Sesudah Bersih Desa merupakan kumpulan cerpen karya Satyagraha Hoerip, terbit oleh Balai Pustaka, cetakan pertama 1989 berjumlah 176 halaman dengan sampul depan bergambar wayang.
Kumpulan cerpen ini hampir didominasi dengan napas kehidupan masyarakat Jawa. Dalam kumpulan cerpen ini pengarang menyajikan berbagai warna kehidupan, kendati beberapa cerpen berbicara soal percintaan. Bahkan, cerpen-cerpennya yang dikelompokkan sebagai bonus dalam buku ini digarap dengan gaya surealisme. Gaya penggarapannya serba intens, jernih, dan seringkali tersirat nada humor, menjadikan cerpen-cerpen dalam buku ini memikat dan tidak menimbulkan kejenuhan.
Kumpulan cerpen Sesudah Bersih Desa memuat 14 cerpen, yakni 1) "Sore Itu"; 2) "Mbah Untung"; 3) "Sesudah Bersih Desa"; 4) "Kenalan di Awang-Awang"; 5) "Masirat, Tamatan SMA"; 6) "Anak Bungsuku Itu"; 7) "Tumenggung Netroyotro"; 8) "Melompati Gunung-Gunung"; 9) "Surat dari Selatan"; 10) "Reuni"; 11) "Suatu Malam di Amsterdam"; 12) "Bonus"; 13) "Beruang-Beruang"; 14) "Sketsa-Sketsa".
Cerpen "Sesudah Bersih Desa" ini mengisahkan Sadermo bersama istri dan anaknya, Harni dan Harsono. Pada awalnya kehidupan suami istri ini harmonis, tetapi akhirnya gairah seksual Sadermo terganggu karena ia menderita impoten tanpa diketahui sebabnya. Kemungkinan Sadermo terlalu capai bekerja di sawah sebagai petani.
Suatu malam Sadermo menonton wayang kulit semalaman, dan ketika tidur ia bermimpi tokoh wayang Kartomarmo membunuh Banowati dengan memenggal kepalanya. Mimpi itu diceritakan kepada istrinya, tetapi istrinya menjawab dengan santai kalau mimpinya itu hanya bunga tidur.
Suatu hari istrinya, Harni, membantu di rumah tetangga bernama Kang Yadi yang akan hajatan dengan memasak rawon. Sadermo kemudian seperti biasa pergi ke sawah dan sesampai di sawah ia merasa sakit dan muntah-muntah. Sadermo kembali pulang dan disuruhnya pembantunya Yu Ginuk untuk menjemput istrinya. Sayang, setelah Yu Ginuk sampai di rumah Kang Yadi ternyata Harni tidak ada di sana; bahkan, dari pagi pun ia tidak ada di rumah itu.. Yu Ginuk kembali pulang dan menyampaikan berita itu kepada Sadermo. Alangkah terkejutnya Sadermo: kemanakah dan dimanakah gerangan istrinya pergi yang sebenarnya. Pikiran Sadermo mulai menerawang, berbagai pertanyaan muncul di benaknya: apa yang dikerjakan istrinya, dan apa mungkin istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain mengingat dirinya impoten? Di samping itu, pemikiran Sadermo juga tertuju pada tanah warisan dari orang tuanya berupa beberapa petak sawah. Sawah itu digusur untuk dijadikan areal perumahan mewah, tetapi ganti rugi dari pemerintah tidaklah seimbang.
Pikiran Sadermo kalut dengan berbagai persoalan yang melingkarinya dan ia bertanya kian kemari tentang istrinya. Ternyata informasi yang didapatnya, istrinya pergi ke hutan bersama Kang Yadi. Ia terus mencari dan di hutan Sadermo menemukan istrinya berbuat serong dengan Kang Yadi. Melihat kejadian itu Sadermo kalap dan ia memenggal kepala istrinya dan kepala Kang Yadi. Kepala kedua orang itu dibawanya pulang dengan dipikulnya memakai kayu.
Cerpen "Sesudah Bersih Desa" merupakan cerpen yang dianggap berbobot oleh pengarangnya. Oleh karena itu, cerpen tersebut dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini oleh pengarangnya. Cerpen ini penuh dengan konflik-konflik kehidupan sehingga menarik untuk disimak.
Putu Wijaya (1993) menilai Satyagraha sebagai penulis cerpen belum pensiun. Ia masih bergelora, dan berusaha memberikan sentuhan "lokal" pada khazanah sastra kontemporer Indonesia yang konon dianggap terasing itu. Dengan bahasa dan ungkapan yang santai, ia menunjukkan bahwa seorang sastrawan tidak lapuk di usia senja. Menjelang akhir hayatnya, meskipun ia tidak lagi terlalu produktif menulis cerpen, namun esainya sering hadir di harian Suara Pembaharuan dan Kompas. Melalui esainya itu Satyagraha mengulas pelbagai persoalan sosio-kultural bangsanya.
Sebagaimana diakui Satyagraha Hoerip, dalam kumpulan cerpennya Sesudah Bersih Desa ini cukup banyak kosakata bahasa Jawa, seperti Pakde, Bude, Yu, Kang, Mbok, Mbokmase, Sampeyan, wungkul, gapit (pisau kecil), gerong (wiraswara atau penyanyi pria pada gamelan Jawa).