Tarian Bumi adalah novel karya Oka Rusmini yang diterbitkan oleh dua penerbit, yakni Indonesia Tera, Yogyakarta (cetakan IV, 2004) dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2007.
Pada tahun 2003, novel ini mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Novel ini oleh kritikus sastra dianggap sebuah babak baru penulisan prosa panjang di Indonesia dengan menampilkan dunia wanita yang sama sekali berbeda dibandingkan penggambaran yang pernah ada dalam khazanah sastra sebelumnya. Belum pernah terjadi, wanita dalam fiksi dicitrakan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, dan memberontak seperti dalam Tarian Bumi. Dengan mengambil budaya Bali sebagai latar, novel ini merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh.
Telaga adalah wanita keturunan brahmana, kasta tertinggi dalam masyarakat Bali yang menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh sekar yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran wanita brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial dan itu terbukti. Ketika anak telaga berusia 5 tahun, suami Telaga meninggal dunia dan banyak hal lain lagi yang berubah pada keluarga suaminya sejak kedatangannya Telaga. Semua itu disebabkan oleh status kebangsawanan Telaga. Oleh karena itu, ia harus menanggalkan dengan melakukan ucapan pamit pada leluhurnya, inilah kalimat penutup novel Tarian Bumi: "Telaga ... membiarkan perempuan tua itu mencuci kaki di ubun-ubunnya untuk menjelmakan dirinya menjadi perempuan baru. Perempuan sudra!"
Di sisi lain muncul isu yang tidak baik yang tergambar dalam sebuah bisik-bisik di warung yang sempat didengar oleh Kenten. "Mereka menjalin cinta. Mengerikan .." Apakah Kenten seorang lesbian? Tidak sekalipun istilah itu muncul dalam novell itu. Akan tetapi, jika merujuk pada pengertian lesbianisme yang diberikan oleh seorang kritikus sastra feminisme-lesbian Lilian Faderman, dapat disimpulkan bahwa Kenten memang wanita lesbian. Menurut Lilian, seperti dikutip Soenarji Djajanegara dalam buku Kritik Sastra Feminisme: Sebuah Pengantar (2000), kata lesbian menggambarkan suatu hubungan perasaan mendalam dan kasih sayang terjalin di antara dua perempuan. Hubungan seksual sedikit atau banyak mungkin terjadi di antara mereka atau mungkin sama sekali tidak terjadi. Kedua perempuan itu lebih suka menjalani hidup bersama dan berbagi pengalaman yang sama.