Surabaya merupakan novel karya Idrus yang diterbitkan oleh Merdeka Press pada tahun 1947. Karena substansi, novel itu sangat revolusioner. Novel Surabaya dapat dipergunakan sebagai alat antipropaganda terhadap pemerintah republik.
Dari beberapa tulisan para kritisi terkesan bahwa mengupas novel Surabaya identik dengan mengpas pribadi Idrus. Dalam kaitan dengan Surabaya, Idrus menerangkan bahwa ia spesialis dalam mengungkapkan isu kejelekan. Dalam hampir semua tulisannya, ia sengaja hanya melukiskan tentang kejelekan manusia. Melalui tulisannya, Idrus mengharapkan terjadi perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Ia menegaskan bahwa tendens ini terdapat pada semua karangannya. Idrus mengakui suatu teori yang menyatakan bahwa pengarang akan mencapai kebesaran hanya kalau pengarang itu melukiskan tentang sisi kejelekan manusia.
Nugroho Notosusanto mendapat kesan bahwa Idrus menempatkan dirinya pada tempat yang tinggi sambil memandang dengan arogan dan mengejek kepada sesamanya yang bergelimangan dengan segala kekurangannya. Ia bersikap sebagai seorang penonton yang aristokratis sebagai warga Roma yang menyaksikan perkelahian antargladiator.
Dalam novel Surabaya, Idrus melukiskan perjuangan bangsa Indonesia melalui pertempuran di Surabaya. Para pejuang itu dilukiskan sebagai koboi-koboi yang punya revolver di pinggang dan saling membunuh seperti teroris. Pelukisan seperti itu menimbulkan banyak reaksi dan inilah yang menjadi sasaran pertanyaan yang hangat pada malam itu. Dari keseluruhan pembicaraan, Idrus menerangkan bahwa ia terutama mengungkapkan sesuatu yang jelek-jelek saja dan dengan itu dimaksudkannya supaya timbul kebaikan. Ia menegaskan bahwa dirinya spesialis dalam mengungkapkan suatu kejelekan. Bukanlah dimaksudkannya dengan Surabaya itu untuk menghina perjuangan bangsa Indonesia dan bukan pula ia orang yang a-nasional.
Cerita ini tidak merupakan satu cerita dalam pengertian yang biasa. Tidak ada pelakon pertama yang diikuti perjalanan hdupnya atau pengalamannya dari permulaan sampai akhir. Kalau mau dicari juga pelakon utamanya adalah revolusi dan pengalaman orang-orang di dalamnya. Cerita ini merupakan suatu karikatur dari pertempuran Surabaya. Ditulis dengan jiwa orang yang sejak semula tidak memiliki kepercayaan kepada tenaga sendiri seperti pada banyak orang ketika menyambut proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno—Hatta. Mereka tidak percaya dan menganggap perbuatan Soekarno—Hatta sia-sia belaka. Dengan apa sekutu akan dilawan? Begitu mereka bertanya. Apakah semua bangsa Indonesia berdiri di belakang Soekarno—Hatta? Satu yang sangat jelas dalam cerita ini: kebencian Idrus kepada pembunuhan. Dan kengeriannya memikirkan itu. Kebencian dan kengerian, yang menyebabkan ia benci kepada segala apa yang berangkutan dengan revolusi. Pendiriannya terhadap revolusi kita bisa lihat dalam novelnya Perempuan dan Kebangsaan (majalah Indonesia, No.4, Mei 1949, BP). Revolusioner pula sikap Idrus terhadap revolusi meskipun dalam pengertian kontra revolusioner. Dalam waktu semangat kebangsaan dan perjuangan meluap-luap diperlukan keberanian moral yang besar untuk menulis terang-terangan dengan segala kejujuran seperti Idrus dalam Surabaya. Kita tidak persoalkan kebenarannya, tapi keberaniannya dalam hal ini mengemukakan visinya sendiri tentang revolusi dan kebangsaan. Hal ini adalah suatu ciri kemerdekaan '45.
Surabaya dari Idrus, mengisahkan tanggapan-tanggapan Idrus sendiri terhadap revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam Surabaya karya Idrus dapat dikatakan bahwa dalam penanggapannya Idrus selalu berusaha untuk mengemukakan revolusi dengan masalahnya secara berkarakter. Karena kekurangan pengetahuan serta pengertiannya terhadap revolusi kemerdekaan rakyat itu, pada umumnya pandangan serta ukuran Idrus telah tergelincir ke dalam subjektivisme yang bukan alang-kepalang. Padahal Surabaya dibangunkan Idrus berdasarkan kenyataan-kenyataan dan pengolahan kenyataan-kenyataan itulah yang menghadapkan pengarang kepada suatu studi terlebih dahulu.
Idrus telah berlaku kurang baik dan kurang teliti dalam penyaluran emosinya ke dalam pengertian yang sewajarnya dari revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia. Idrus telah berlaku sangat subjektif dan formalistis terhadap segala ekses yang ditimbulkan oleh revolusi. Emosionalisme Idrus disebabkan oleh kurangnya pengertian atau pengetahuan Idrus sendiri tentang rakyat Indonesia, revolusi dengan hukum serta permasalahannya. "Surabaya" Idrus telah diperkosa oleh emosionalisme dan kekurangpengetahuan serta kesadarannya sendiri terhadap rakyat Indonesia dengan revolusi beserta hukum dan masalahnya, demikian dikatakan Joebaar Ajoeb.
Wiratmo Soekito dalam forum Pertemuan Sastrawan Jakarta memperingati dan mendiskusikan 50 tahun perjalanan Polemik Kebudayaan Indonesia di Teater Tertutup TIM, 19 Maret 1986 menyatakan bahwa sesuatu yang dikatakan Idrus dalam baian novel Surabaya tidak mengada-ada. Keberanian Idrus sangat mengagumkan, lebih-lebih jika diingat situasi dan kondisi pada waktu itu cukup runcing dan gawat sehingga perempuan yang mengenakan selendang berwarna merah, berkebaya putih dan selop kebiru-biruan bisa dituduh mata-mata musuh, tentu Idrus bisa dituduh mata-mata musuh, anasional, antirevolusi, penghianat bangsa. Keterusterangan Idrus itu bukan hanya dapat disaksikan dalam novelnya Surabaya, tetapi juga pada novel-novelnya yang terbit kemudian Perempuan dan Kebangsaan (1948) dan Aki (1950).