Tandus merupakansebuah antologi sajak dan cerita pendek karya S. Rukiah yang diterbitkan pada tahun 1952 oleh Balai Pustaka dengan ketebalan 165 halaman. Antologi itu, memuat sejumlah sajak serta cerita pendek. Kumpulan ini memenangi Hadiah Sastra Nasional BMKN tahun 1952. Dalam sajak-sajaknya terdapat unsur ketulusan yang menarik dan perlambangan alamnya yang menonjol. Para ahli sastra antara lain H.B. Jassin (1967) dan Teeuw (1967), selalu membandingkan karya-karya di dalamnya dengan karya S. Rukiah terdahulu, yaitu Kejatuhan dan Hati (1950). Kedua pakar itu sama-sama menilai bahwa Kejatuhan dan Hati lebih bermutu daripada Tandus. Bila dugaan Jassin benar bahwa sebenarnya tandus lebih dulu terbit daripada yang kedua, maka perbedaan segi mutu merupakan hal yang wajar.
Karya sastra yang terhimpun dalam Tandus terdiri atas "Sajak-sajak" dan "Kisah-kisah". Bagian "Sajak-sajak" yaitu "Ilham II", "Adikku Kecil", "Pahlawan", "Buntu Kejaran", "Pohon Sunyi", "Pulasan Hidup", "Kamar Tua", "Buku Kosong", "Sebagian Pertemuan", "Jalan Sementara", "Patung Sembahan", "Pancaran di Persimpangan", "Cerita Malam", "Satu Bunga", "Lukisan di Siang Hari", "Piala Kosong", "Kehilangan Surga", "Sahabat", "Kenangan Gelita", "Mencari Lagu", "Dengan Satu Bacaan", "Lagu Buat saudara", "Engkau dan Nafsu", "Kemungkinan", "Pelajaran", "Kehilangan Lampu", "Antara Menunggu", "Mau ke Penghabisan", "Cerita Laut", "Tanah Air", "Tanda Tanya", "Cahaya mau Mati", "Aku Sendirian", dan "Layar Hitam".
Menurut H.B. Jassin bahwa pengalaman individual dalam karya-karya S. Rukiah tidak terangkat menjadi sesuatu yang universal sehingga karya masih terkungkung pada pengalaman pribadi yang terbatas.
H.B. Jassin memilah sajak-sajak dalam Tandus ke dalam masalah janji setia sehidup semati ("Ilham II"), penyadaran dan hiburan diri ("Pohon Sunyi", "Pulasan Hidup", dan "Cerita Malam"), renungan tentang Tuhan dan kebenaran, hakekat hidup dan kenyatan ("Sebagian Pertemuan", "Patung Sembahan", "Jalan Sementara", "Lukisan di Siang Hari", "Piala Kosong", dan "Mencari Lagu"), tentang hidup dan perjuangan dan cinta ("Pancaran di Persimpangan", "Sahabatku", "Dengan Satu Bacaan", "Tanda Tanya"), semangat kepahlawanan dan perjuangan ("Pahlawan", "Lagu Buat Saudara", "Kehilangan Lampu", dan "Cerita Laut"), pernyataan patriotisme dan lagu cinta tanah air ("Satu Bunga", "Kenangan Gelita", dan "Tanah Air"), dan selebihnya sajak-sajak berisi nasihat. H.B. Jassin berpendapat bahwa S. Rukiah lebih berisi pikiran dan perasaan. Pilihan kata agak longgar sehingga banyak bagian yang agak prosais. Perpaduan antara pikiran dan perasaan tidak mencapai perimbangan akibat tak ada pengemdapan. Pengalaman individual tidak terangkat menjadi tataran universal.
Cerita dalam "Kisah-kisah" terdiri atas "Mak Esah", "Istri Prajurit", "Antara Dua Gambaran", "Surat Panjang dari Gunung", dan "Cerita Sesudah Kembali". Teew berpendapat bahwa S. Rukiah lebih penting sebagai pengarang prosa.para pelaku utama dalam kisahnya biasanya kaum perempuan. Pelaku utama dalam cerita "Antara Dua Gambaran" agak serupa sifatnya dengan pelaku Susi dalam novel Kejatuhan dan Hati, bercerita tentang kegagalan cita-cita karena kesengsaran yang lahir dari peperangan. Kisah-kisah lain dari kumpulan itu yaitu "Mak Esah" dan "Istri Prajurit" melukiskan masalah yang sama. Hampir semua kisah yang disiarkan Rukiah, secara langsung dikuasai oleh situasi yang aktual perihal gerilya dan revolusi. Satu-satunya cerita yang tidak berasal dari latar belakang itu adalah "Sebuah Cerita Malam Itu", sebuah fragmen yang temanya merupakan perjuangan seorang yang sakit merana dalam mencari pegangan dan tujuan hidup.
Berbeda dengan kisah S. Rukiah yang lain, "Sebuah Cerita Malam Itu", "Istri Prajurit", dan "Ceritanya Sesudah Kembali" tidak berlatar revolusi.