Telegram merupakan novel karya Putu Wijaya yang dapat digolongkan beraliran arus kesadaran (stream of consciousness). Novel itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1973 oleh Penerbit Pustaka Jaya. Novel ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar dalam seri seri Modern Library of Indonesia pada tahun 2011.
Naskah novel ini pernah diikutsertakan dalam sayembara mengarang roman yang diselenggarakan oleh Panitia Tahun Buku Internasional, DKI, pada tahun 1972 dan dinyatakan sebagai pemenang pertama pada sayembara itu.
Novel Telegrammenceritakan tentang dunia khayal tokoh, yaitu "aku", seorang wartawan sebuah majalah ibu kota. "Aku" hidup dengan seorang anak pungutnya yang bernama Sinta. Ketika sedang duduk di sebuah restoran, "aku" menghayalkan dirinya sedang berpacaran dengan seorang gadis yang bernama Rosa. Rosa hanya hidup dalam khayalan aku. Dalam khayalannya itu, aku telah berpacaran dengan Rosa sebanyak tiga ribu kali. Pertemuan aku dengan pacarnya itu tetap berakhir dengan persepakatan bahwa mereka tidak akan menikah karena menikah itu merupakan penjara dalam bentuk lain. Kehidupan harus dibagi dengan tanggung jawab terhadap suami atau istri. Oleh sebab itu, mereka tidak akan pernah menikah.
Anak angkat "aku", Sinta, datang dengan membawa telegram yang baru diterimanya. Telegram itu datang dari Bali. Sebelum telegram itu dibuka, aku telah menduga bahwa isinya adalah malapetaka. Ketika telegram dibuka, aku membaca; "Ibu meninggal cepat pulang titik." Akan tetapi, akhirnya aku sadar dan membaca; "Ibu sakit keras, cepat pulang titik."
Malam itu juga aku berjalan di dalam hujan lebat dengan temannya sambil bertelanjang bulat, berkejar-kejaran dengan anak-anak kecil, mendorong mobil yang mogok di jalan, dan sebagainya. Akan tetapi, ternyata perjalanannya malam itu hanyalah sebuah mimpi.
Dalam menyiapkan dirinya yang hendak pulang ke Bali, aku dirongrong oleh ibu Sinta yang sebenarnya, yang hendak mengambil Sinta kembali. Aku juga dirongrong oleh sakit lamanya, yaitu penyakit "perasaan hendak pergi ke tempat wanita tunasusila". Penyakit ini terjadi setelah aku pergi ke tempat Nurma, seorang wanita tunasusila. Kemudian, aku dirongrong pula oleh beberapa tugas kewartawanan yang belum selesai. Akan tetapi, akhirnya "aku" siap juga hendak berangkat ke Bali.
Sebelum berangkat ke Bali, aku menerima telegram kedua yang isinya; "Ibu telah meninggal." Cerita berakhir dengan kata-kata Putu Wijaya sendiri secara deskripsi; "Satu ketika orang akan bikin telegram untuk kami. Sementara orang lain masih harus melanjutkan hidup. Telegram lain akan tiba juga untuknya. Lalu ada yang lain hidup."
Tema novel adalah keresahan seseorang dalam menentukan sikap dalam menghadapi nilai-nilai budaya lama yang mengikat untuk keluar ke alam modern. Keresahan itu tidak memperlihatkan jalan keluar untuk meninggalkan yang lama.
Telegram berpusat pada keterasingan manusia modern, yang tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan hubungan keluarga yang tradisional sehingga hidup terombang-ambing antara dunia nyata dan dunia khayal. Hal itu dipaparkan oleh Umar Junus dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra: PersoalanTeori dan Metode ( 1986).
Telegram karya Putu Wijaya ingin merombak pola-pola lama, yaitu dengan mengajak pacarnya, Rosa, untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tanpa menikah secara resmi. Dengan demikian, goyahlah pola pemikiran lama yang senantiasa berpegang pada keharusan bahwa setiap lelaki perempuan yang hidup bersama harus diikat oleh suatu peraturan perkawinan yang sudah dilembagakan. Pendapat ini disampaikan oleh Jajak M.J. dalam "Telegram oleh Putu Wijaya": Sinar Harapan, 24 November 1973.
Novel Telegram hendak mengemukakan ketegangan antara kenyataan dan khayalan, antara kehidupan sebagaimana yang terjadi dan kehidupan yang mungkin atau sudah terjadi. Telegram sebagai perlambang satu-satunya kenyataan hidup yang tak terelakkan, yang tak bisa tidak, yaitu maut. Selama kehidupan masih ada, pilihan-pilihan tak terbatas, tetap terbuka bagi khalayak manusia. Satu di antara pilihan itu ialah pacar laki-laki muda tersebut yang sudah lebih dari tiga ribu kali dipacarinya. Namun akhirnya sang pacar pun hilang dari khayalannya, ia yang tampaknya sama sekali tidak hidup di dalam kenyataan, atau demikianlah ia merasa: "Seorang wanita yang hidup hanya dalam khayalanku saja tak dapat kukuasai lagi. Bukan main...ia telah terlepas dari tanganku. Komentar itu disampaikan oleh Teeuw dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II, 1989, PT Pustaka Jaya.