Student Hidjo merupakan roman yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, salah seorang pengarang Indonesia yang karya-karyanya digolongkan sebagai bacaan yang terbit di luar Balai Pustaka atau sering juga disebut sebagai bacaan liar oleh pihak Balai Pustaka. Munculnya roman-roman ini dan juga roman-roman Melayu Tionghoa mendorong pemerintah kolonial Belanda mendirikan Balai Pustaka. Roman ini pertama kali disebar luaskan dalam bentuk cerita bersambung dalam surat kabar Sinar Hinia pada tahun 1918 dan terbit dalam bentuk buku tahun 1919 di Semarang oleh penerbit N.V. Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink.
Roman ini kemudian mengalami cetak ulang dan kini dapat dibaca ulang oleh masyarakat di masa sekarang. Pada tahun 2000, roman atau novel ini diterbitkan oleh Bentang Budaya, Yogyakarta, dengan ketebalan buku 182 halaman. Pada tahun 2010, roman ini diterbitkan oleh Penerbit Narasi, Yogyakarta.
Karya Mas Marco ini mengisahkan perjalanan hidup seorang pemuda yang bernama Raden Hidjo dan tunangannya, Raden Ajeng Biroe. Raden Hidjo adalah seorang pemuda bumiputera lulusan Hogere Burger School (HBS). Demi masa depan, pemuda ini melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan meninggalkan tunangannya. Roman ini selanjutnya mengisahkan bagaimana dua orang pemuda ini mempertahankan cintanya. Raden Hidjo digoda gadis Belanda, Raden Ajeng Biroe juga digoda oleh seorang Controleur Belanda. Namun, riman ini tidak semata-mata hanya menampilkan kisah cinta saja, gambaran sosial masyarakat golongan atas—priyayi—dalam masarakat jawa—Solo Khususnya—yang sedang mencari identitasnya sebagai warga dunia dengan meniru-niru budaya modern terlihat dengan jelas. Di dalam roman ini pasangan muda-mudi ini digambarkan hidup dengan meniru budaya Barat. Mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Belanda dan bertingkah laku seperti orang-orang Belanda. Juga di dalamnya muncul persoalan-persoalan hubungan antara bumiputera dan Belanda yang diajukan sebagai bahan pembicaraan tokoh-tokohnya.
Harsja W. Bachtiar (1977) dalam tulisannya yang berjudul "Kesusastraan Indonesia dalam Masyarakat Indonesia" menggolongkan roman ini sebagai karya kesusasteraan Melayu baru. Sementara itu, W. Sikorsky (1970) dalam disertasinya menggolongkan roman ini sebagai karya yang memakai bahasa Melayu rendah. Menurut Sikorsky roman-roman berbahasa Melayu Rendah ini menyuarakan protes terhadap penindasan kolonial dahn diskriminasi rasial. Di samping itu, dikisahkan kebangkitan nasional dan perjuangan sosial di kalangan masyarakat Indonesia. Khusus Studen Hidjo dikatakannya memiliki tendensi nasional yang tinggi. Hal itu terbukti dari akhir kisah ini yang menyatukan kembali Raden Hidjo dengan Raden Ajeng Biroe.Tokoh lain yang juga membicarakan roman ini adalah A. Teeuw (1980) dalam bukunya Sastra Modern Indonesia Jilid 1. Sementara itu, Rachmat Djoko Pradopo (1986) dalam sebuah tulisannya berjudul " Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah sastra Indonesia" mengatakan bahwa Student Hidjo dapat digolongkan sebagai sedikit dari karya sastra Indonesia yang bersifat nasional dengan menggunakan bahasa Indonesia, meskipun bahasa Indonesia baru dicanangkan pada tahun 1928, lewat Sumpah Pemuda.