakan hasil pengendapan yang cukup lama, kurang lebih 20 (dua puluh) tahun, sehingga pengarang dapat melihat makna peristiwa dalam dimensi ruang dan waktu dalam keluasan dan kedalamannya. Dengan demikian, pengarang tidak hanya menyusun dari peristiwa ke peristiwa secara runtut, tapi mengemukakan sesuatu yang bermakna.
Motinggo Busye yang bukan orang Jawa mengambil cara-cara lain atau konsep-konsep lain tentang kehidupan yang tentram. Dalam novelnya ini, Motinggo tidak menggunakan istilah "jagad gedhe, jagad cilik". Jagad gedhe yaitu alam semesta, dan jagad cilik adalah manusia. Jagad gedhe dan jagad cilik harus dijaga untuk mendapatkan ketentraman hidup yang sejati. Tetapi, dalam novelnya ini Motinggo Busye menggunakan istilah infinita kembar. Ada infinita pertama, ada infinita kedua sebagai kembarannya. Infinita yang pertama disebut infinita ego, dan infinita keadua disebutnya infinita kreatif. Untuk menjadi manusia total harus ada keselarasan antara infinita pertama dengan infinita kedua.
Bagi Motinggo Busye sendiri, Sanu Infinita Kembar adalah novel religiusnya yang simultan bentuknya. Di dalamnya juga ada filsafat. Mengenai kereligiusan karya ini ia memberi pendapat sendiri. Seperti yang terungkap dalam satu Dialog Budaya misalnya, Motinggo Busye menjelaskan secara umum tentang faktor yang mendorongnya untuk melahirkan karya sastra religius. Yakni, berangkat dari anggapannya bahwa individu sastrawan muncul secara perseorangan. Setelah ia hampir selesai menulis novel Sanu Infinita Kembar (1984), dan tujuh tahun kemudian Motinggo melihat hal itu secara lain. Jadi, era 1964 sampai dengan era 1977, 1978, 1979, dan 1980, jika dianggap musim atau musim dari suatu kurun waktu, adalah musim religi. Pada tahun-tahun sesudahnya reaksi masyarakat terhadap religi banyak sekali. Dengan demikian, setiap produk budaya itu melahirkan respon yang menciptakan suatu produk kemasyarakatan (sosial), sebagai reaksi besar atau kecilnya produk budaya tersebut. Budaya religius demikian juga.
Berawal dari dugaan Jassin bahwa Sanu yang menjadi tokoh dalam Sanu Infinita Kembar adalah penulisnya sendiri, Motinggo pun mengakui bahwa Sanu itu adalah memang potret dirinya di zaman itu, yakni sebuah keraguan sebagai manusia Indonesia, keraguan sebagai bangsa. Tapi yang namanya keraguan dalam gudang filsafat, itu ditunggu. Filsafai itu kan sebuah gudang. Dengan demikian, Motinggo merasa bahagia tentang kekaguman H.B. Jassin setelah membaca apa yang ada dalam proses filsafat yang terdapat dalam novel Sanu Infinita Kembarnya ini.
H.B. Jassin dalam novel Sanu Infinita Kembar memberi judul pengantarnya dengan "Sanu, Infinita Kembar Novel Mistik – Falsafi Motinggo Busye.". Melalui pengantarnya ini, Jassin mengatakan bahwa cerita dalam Sanu Infinita Kembar ini terjadi dalam tahun 1964 – 1965 ketika udara penuh dengan tempik sorak gegap gempita pihak komunis dan Lekra mengganyang orang-orang yang dianggap kontra-revolusioner, penganut-penganut humanisme universal dan Manifes Kebudayaan, dengan insinuasi-insinuasi dan fitnahan-fitnahan yang menimbulkan kegelisahan, ketakutan dan saling curiga dalam masyarakat, bahkan antara orang tua dan anak, dan antara suami dan istri.
Selanjutnya Jassin mengatakan bahwa Sanu adalah seniman yang memilih mistik untuk melepaskan diri dari cengkaraman politik. Sebagai pelukis dan pengarang ia kehilangan ruang gerak. Lukisan-lukisannya yang rada abstrak dituduh lukisan borjuis dan karangannya yang sudah naik pers setselnya dilebur, karena namanya dimuat dalam surat kabar kiri sebagai seorang yang anti–revolusioner. Penerbit ketakutan untuk mencetaknya. Tawaran seorang diplomat untuk mengirimnya ke negeri Paman Sam, ditolaknya dengan tegas, di antara dua adikuasa ia memilih jadi nasionalis.
Sanu menuntu ilmu kebatinan, khususnya ilmu untuk menghilangkan diri, hingga selamat dari sergapan musuh. Sanu akan hijrah ke luar atmosfir, menurut istilahnya sendiri. Dalam dirinya, Sanu menemukan dua kesadaran yang senntiasa bertentangan, yaitu suara aku-ego dan suaru Aku-Tuhan. Dan itulah yang merupakan dua infinita Sanu, dua hakikat dalam satu jasad. Dengan bicara tentang pengalaman empiris menembus atmosfir dan stratosfir, untuk bertemu Tuhan, adanya diri ganda manusia, nampak pencarian jati diri dalam hubungannya dengan lingkungan, Tuhan dan alam semesta. Sanu merenung dan mencari jawaban atas segala: apakah penguasa, apakah massa, apakah kebenaran, apakah moral, apakah fungsi ruang dan waktu, apakah hakikat Ada, Gerak, Situasi. Ia mendalami seluk beluk pemikiran, dan praktek-praktek kebatinan, lengkap dengan peristilahan-peristilahannya. Sanu berspekulasi mengenai planet-planet di angkasa dan harmoni dalam semesta. Cahaya menyinari Muhammad. Dan Cahaya inilah awal mula penciptaan Allah.
Pengalaman-pengalaman irrasional yang dialami Sanu menimbulkan senyum sinis pada pembaca yang tidak mempunyai atau telah kehilangan indra keenamnya, tapi apabila kita memperhatikan gejala-gejala ajaib yang terjadi di sekitar kita, maka apa yang dialami Sanu pada dirinya, bukan hal-hal yang aneh bahkan mustahil, Membaca ceita ini kita seperti masuk ke dunia mimpi yang mencekam dan mengasyikkan, dimana kepala adalah kaki, kiri adalah kanan, atas adalah bawah, timur adalah barat, dunia sungsang sumbalit dimana kita mencari jalan dengan rasio di tengah kebalauan yang mokal-mokal.